Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

31 Mei, 2008

Menilik Kebijakan Sistem Pendidikan

Suherli

Dalam pemberlakuan Otonomi Daerah terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal itu bertolak dari kesadaran penentu kebijakan bahwa sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia. Selain itu, fenomena krisis yang melanda bangsa kita menunjukkan bahwa pendidikan dianggap belum berhasil dalam menyiapkan SDM yang unggul, kompetitif, dan beriman. Oleh karena itu, sangat tepat jika dilakukan perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Desentralisasi pendidikan merupakan alternatif model pemberdayaan masyarakat. Salah satu implementasi dari desentralisasi pendidikan adalah dihidupkannya peran serta masyarakat untuk ikut menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan. Program yang digulirkan pemerintah untuk keperluan ini adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah.
Program MBS menyiratkan konsep mendasar atas penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip desentralisasi pendidikan. Landasan filosofis yang perlu diperhatikan dalam memahami konsepsi ini bertolak dari terminologi desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah; dekonsentrasi adalah penyerahan tanggung jawab layanan sektor tertentu pada perwakilan pemerintah pusat di daerah; delegasi adalah pengalihan tanggung jawab untuk membuat keputusan dan mengatur pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah; privatisasi adalah pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta; dan otonomi merupakan arah balik dari desentralisasi (yang berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan kepada daerah), dan merupakan pengakuan atas otoritas daerah (Rondinelli, 1998; Jalal, 2001:75). Dengan demikian, desentralisasi bidang pendidikan berarti penyerahan kewenangan (otoritas) pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari terminologi tersebut maka desentralisasi pendidikan menganut prinsip good governance is less governing (penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah lebih kurang mengatur). Desentraliasi pendidikan adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, karena jika wewenang pusat hanya dipindahtangankan ke daerah, maka yang akan terjadi adalah oversentralisasi pada tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu Program MBS merupakan pola implementasi pembagian porsi wewenang penyelenggaraan pendidikan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, dan masyarakat (sekolah) yang bobotnya lebih besar kepada masyarakat dan stakeholder pendidikan.
Perubahan ini dirasakan sangat drastis karena selama 35 tahun sebelumnya, kita tidak merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan. Besarnya peranan pemerintah dalam turut mengatur terlalu banyak hal-hal teknis dalam dunia pendidikan dianggap sebagai biang keladi dari semua keterpurukan kualitas pendidikan bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari itu, dengan berbekal konsep desentralisasi pendidikan seiring dengan era reformasi yang sedang bergulir, berbagai perubahan mendasar pengelolaan pendidikan diserahkan kepada stakeholder pendidikan. Pemerintah hanya berperan sebagai pengatur, sesuai dengan prinsip dasar desentralisasi. Namun, kadang-kadang program yang digulirkan pemerintah seringkali masih membingungkan masyarakat pendidikan, karena kita belum biasa.


A. Kebijakan Pendidikan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun diterapkan prinsip ‘link and match”.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.

B. Kebijakan Pendidikan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan/pemerataan.
1. Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zealand, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok).
2. Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme vouchers, atau matching grant, dan "sponsorship dunia usaha" dalam pembiayaan pendidikan. Mekanisme ini sudah lazim digunakan di negara-negara sedang berkembang dan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Pengalaman di Brazil, misalnya, desentralisasi telah menurunkan biaya dan pelayanan pendidikan menjadi lebih baik, mulai dari pemeliharaan sekolah, pelatihan guru, sampai pemberian makanan tambahan bagi anak di sekolah.
3. Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas birokrasi seperti tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag), tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai pada Departemen Pendidikan.
4. Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.

C. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, funding father yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi “projek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di Samarinda, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana Universitas Mulawarman.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut berkaitan dengan peningakatan SDM di daerah sehingga selalu dilakukan perbaikan berbagai kebijakan pada tataran meso sebagai rencana program oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan.

D. Kebijakan Pendidikan di Kabupaten/Kota
Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu popularisasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi pendidikan nasional, maka usulan program pengembangan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Tilaar (2000:77-790 sebagai berikut :
(1) Mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas;
(2) Menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu;
(3) Menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar;
(4) Melakukan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap, mulai tingkat provinsi dengan sekaligus mempersiapkan sarana, SDM, dan dana yang memadai pada tingkat kabupaten;
(5) Melakukan perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien;
(6) Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan ekseperimen, dengan melaksanakan otonomi lembaga pendidikan;
(7) Merevisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional dengan peraturan perundangan dan pelaksanaannya
(8) Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk membangun masyarakat Indonesia baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat tersebut.
(9) Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha
(10) Melakukan depolitisasi pendidikan nasional, dengan menciptakan komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa;
(11) Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan, syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga profesional, disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.

Berdasarkan pada prinsip otonomi, maka kebijakan pendidikan di daerah dapat dituangkan ke dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan. Namun demikian, tampaknya daerah masih terus saja berbenah diri dalam hal kebijakan politik dan kepegawaian yang juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan kantor bidang pendidikan di daerah adalah:

1) Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemerintah daerah harus terus mendorong dan mengembangkan sekolah menerapkan konsep “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah” (MPMBS) yakni usaha peningkatan mutu pendidikan dengan menggalang segala sumber daya yang ada di sekolah dan lingkungannya, baik guru, orangtua siswa, pemerintah setempat maupun swasta agar terkoordinasi dan terencana dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.

2) Perluasan Kesempatan Belajar
Dalam rangka mempercepat penuntasan program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan maka dapat ditempuh usaha baru sebagai berikut :
(1) Pembangunan Unit Sekolah baru (USB)
(2) Pembangunan Ruang Kelas baru (RKB)
(3) Pemasayarakatan SLTP Terbuka (SLTPT)
(4) Kampanye/Penyuluhan Wajib Belajar Pendidikian Dasar
(5) Pemberian Beasiswa dan dana bantuan Operasional (DBO)
(6) Pendidikan bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA
(7) Pemberian Dana Operasional Pendidikan bagi SD/MI
(8) Pemberian bantuan perlengkapan belajar bagi siswa SD/MI dari keluarga tidak mampu;
(9) Membina dan mendorong penyelenggaraan pendidikan luar sekolah oleh masyarakat dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar (yang menyelenggaraka Paket A, KF, Paket B, dan Paket C).

