Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

16 Juli, 2008

Keterbacaan Buku Teks Pelajaran

Oleh:
Suherli
Dosen Universitas Galuh Ciamis


A. Abstrak
Dalam kegiatan pembelajaran di Indonesia, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan media interaksi antara pendidik dan peserta didik, kecuali pelajaran bahasa Inggris dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia digunakan pendidik untuk menyampaikan konsep keilmuan, mengembangkan kompetensi, dan meningkatkan keterampilan peserta didik. Demikian pula dalam buku teks pelajaran, bahasa Indonesia digunakan sebagai media berkomunikasi antara penulis buku dengan peserta didik. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan seharusnya dapat mengusung dan menjelaskan konsep lokal hingga global sesuai dengan perkembangan dan kematangan emosional peserta didik.
Penelitian ini menyingkap aspek keterpahaman penggunaan bahasa Indonesia bagi peserta didik dalam membaca buku teks pelajaran untuk menentukan keterbacaannya. Buku teks yang diukur terdiri atas pelajaran bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Dengan menggunakan teknik observasi, tes, dan angket dilakukan pengumpulan data dari sumber data yang dipilih secara purposive (untuk menentukan lokasi 3 provinsi, dan 3 kabupaten/kota) dan dengan teknik stratified random sampling (untuk menentukan peserta didik yang diukur) melalui empat buku teks pelajaran. Hasilnya, keterpahaman bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan kosakata yang digunakan, tingkat keintiman kalimat dengan siswa, pemahaman gagasan utama suatu paragraf, dan jenis wacana yang dipilih.

kata kunci: keterbacaan, keterpahaman, dan buku teks pelajaran

B. Pendahuluan
Dari sudut pandang buku teks pelajaran, bahasa Indonesia merupakan media berinteraksi antara peserta didik dengan materi didik. Bahasa Indonesia digunakan untuk menyampaikan konsep keilmuan dan seperangkat kompetensi yang seharusnya dimiliki dan dikembangkan dalam pembelajaran. Bahasa Indonesia digunakan untuk memahami tahapan yang harus dilakukan peserta didik dalam mengembangkan kompetensinya. Bahasa Indonesia digunakan sebagai wahana berpikir peserta didik dalam memahami konsep dan aplikasinya.
Bahasa Indonesia dalam bahan ajar dituntut dapat menjelaskan konsep sesuai dengan perkembangan intelektual peserta didik. Bahasa Indonesia yang digunakan harus sesuai dengan kematangan sosial emosional peserta didik dalam mengusung konsep lokal sampai dengan global. Bahasa Indonesia yang digunakan harus menarik dan jelas agar mendorong peserta didik untuk mempelajari bahan ajar sampai dengan tuntas. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahan ajar seharusnya menggunakan bentuk kata, istilah, kalimat, dan paragraf yang sesuai dengan kaidah bahasa untuk berkomunikasi tertulis.
Dari sudut pandang kebijakan pendidikan, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa buku teks pelajaran termasuk ke dalam sarana pendidikan yang perlu diatur standar mutunya, sebagaimana juga standar mutu pendidikan lainnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pasal 43 peraturan ini menyebutkan bahwa kepemilikan buku teks pelajaran harus mencapai rasio 1:1, atau satu buku teks pelajaran diperuntukkan bagi seorang siswa. Buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah harus memiliki kebenaran isi, penyajian yang sistematis, penggunaan bahasa dan keterbacaan yang baik, dan grafika yang fungsional. Kelayakan ini ditentukan oleh penilaian yang dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri.
Kebijakan buku teks pelajaran sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005 mengatur tentang fungsi, pemilihan, masa pakai, kepemilikan, pengadaan, dan pengawasan pengunaan buku teks pelajaran. Menurut Peraturan Menteri ini, buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku teks pelajaran berfungsi sebagai acuan wajib oleh pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Buku teks pelajaran hendaknya mampu menyajika bahan ajar dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di sini dapat dilihat apakah penggunaan bahasanya wajar, menarik, dan sesuai dengan perkembangan siswa atau tidak. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan tatabahasa baku.
Pada tahun 2004 Depdiknas melalui SK Dirjen Dikdasmen Nomor 455 dan 505 telah menetapkan buku-buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Pengetahuan Sosial yang memenuhi kelayakan isi, penyajian, keterbacaan, dan grafika berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh PNPBP Pusat Perbukuan Depdiknas pada tahun 2004. Buku-buku tersebut pada tahun 2006 sepatutnya telah digunakan di SD/MI di seluruh Indonesia.
Penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dilakukan terhadap buku-buku teks pelajaran hanya berpusat terhadap aspek bacaan, baik hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan wacana, paragraf, kalimat, dan kata yang dipandang dari kaidah bahasa Indonesia dan ketersesuaian bahasa dengan peserta didik. Berdasarkan penilaian itu, bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku teks pelajaran diduga dapat berfungsi sebagai media menyampaikan pesan. Namun, informasi tentang interaksi antara pembaca (peserta didik) dengan bacaan (bahasa Indonesia) dalam kegiatan penilaian itu tidak menjadi pertimbangan karena informasi tersebut harus diperoleh ketika buku tersebut digunakan oleh peserta didik dalam peristiwa membaca.
Dalam menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran dilakukan kajian pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan Prof. Dr. Yus Rusyana (1984: 213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan buku teks pelajaran.
Tulisan ini akan lebih dominan mengungkap tentang hasil kajian keterbacaan buku teks pelajaran. Keterbacaan yang dimaksud adalah kemampuan berinteraksi penggunaan Bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran dengan peserta didik sebagai pembaca. Oleh karena itu, mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks pembelajaran.

C. Beberapa Hasil Studi Keterbacaan
Keterbacaan (readability) adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) Test dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.

D. Metode Penelitian
Kajian deskriptif ini dilakukan terhadap siswa SD/MI di Indonesia dengan membagi keterwakilan sumber data dari tiga wilayah (Indonesia bagian Barat, Tengah, dan Timur). Dengan menggunakan metode angket, observasi, tes dan wawancara terhadap buku yang telah dinyatakan memiliki kelayakan sebagai buku berstandar nasional yaitu buku Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial.
Sumber data dipilih dari tiga kabupaten/kota di tiga provinsi. Dari setiap kabupaten/kota dipilih tiga sekolah yang dianggap unggul, sedang, dan kurang. Dari setiap sekolah dipilih peserta didik berdasarkan tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2) dan kelas tinggi (kelas 