3) Efisiensi dan Efektivitas
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang efisien dan efektif maka penyelenggara pendidikan formal perlu dibekali dengan pengetahuan tentang :
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Sekolah
(2) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Perkantoran
(3) Kemampuan manajerial
(4) Kemampuan Pengelola Proyek
(5) Pengelolaan dan perencanaan pendidikan
(6) Kemampuan Monitoring dan Evaluasi

4) Menyusun Peraturan Daerah Pendidikan;
Perda tentang pendidikan di Kabupaten/Kota merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Kabupaten/Kota tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003. Bertolak dari aturan ini maka beberapa kebijakan meso maupun mikro dapat dibuat dalam rangka menjalankan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 45.

5) Angka Rata-rata Lama Sekolah;
Dalam rangka meningkatkan Indeks Pendidikan (Education Index) partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan harus terus dipacu. Berdasarkan laporan BPS diketahui bahwa Angka RLS masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau setara dengan siswa SMP Kelas satu. Dengan demikian diperlukan perjuangan yang sangat erat bagi dinas pendidikan untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun. Padahal wajib belajar 9 tahun sudah dikumandangkan sejak lama. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pendidikan dasar, baik melalui SD/MI dan SMP/MTs, maupun SMP Terbuka, dan Paket A dan B untuk dapat mengakselerasi Wajar Dikdas 9 tahun.

6) Angka Melek Huruf
Penopang lain dari Indeks Pendidikan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Semula kita menduga bahwa di Kabupaten/Kota di Jawa Barat sudah tidak ada lagi yang masih Buta Huruf (tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Indonesia), namun setelah dilakukan pendataan ulang di Jawa Barat telah diketahui terdapat sekitar 251.234 yang masih kurang dalam baca-tulis-bicara bahasa Indonesia. Tentu saja, mereka harus segera dientaskan melalui program yang fungsional (Keaksaraan Fungsional).

(7) Partisipasi dan Peranserta Masyarakat;
Pada Pasal 56 UUSPN 20/2003 diungkapkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan melalui dewan pendidikan, komite sekolah atau madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota pada umumnya belum banyak dirasakan perannya dalam peningkatan mutu pendidikan di kabupaten/kota, bahkan dalam proses pembentukannya pun dikuasai pihak-pihak tertentu yang kurang menguasai masalah pendidikan. Demikian pula dengan Komite Sekolah/Madrasah, di antara mereka masih kurang memiliki pemahaman yang mantap tentang MBS dan bahkan ada di antara mereka yang hanya berfungsi sebagai stempel bagi sekolah dalam melegitimasi pungutan dari orangtua siswa.

(8) Otonomi Sekolah
Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi kewenangan untuk mengelola input pendidikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan. Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara ketat untuk memberikan jaminan kualitas layanan yang diberikan sekolah kepada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang akurat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, bukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau melakukan Ulangan Umum Bersama melainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih.

(9) Kualitas SDM Pendidikan
Dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, tentu saja harus diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Harus diakui bahwa tenaga kependidikan yang saat ini tersedia merupakan produk dari LPTK yang belum mengantisipasi reformasi dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa hal para guru masih menggunakan paradigma transfer of knowledge dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal pola pikir ini telah lama ditinggalkan oleh kalangan innovator pendidikan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang masih hanya berfungsi sebagai guru, menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Konsep learning based experience dan learning by doing masih belum secara mantap diterapkan para guru. Apalagi konsep dasar pengembangan kompetensi yang seharusnya dijadikan dasar bagi pengembangan kurikulum di sekolah.

(10) Kesejahteraan Tenaga Kependidikan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kinerja tenaga kependidikan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesejahteraan yang diterima (take home pay). Dari gaji yang diterima para guru, mereka harus rela membagi penggunaannya dengan biaya transportasi dan konsumsi (terutama jika harus mengajar sampai dengan siang). Dengan demikian take home pay yang diterima para guru semakin kecil dan tidak manusiawi. Berbeda dengan profesi lain, untuk keperluan transportasi dan konsumsi biasanya tersedia pada institusi tersebut, sedangkan profesi guru harus merogoh saku gajinya. Dalam menyikapi hal ini, tampaknya pemerintah daerah harus segera memikirkan “insentif” atau tunjangan profesi yang dapat diberikan kepada guru agar kinerja mereka meningkat dalam rangka mempersiapkan SDM pendidikan di Kabupaten/Kota yang lebih baik. Pada daerah-daerah tertentu, hal ini sudah dilaksanakan, misalnya Kota Bandung, DKI Jakarta, Kutai Kertanegara, Propinsi Sumatera Barat, dan sebagainya. Mungkin jika Anggaran Pendidikan di Kabupaten Ciamis dapat diungkit hingga 20%, para guru dapat segera diberi insentif supaya memacu mereka dalam berkompetensi meningkatkan mutu pendidikan.

(11) Organisasi Penjamin Kualitas
Untuk melakukan jaminan kualitas pendidikan di Kabupaten/Kota, tampaknya diperlukan organisasi kedinasan, setara dengan eselon III yang membidangi peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan. Lembaga ini harus mampu memberikan jaminan kualitas hasil pendidikan dan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap tenaga kependidikan. Sudah tidak sesuai lagi apabila lembaga penjamin kualitas pendidikan yang memberikan pelatihan kepada tenaga pendidikan dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah. Lembaga ini dapat berfungsi melatih dan membina tenaga pemerintah daerah, namun untuk tenaga kependidikan harus dilaksanakan secara khusus agar dapat memberikan pelatihan terhadap tenaga kependidikan (guru) mengarah kepada profesionalisasi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelatihan, lembaga ini perlu mengundang educational expert dari Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan.

(12) Penggunaan Buku Teks Pelajaran
Ketentuan tentang Buku Teks Pelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permen 11/2005 masih belum diterapkan secara menyeluruh di sekolah. Berdasarkan ketentuan itu, Sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Komite Sekolah dilarang menjual buku di sekolah. Demikian pula, penerbit tidak boleh menjual buku langsung ke sekolah. Untuk keperluan peserta didik, para guru dapat menganjurkan kepada orangtua atau peserta didik untuk menggunakan buku Teks Pelajaran yang telah berstandar nasional. Pemerintah telah menyampaikan kebijakan tentang Buku Teks Pelajaran, bahwa Pemerintah Pusat tidak akan lagi menerbitkan atau membagikan Buku Teks Pelajaran untuk sekolah. Pemerintah hanya menetapkan buku-buku berstandar nasional yang dapat dipilih oleh sekolah untuk digunakan sebagai buku teks pelajaran di sekolah. Dalam memilih buku ini, sekolah harus mengajak dan melibatkan Komite Sekolah (sebagai wakil masyarakat). Kenyataan di lapangan, masih ada sekolah atau guru menjual paksa buku kepada siswa, menjual LKS kepada siswa, penerbit masih mengedrop buku ke sekolah, penentuan buku teks pelajaran tidak mengajak komite sekolah. Masih banyak persoalan tentang buku teks ini, mungkin karena low inforcement yang masih lemah di daerah, serta kesadaran masyarakat yang masih lemah.

(13) Pengembangan Kurikulum Sekolah
Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Banyak di antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dalam ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu harus disusun oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kurikulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah harus mengembangkan kurikulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 8 Jatinagara atau Kurikulum SMP Ma’arif Banjarsari. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP sehingga dapat dijadikan acuan pengembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, tampaknya masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi tenaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan kurikulum dapat mulai dipersiapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai bidang ini.

Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak pekerjaan bidang pendidikan yang belum diimplementasikan, tampaknya perlu segera kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan ini masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat bijak, apabila kita coba berpikir dengan jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersiapkan SDM yang unggul dan kompetitif. Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh karena itu, sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi dalam pendidikan. Perencanaan pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbagai pihak, karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan terkini, tampaknya harus segera diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebijakan makro, meso, maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.

30 Mei, 2008

Buku Teks Layak Pakai di Sekolah

oleh: DR. H. Suherli, M.Pd.
Setiap tahun ajaran baru, hampir pada umumnya orangtua dibuat pusing dengan keperluan biaya studi anak-anaknya. Bahkan menurut BPS, pada bulan Juli 2007 terjadi inflasi yang signifikan. Salah satu pemicu inflasi ini adalah pembiayaan dari masyarakat untuk keperluan membiayai studi anak-anaknya. Biaya studi ini selain sumbangan ke sekolah, pakaian seragam, buku tulis, juga yang tidak kalah penting adalah biaya membeli Buku Teks Pelajaran.
Memang apabila dicermati secara saksama, biaya untuk pembelian buku teks pelajaran, misalnya untuk siswa SD saja dengan jumlah murid se-Indonesia 25.997.445 dengan asumsi terdapat 9 mata pelajaran dan harga buku rata-rata Rp 20,000 saja diperlukan dana sebesar Rp 4,6 triliun. Tentu saja jumlah yang akan lebih fantastis lagi jika kita menghitung lagi biaya pembelian buku teks pelajaran untuk siswa SMP/MTs dan siswa SMA/SMK/MA. Dengan melihat jumlah biaya yang diperlukan untuk pembelian buku seperti di atas, tampaknya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 11/2005 merupakan salah satu alternatif untuk menekan inflasi dan juga menekan biaya pendidikan di Indonesia.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan dalam menetapkan kelayakan buku teks pelajaran untuk digunakan di sekolah. Sebelum lembaga ini terbentuk (sebelum tahun 2006) penilaian kelayakan buku dilakukan oleh Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP). Dalam menjalankan kinerjanya kedua lembaga ini difasilitasi secara teknis oleh Pusat Perbukuan Depdiknas, sebagai lembaga teknis yang secara langsung bertanggungjawab kepada Menteri Pendidikan.
Sejak tahun 2003, Pusat Perbukuan telah menetapkan buku-buku pelajaran yang memiliki kelayakan untuk digunakan di sekolah. Namun, seiring dengan desentralisasi pendidikan program sosialisasi tentang buku-buku yang memiliki kelayakan kurang mendapatkan respon yang positif dari berbagai pihak. Sesuai dengan kewenangannya, Pusbuk hanya menyosialisasikan hingga Pemerintah Provinsi. Selanjutnya pemerintah provinsi, melalui Dinas Pendidikan diharapkan melakukan sosialisasi ke Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Secara teknis, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menyosialisasikan lanjutan kepada masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Namun demikian, Pusat Perbukuan Depdiknas membuka pula akses maya melalui http://www.sibi.or.id.
Dalam menetapkan buku-buku teks pelajaran yang akan digunakan di sekolah, berdasarkan ketentuan Permendiknas Nomor 11/2005 Pasal 7 ayat (1) seharusnya setiap satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK) menetapkan kebijakan mikro tingkat sekolah dengan Meng-SK-kan buku-buku teks pelajaran yang akan digunakan di sekolah tersebut dalam kurun waktu selama 5 tahun. Dengan demikian, pada satu satuan pendidikan tidak diharapkan terjadi pergantian penggunaan buku teks pelajaran pada setiap tahunnya.
Penetapan buku-buku teks pelajaran pada satuan pendidikan harus ditempuh melalui rapat guru dan mendapatkan pertimbangan Komite Sekolah dengan cara memilih salah satu buku teks pelajaran yang telah dinyatakan memiliki kelayakan oleh pemerintah. Tindak lanjut dari ketentuan tersebut, setiap sekolah harus menginformasikan SK tentang pemilihan buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah kepada orangtua siswa. Dengan demikian, orangtua dapat memanfaatkan penggunaan buku teks pelajaran yang masih sesuai dengan buku yang tertuang dalam SK tadi, baik bekas saudaranya maupun dari pihak lain. Dari SK itu pula akan mendorong regulasi penyediaan buku-buku teks pelajaran oleh toko buku di sekitar sekolah untuk berkompetisi dalam pelayanan dan harga.
Untuk mengatasi monopoli dan praktik kurang edukatif berdasarkan ketentuan Permendiknas Nomor 11/2005 Pasal 9 dinyatakan bahwa sekolah, komite sekolah, guru, atau tenaga kependidikan tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik. Konsekuensinya, orangtua dapat dengan bebas mencari buku yang tertuang dalam SK itu ke toko-toko buku yang kadang-kadang harganya lebih rendah daripada yang dijual di sekolah.
Dalam hal orangtua tidak mampu membeli buku teks pelajaran sebagaimana yang tertuang dalam SK Kepala Sekolah itu, seharusnya tidak menjadi persoalan, karena berdasarkan Permendiknas tersebut, setiap sekolah harus menyediakan buku-buku teks pelajaran yang sesuai dengan ketetapannya minimal 10 eksemplar untuk setiap mata pelajaran dan setiap tingkatan kelas dan tersedia di Perpustakaan Sekolah. Dengan demikian, jika satu satuan pendidikan, misalnya SD yang memiliki 9 mata pelajaran seharusnya di perpustakaan tersedia 540 buku teks pelajaran yang diperuntukkan bagi siswa yang tidak memiliki akses pada buku teks pelajaran.
Sesungguhnya, deregulasi penggunaan buku teks pelajaran melalui Permendiknas Nomor 11/2005 ini telah sangat ideal dan berpihak kepada masyarakat. Namun, kenyataan yang sering kita hadapi saat ini, masih saja terjadi penggunaan buku teks pelajaran yang berganti-ganti setiap tahun di satu satuan pendidikan, penjualan buku oleh guru atau sekolah, penjualan buku-buku yang belum memiliki kelayakan, serta masih banyak pula praktik-praktik yang masih belum sesuai dengan harapan regulasi itu.
Untuk itu, kiranya dapat disajikan pada tulisan ini buku-buku teks pelajaran yang telah dinilai dan memiliki kelayakan digunakan di sekolah sebagai acuan bagi orangtua. Buku Teks Pelajaran SD/MI yang telah dinilai adalah buku teks pelajaran (1) Bahasa Indonesia; (2) Matematika; (3) IPA; dan IPS. Untuk SMP/MTs adalah buku teks pelajaran (1) Bahasa dan Sastra Indonesia; (2) Bahasa Inggris; (3) Matematika; (4) Kewarganegaraan. Untuk SMA/MA adalah buku teks pelajaran (1) Bahasa dan Sastra Indonesia; (2) Bahasa Inggris; (3) Matematika; (4) Fisika; (5) Biologi; (6) Kimia; (7) Ekonomi; (8) Geografi; (9) Sosiologi, dan (10) Antropologi. Memang, belum seluruh buku teks pelajaran dinilai oleh pemerintah, karena proses penilaian yang dilakukan memerlukan pembiayaan besar dan melibatkan para penilai yang sangat banyak, baik dari unsur guru, ahli pembelajaran, maupun ahli materi selain secara khusus terdapat mata pelajaran yang meminta pertimbangan Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.
Cara sederhana yang dapat digunakan oleh orangtua dalam mengidentifikasi buku teks pelajaran yang layak digunakan di sekolah adalah (1) pada bagian belakang buku menggunakan legalitas berdasarkan SK Dirjen Dikdasmen Nomor 455 atau 505 atau Permendiknas Nomor 26/2005 atau Nomor 22/2007; (2) disajikan dalam bentuk satu tahun (tidak per semester); (3) mencantumkan harga jual maksimal buku pada jilid luar; (4) menggunakan kertas HVS bukan kertas koran; (5) pada bagian jilid muka tidak menggunakan embel-embel tulisan rujukan kurikulum yang digunakan. Dengan regulasi tentang buku teks pelajaran yang dilakukan pemerintah, diharapkan semua pihak dapat memahami kerangka dasar pembangunan bangsa secara komprehensif. Orangtua dapat ikut berperan serta dalam mengontrol penjaminan mutu pendidikan dan dengan mudah mengidentifikasi penanda dasar buku-buku yang telah dinyatakan memiliki kelayakan digunakan di sekolah. Pemanfaatan buku teks pelajaran di sekolah sesuai dengan standar pendidikan dan para guru dan tenaga kependidikan diharapkan berkonsentrasi pada profesinya. Selain itu, pengeluaran dana masyarakat untuk pembiayaan pendidikan diharapkan dapat menekan inflasi yang terlalu tinggi.

Usia Buku Teks

Menilik Usia Buku Teks Pelajaran *)

Oleh: Suherli

Ketika Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY) memenangi pemilihan presiden untuk yang pertama kalinya secara langsung dipilih oleh rakyat, banyak masyarakat menengah ke bawah berharap kebijakan yang berpihak kepada “wong cilik”. Maka dengan serta merta, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (saat itu dijabat oleh Alwi Shihab), menggulirkan Usia Buku teks pelajaran harus 5 tahun. Sekalipun pada saat itu belum ada peraturan yang memayungi masalah usia buku, namun mungkin karena diperlukan citra program yang memerhatikan kepentingan rakyat, maka program itu dipropagandakan. Para orangtua dengan antusias menyambut program itu sebagai sebuah era baru keberpihakan pemerintah kepada masyarakatnya.
Memang apabila dicermati secara saksama, biaya untuk pembelian buku teks pelajaran, misalnya untuk siswa SD saja dengan jumlah murid se-Indonesia 25.997.445 dengan asumsi terdapat 9 mata pelajaran dan harga buku rata-rata Rp 20,000 saja diperlukan dana sebesar Rp 4,6 triliun. Tentu saja jumlah yang sangat fantastis ketika kita menghitung biaya pembelian buku teks pelajaran untuk siswa SMP/MTs dan siswa SMA/SMK/MA. Dengan melihat jumlah biaya yang diperlukan untuk pembelian buku seperti di atas, tampaknya kebijakan usia buku lima tahun merupakan suatu kebijakan populer yang akan sangat dinikmati oleh masyarakat. Namun, bagaimanakah kenyataannya sekarang?
Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan memosisikan Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai badan independen untuk bertanggung jawab terhadap pengembangan Standar Nasional Pendidikan. Salah satu standar yang harus ditetapkan adalah kualitas buku teks pelajaran. Dalam pasal 3 Peraturan Menteri Nomor 11/2005 dijelaskan bahwa “buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari BSNP”. Tahun 2007 telah mulai dilakukan penilaian terhadap buku-buku teks pelajaran SMP dan SMA. Menurut informasi, tahun 2008 BSNP akan melakukan penilaian terhadap buku-buku SD sampai dengan SMA.
Tentu saja, upaya ini merupakan suatu tanggung jawab yang harus segera direalisasikan. Namun, kiranya patut mendapat pertimbangan dan pemikiran bagi semua pihak. Tahun 2004, sebelum terbentuk BSNP telah dilakukan penilaian buku-buku teks pelajaran untuk SD (Matematika, Bahasa Indonesia, dan Sain) oleh Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP) hanya memang buku-buku tersebut mengacu pada Kurikulum 2004. Demikian pula pada tahun 2005 telah dilakukan penilaian terhadap buku teks pelajaran untuk SMP/SMA (Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa & Sastra Indonesia). Berdasarkan pantuan di lapangan, buku-buku hasil penilaian tersebut baru mulai digunakan oleh para siswa di sekolah-sekolah mulai tahun ajaran 2006/2007. Sementara itu, kebijakan tenggat waktu pemberlakuan Permendiknas Nomor 22 dan 23 tahun 2006, ditambah lagi hingga 2009. Oleh karena itu, sejak tahun itu seluruh sekolah harus sudah menggunakan buku teks pelajaran yang merujuk pada standar tersebut.
Apabila dihubungkan dengan usia buku, buku teks pelajaran hasil seleksi 2004 dan 2005 yang telah mulai digunakan 2006 dengan terpaksa harus diganti lagi pada tahun 2009. Dengan demikian usia buku teks pelajaran hanya akan mencapai 3 tahun. Lantas, bagaimana dengan kebijakan usia buku harus lima tahun? Bagaimana pula dengan pasal 7 Permendiknas 11/2005 tentang usia buku? Mungkin hal ini yang harus menjadi renungan kita bersama, sambil ikut memikirkan yang dirasakan oleh masyarakat, betapa besarnya biaya pembelian buku teks pelajaran.
Memang, apabila kita cermati Pasal 7 ayat (2) Permendiknas 11/2005 yang menyatakan bahwa “Buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila (a) ada perubahan standar nasional pendidikan; dan (b) buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri” (sekalipun akhir-akhir ini kita mengetahui bahwa pelarangan peredaran salah satu buku teks pelajaran dilakukan oleh Kejaksaan Agung). Selayaknya, sejak ditetapkan Permendiknas Nomor 22 dan 23 tahun 2006 maka buku teks pelajaran yang saat ini digunakan oleh sekolah-sekolah melanggar ketentuan ini karena saat ini telah ada perubahan standar nasional pendidikan. Namun, apakah kita akan membiarkan para siswa tidak memiliki buku teks pelajaran?
Dalam hal memilih buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah harus dilakukan melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah. Jika mencermati hal yang berhubungan dengan usia buku, maka dalam penetapan hasil pemilihan ini harus dilakukan satu kali untuk masa pakai selama lima tahun.
Kenyataan terjadi di lapangan, penetapan ini dilakukan pada setiap awal tahun ajaran melalui rapat guru dan (kadang-kadang) dengan pertimbangan komite. Apabila pada penetapan tahun lalu dipilih satu buku dari penerbit tertentu (yang dinyatakan memiliki kelayakan oleh Menteri), kemudian tahun ini menetapkan buku lain maka tentu saja masa pakai buku tersebut hanya satu tahun. Ini pula yang seringkali memberatkan masyarakat. Seharusnya dalam menetapkan hasil pemilihan buku teks pelajaran pada satuan pendidikan tertentu harus dimaksudkan untuk masa pakai selama lima tahun. Dengan demikian, jika pada satuan pendidikan memilih buku teks terbitan tertentu, maka buku teks pelajaran tersebut akan tetap digunakan sebagai acuan wajib guru dan peserta didik dalam pembelajaran dalam kurun waktu selama lima tahun.
Keuntungan lain akan dapat dirasakan oleh masyarakat banyak dari kebijakan usia buku teks pelajaran ini. Jika orangtua yang memiliki anak usia sekolah lebih dari satu paling tidak, ia dapat memanfaatkan masa pakai buku teks pelajaran tersebut pada suatu satuan pendidikan tertentu. Usia buku lima tahun dapat diestafetkan dari kakaknya kepada adik-adiknya dalam kurun waktu lima tahun.
Buku teks pelajaran yang diharapkan dapat memenuhi masa pakai selama lima tahun ini tentu saja akan dapat meningkatkan usia buku tersebut. Para penerbit akan menyiapkan buku teks pelajaran dengan kualitas yang bagus, sehingga paling sedikit ia akan mencapai usia lima tahun. Namun, bagaimana mungkin dapat mencapai usia lima tahun, jika pencetakan buku teks pelajaran dilakukan dengan kualitas kurang baik. Sementara itu, kemampuan daya beli buku masyarakat masih rendah. Oleh karena itu, kiranya diperlukan suatu upaya yang menyeluruh berkaitan dengan ketersediaan bahan-bahan berkualitas untuk pencetakan suatu buku di Indonesia.
Dengan mencermati hal di atas, tampaknya kebijakan usia buku teks pelajaran akan sangat bersinggungan dengan berbagai kepentingan. Pertama berhubungan dengan pengambilan kebijakan dengan pertimbangan yang bijak oleh BSNP bahwa impian kebermanfaatan dan kebergunaan buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun sangat didambakan oleh masyarakat secara umum. Kedua, Usia pakai buku hingga lima tahun, dapat menghemat dana masyarakat untuk biaya pendidikan sekitar Rp 18,7 triliun. Penghematan ini dapat digunakan masyarakat untuk peningkatan produktivitas pembangunan lainnya, terutama yang berkaitan dengan peningkatan Human Development Index bangsa Indonesia. Ketiga, berhubungan dengan penggunaan buku teks pelajaran di sekolah-sekolah diperlukan fleksibilitas deregulasi karena implementasi penyebarannya di masyarakat sangat lambat. Keempat, penetapan hasil pemilihan buku teks pelajaran pada satuan pendidikan harus sejalan pula dengan kebijakan masa berlaku buku teks tersebut. Dengan demikian, penetapan hasil pemilihan buku teks pelajaran yang dilakukan guru dengan pertimbangan komite sekolah pada satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, atau SMA/MA) untuk jangka waktu lima tahun. Kebijakan ini dapat mengakomodasi orangtua yang mampu memfasilitasi anaknya membeli buku teks pelajaran pada setiap tahun, dan juga memberi kemudahan kepada orangtua yang akan mengajari anaknya untuk menjaga dan merawat buku agar dapat diwariskan kepada adik-adik atau tetangganya. Kelima, dalam menetapkan kebijakan usia buku teks pelajaran perlu pula dipertimbangkan kepentingan para penerbit. Mereka dituntut untuk mampu menghasilkan produksinya yang berkualitas sehingga diperlukan pembinaan melalui institusi teknis terkait. Namun demikian, perlu pula diperhatikan para penulisnya, baik berkaitan dengan perlindungan hak cipta maupun pembinaan kualitas karyanya.
Kita sering menemukan buku umum yang berusia puluhan tahun, namun masih dapat dimanfaatkan baik fisiknya maupun isinya. Maka akan sangat ringan kiranya, jika hanya untuk menciptakan dan menjaga usia buku teks pelajaran minimal lima tahun. Mudah-mudahan, semua pihak yang berkepentingan dengan buku teks pelajaran dapat mempertimbangkan pencapaian usia buku sebagaimana harapan banyak pihak. Semoga.

*) Tulisan ini telah diterbitkan dalam Buletin Pusat Perbukuan Vol 13 Des 2007

29 Mei, 2008

Karangan Ilmiah

Karangan dan Komunikasi Ilmiah
by Suherli


Kegiatan berkomunikasi dapat dilakukan secara lisan dan tulisan. Berkomunikasi yang dilakukan secara lisan akan terbatas oleh ruang dan waktu. Pada saat seseorang sedang berkomunikasi secara lisan maka komunikasi tersebut hanya berlaku bagi orang yang berada dalam satu ruangan dan dapat mendengar segala yang disampaikan. Berkomunikasi secara lisan dibatasi pula oleh waktu, ketika pembicaraan selesai maka selesai pula kegiatan komunikasi itu.
Kegiatan berkomunikasi dengan tulisan dapat menembus ruang dan waktu. Berkomunikasi melalui tulisan tidak dibatasi oleh kehadiran pembaca dalam suatu ruangan. Berkomunikasi lewat tulisan tidak harus dalam waktu tulisan itu dibuat, namun dapat dilakukan pembaca pada waktu yang berbeda, mungkin sehari berikutnya, sebulan yang akan datang, atau setahun yang akan datang. Bahkan mungkin sepuluh tahun yang akan datang tulisan masih dapat berfungsi sebagai media komunikasi.
Berkomunikasi melalui tulisan akan terjalin interaksi antara penulis dengan pembaca hanya melalui tulisan. Pembaca mencoba memahami maksud penulis melalui tulisan yang tampak secara grafika dalam naskah atau buku. Dari sederet kata dan kalimat tersebut terdapat makna komunikasi yang dijalin penulis yang dipersembahkan kepada sidang pembaca.
Salah satu media komunikasi tertulis adalah karangan atau karya tulis. Banyak sekali bentuk-bentuk karangan yang dapat dijumpai dalam naskah tertulis, salah satu di antaranya adalah karangan ilmu pengetahuan. Namun, karangan ilmu pengetahuan itu terbagi ke dalam karangan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan karangan nonilmiah (Jones dalam Brotowidjojo, 1993:3). Klasifikasi ini berdasarkan pada argumen yang disajikan, sistematika, dan metode penyajian karangan tersebut.
Karangan ilmiah menyajikan argumen keilmuan berdasarkan fakta. Argumen ilmiah itu harus dapat dipercaya dan diterima kebenarannya, sehingga perlu kriteria penyajian yang benar. Argumen ilmiah dalam karangan ilmiah seharusnya disajikan dengan tidak membuat pihak lain atau sidang pembaca ragu untuk menerimanya. Penerimaan sidang pembaca terhadap komunikasi tertulis yang ilmiah didasarkan pada pemenuhan indikator sebuah karangan ilmiah, baik dari karakteristik, struktur, maupun aspek kebahasaan yang menjadi ciri karangan ilmiah.
Penyajian karangan ilmiah harus dilakukan secara logis. Karangan yang ilmiah berarti karangan yang menyajikan argumen dengan menggunakan logika berpikir secara benar. Apabila penyajian karangan ilmiah menggunakan logika yang benar maka argumen ilmu pengetahuan tersebut akan diterima pula oleh akal atau logika orang yang berpikir ilmiah. Apabila karangan ilmiah menyajikan argumen secara objektif, bukan argumen yang pribadi, maka akan dipahami pula oleh pembaca sebagai sebuah kebenaran.


Pentingnya Menulis Karangan Ilmiah
Pengembangan kemampuan menulis karangan ilmiah di kalangan siswa atau mahasiswa telah banyak dilakukan mulai dari pengembangan terhadap penguasaan unsur-unsur bahasa sampai dengan pengembangan terhadap kemampuan melakukan tahap-tahap proses kreatif. Pengembangan kemampuan menulis di sekolah-sekolah atau di perguruan tinggi tidak secara khusus dilakukan dalam bentuk pelatihan, kecuali pada beberapa tempat yang dikembangkan program workshop menulis yang berorientasi pada pengembangan menulis secara langsung.
Pembelajaran menulis di sekolah-sekolah di Indonesia tidak dilakukan secara khusus. Pembelajaran menulis hanya merupakan bagian kecil dari pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Pengembangan kompetensi menulis kepada para siswa hanya sebagian kecil dari pembelajaran di kelas, sehingga kemampuan ini kurang merata dimiliki para pelajar. Bahkan, dari aspek pembinaan guru terhadap kemampuan menulis karangan kurang dilakukan secara optimal. Para siswa jarang beroleh masukan dari guru berupa koreksi terhadap karangan yang dibuatnya. Pada umumnya para siswa hanya mendapatkan nilai kemampuan mengarang, namun tidak mengetahui kelemahan dan keunggulan dari karangan yang dibuatnya.
Apabila terdapat beberapa kemampuan unggul dari para pelajar di Indonesia dalam menulis karangan ilmiah, kemampuan ini sebagai kemampuan bawaan atau karena siswa melatih dirinya. Kemampuan yang dimilikinya itu, bukan merupakan sebuah hasil optimal dari pembelajaran menulis, melainkan karena siswa melakukan kegiatan pengembangan diri dalam menulis.
Kondisi di atas merupakan sebuah fenomena yang mengakibatkan lemahnya kemampuan sebagian besar pelajar dalam menuangkan argumen secara tertulis. Padahal, kemampuan menulis karangan bagi para pelajar sangat penting sebagai bentuk kegiatan berkomunikasi secara tertulis. Dari para pelajar sangat diharapkan bermunculan berbagai pemikiran atau argumen keilmuan yang dapat melengkapi khasanah perkembangan ilmu.
Perkuliahan yang mengarah pada pembinaan kemampuan menulis di perguruan tinggi di Indonesia pada program studi nonbahasa hanya merupakan sebagian kecil dari luang lingkup mata kuliah Bahasa Indonesia. Kondisi ini tampak paradoks dengan tuntutan kemampuan menulis karangan ilmiah yang diharapkan dapat dilakukan mahasiswa. Pada umumnya, para mahasiswa beroleh kesulitan di dalam menulis karangan ilmiah jenis makalah yang ditugaskan kepadanya dari para dosen. Para mahasiswa sering pula menghasilkan makalah yang kurang memenuhi kriteria sebagai karangan ilmiah karena keterbatasan kemampuan dalam menulis karangan ilmiah yang dimilkinya.
Demikian pula ketika mahasiswa akan menyelesaikan studinya dan dituntut membuat karangan ilmiah berupa penuangan secara tertulis gagasan hasil penelitian, mereka mendapat kesulitan dalam merangkai gagasan tertulis ke dalam bentuk karangan ilmiah, yang harus dilaporkan dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi.
Bentuk-bentuk pengembangan kemampuan menulis yang telah diterapkan dalam dunia pendidikan pada negara-negara maju di antaranya dilakukan oleh D’angelo (1997) yang melakukan pengembangan menulis secara bertahap. Tahapan pengembangan tersebut adalah pertama pemahaman tentang paragraf, kedua mengindikasi bahasan umum yang akan diungkapkan, ketiga menuangkan pernyataan-pernyataan dalam tulisan, keempat menetapkan rencana pengembangan.
Bentuk pengembangan lainnya telah dilakukan oleh Di-Yanni (1995:40), yaitu pengembangan kemampuan menulis yang dilakukan dengan mengembangkan gagasan atau ide melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan pada waktu menulis, kemudian mengembangkannya melalui keterhubungan antar-ide dan kontroversi dari setiap ide. Pengembangan ini akan memperkaya wawasan penulis dalam menuangkan gagasannya ke dalam tulisan.
Pengembangan menulis sebagai dasar pengembangan program literasi yang dilakukan di English Composition Board (ECB) di University of Michigan dengan menerapkan uji penempatan program bagi setiap mahasiswa yang akan mengikuti program tersebut sebagai prasyarat mengikuti program akademik. Setiap siswa yang akan memasuki ECB terlebih dahulu harus dapat menyusun esei sebelum mendaftar kelas yang akan dimasukinya. Berdasarkan kompetensi yang didemonstrasikan dalam tulisan tersebut, mahasiswa ditempatkan dalam tiga kategori program bersyarat, yaitu (1) Tutorial Program yang memiliki kredit dua sampai dengan empat satuan kredit yang harus diambil pada awal semester setelah mereka mengikuti matrikulasi; (2) Introductory Composition Program yang memiliki kredit empat satuan kredit dan diajarkan pada kedua semester awal setelah matrikulasi; dan (3) Exempted Program yang tidak memprasyaratkan program Introductory Composition bagi para mahasiswa sebelum mengikuti program menulis yang lebih tinggi (Stock, 1985:88).
Dari program yang diterapkan ini, kemudian program-programnya diperluas pada pengembangan alat ukur kemampuan menulis, pelatihan para pengajar dalam menulis, konferensi khusus atau pertemuan ilmiah tentang menulis serta berbagai aktivitas menulis lainnya. Perhatian secara optimal yang dilakukan oleh suatu institusi pada pengembangan kemampuan menulis tersebut dapat menghasilkan lulusan yang literat atau memiliki kamampuan literasi sebagai landasan keberhasilan penguasaan kemampuan lainnya.


Perkembangan Ilmu dalam Karangan Ilmiah
Pengetahuan ilmiah berbeda dengan pengetahuan sehari-hari. Pengetahuan sehari-hari ini sering disebut sebagai pengetahuan nonilmiah. Pengetahuan ilmiah dapat dikaji oleh filsafat ilmiah, sedangkan pengetahuan secara umum dikaji berdasarkan epistemologi. Filsafat ilmiah mendasari kajian keilmuan secara ilmiah berdasarkan metodologi dan kebenaran ilmiah. Namun, filsafat ilmu pengatahuan dan epistemologi tidak dapat dilepaskan satu sama lain (Adian, 2002:18).
Untuk mengetahui ciri pengetahuan ilmiah terlebih dahulu kita harus mengenal pengetahuan nonilmiah. Pengetahun nonilmiah merupakan suatu gelaja yang ada sebagai pengalaman yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah dan logis. Pengetahuan nonilmiah merupakan suatu tradisi atau budaya suatu masyarakat yang dianut secara turun temurun, sehingga eksistensinya tidak dapat dijelaskan berdasarkan metodologi ilmiah.
Dalam menguji keabsahan pengetahuan diperlukan keselarasan antara argumen dengan dunia luar (empiris-induktif), keselarasan antarpernyataan logis (formal-deduktif), keselarasan instrumental atau kebermanfaatan (fungsional). Berdasarkan hal tersebut akan dihasilkan ilmu-ilmu empiris, abstrak, dan terapan (Adian, 2002:19). Kebenaran ilmu pengetahuan dapat ditunjukkan oleh kebenaran teori dengan empiri berdasarkan metodologi ilmiah. Keandalan deskripsi ilmu pengetahuan tampak dari cara kerja ilmiah yang mengarah pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya pengetahuan ilmiah selalu berkembang. Perkembangannya akan sangat terasa ketika kita menyaksikan perkembangan teknologi sebagai hasil dari perkembangan ilmu. Berbagai hasil temuan baru dalam ilmu pengetahuan akan berdampak pada penerapan ilmu pengetahuan tersebut.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu terjadi apabila terdapat anomali dari suatu teori atau terdapat ketidakselarasan dengan empiri. Dari hal tersebut akan terjadi krisis kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan yang kemudian akan muncul paradigma baru (Kuhn, 2000). Sementara itu, dari perspektif lain dinyatakan bahwa perkembangan ilmu itu berdasarkan pada ketidakmampuan ilmu pengetahuan tersebut dalam mengeliminasi keterbatasan-keterbatasannya sehingga muncul suatu teori tentatif baru (Popper dalam Hoover, 1990).
Berdasarkan kedua pandangan tersebut, dalam perspektif sederhana bahwa berbagai kajian dalam suatu penelitian itu pada dasarnya dimasudkan untuk menciptakan perkembangan ilmu pengetahuan. Ketika seseorang melakukan penelitian, tentu saja bertolak dari suatu permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara teoretis dan praktis oleh ilmu pengetahuan yang ada. Prosedur dan hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka mengatasi masalah tersebut harus dapat dideskripsikan dalam bentuk laporan hasil penelitian. Dari laporan itulah, pembaca dapat memahami atau mengakui keabsahan dan keselarasan kajian ilmiah yang dilakukan.Laporan kegiatan penelitian itu disajikan dalam bentuk karangan ilmiah. Bentuk karangan ilmiah yang berhubungan dengan penyelesaian studi dapat berupa makalah, skripsi, tesis, atau disertasi. Laporan studi sebagaimana bentuk-bentuk karangan tersebut pada dasarnya berkonstribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk dapat meningkatkan kepercayaan sidang pembaca terhadap keabsahan dari temuan penelitian ilmiah sangat diperlukan sajian perkembangan ilmu tersebut berdasarkan karakteristik penyajian karangan ilmiah. Demikian pula dalam menyodorkan laporan penelitian itu seharusnya dikemas dalam suatu karangan yang memenuhi kriteria struktur sebuah karangan ilmiah dan bahasa yang memiliki ciri-ciri sebagai bahasa ilmiah.
(Bersambung)

28 Mei, 2008

Puisiku

Nelayan Pangandaran
Karya: Suherli Kusmana

perahu nelayan melaut di dingin embun
derap ombak berkayuh dayung
dan perahu pun lenggang mengalun
menerabas angin dan gelombang kala pasang
menembus gelap berpapahkan cahaya bintang

kala pulang nelayan memasang layar
bercanda lewat hembus angin dan gelombang
mendaratkan sampan penuh ikan
setelah tenaga terkulai di terik siang

di pinggir pantai si anak melambai
bersuka cita menunggu harap
mendulang esok dari tangkapan ikan
wujudkan cita-cita dan impian

kini nelayan tak lagi berteman dayung dan layar
mereka tak lagi harus menghitung arah angin
tenaga tak harus banyak terkuras
tapi ikan mulai menghilang
mungkin karena tak ada lagi terumbu karang
yang hancur dan tertimbun sampah

Banyuasin, Juni 1999




Bulan Pangandaran
Karya: Suherli Kusmana

ketika purnama di pantai Pangandaran
malam bersuka cita mendendangkan kedamaian
ombak dan angin menderu berkejar-kejaran
ikut bersenda bersama awan dan bulan
mereka mementaskan sandiwara alam

di pasir bertikar ini kusaksikan babak demi babak
pentas alam yang membuka cakrawala kehidupan

di bawah sorot bulan kuungkapkan
kesetiaan pada hasrat dan nurani kebenaran

di sunyi malam ini kubaca keagungan-Mu
pencipta jagat raya, pemberi sinar dan cahaya bulan

di tempat ini kutuliskan keindahan malam
sebagai warna bagi harapan dan keinginan

bulan di Pangandaran
menuntun kisah keindahan, kedamaian, dan keagungan
jika bulan hilang
tak ada lagi cerita tentang anak nelayan
tentang harapan kehidupan dan masa depan

Pananjung, Agustus 2000

Peradaban Baru
Karya: Suherli Kusmana


ada anak kecil bertanya-tanya
di pintu kantor perwakilan rakyat peradaban baru

“Apa artinya demokrasi jika aspirasi harus dibayar mahal
dengan keringat, teriakan, dan berbagai atribut serta bendera
ketika kami harus menanggung derita
sedangkan kamu berpangku tangan
di atas kursi kekuasaan

Apa artinya ada pemerintah
jika kami tak bisa sekolah karena mahal
jika ingin sehat harus ditebus dengan mahal
jika ingin makan harus menjual kelapa dengan murah

Apa artinya kemerdekaan
jika anak-anak harus menanggung biaya hidup
dan kehilangan masa kecil yang indah
tempat-tempat bermain disulap teknologi biaya tinggi

di pintu kantormu aku mulai tahu
bahwa kamu tidak tahu aku
anak-anak pewaris masa depan
tidak kamu pikirkan

Ciamis, Mei 2004



Mengharap
Karya: Suherli Kusmana

pada derap panjang kugantungkan harapan
meneratas lempengan tetes jalan batu berliku
mengelupas pelepah ranting kehidupan
yang nyaris terabaikan

masihkah ada harapan
tentang keadilan yang kau janjikan pada suatu siang
saat kau memerlukan dukungan

adakah yang masih berharap pada suatu harapan
yang tak kunjung berujung
pada kenyataan

masihkah semua berharap
tentang sebuah harapan

2 November 2002

Pemuda Harapan
Karya: Suherli Kusmana

seorang kakek tertatih di pintu sekolah
lelah mencari sosok pemuda harapan
setelah hidupnya tak bermakna hingga terasa senja

wahai pemuda penopang masa depan
mulailah mengukir diri dan mengepalkan lengan
menyiapkan hati dan pikiran menjadi rangkaian arah
dalam melayani semua anak bangsa
tanpa memberi pembeda

jadilah pemimpin yang merasakan sulitnya melakoni hidup
dekat dengan rakyat dalam menyusur derita dan tangis
berjalan dalam kesahajaan berpikir dalam kemenangan
dengan tegap dan pasti

jadilah penerus sejarah yang bijak
menapaki seluruh relung gundah dan serapah
hingga terukir keadaan kejayaan bangsa
yang tidak terlalu lama

jadilah pemenang satria gagah berpedang nurani
berpangkal kejujuran, keberanian, kebenaran, berkeadilan
sebagai ahlaq bangsa yang telah terlalu lama hilang
dari banyak sikap para pemuda

jadilah pemuda yang ramah pada bangsanya
memapah kejayaan menjunjung menara singgasana
dengan kepal tembikar di padang kebersamaan

28 Oktober 2006

Satriaku
Karya: Suherli Kusmana

negeri ini sangat kaya tapi miskin kejujuran
bahkan jujur untuk tubuh dan hatinya
jujur untuk tindakan dan perlakuan seluruh jiwanya

bangsa ini sedikit yang tanggung jawab
untuk semua tindak tutur
di kalangan ini sulit sekali tertanam disiplin
ketika semuanya serba boleh dan mungkin
di tanah ini berat juga menanam semangat kerja sama
jika individu lebih tampak ke muka
di antara kita tak ada lagi keadilan
karena selalu membedakan rasa dan perlakuan

dalam pikiran ini mulai hilang masa depan
karena masa lalu mendekap kencang
pada tangan ini telah lenyap kepedulian
ketika derita mencekam sesama

di manakah kau satriaku
ketika semua orang mulai melalaikan
dari dekapan karakter-Mu
datanglah satriaku ke dalam nurani bangsaku

Ciamis, Agustus 2007

Tekan di sini http://www.ziddu.com/finished.php?uid=gfidgahhfcgag&fname=CIMG0356.jpg&sub=done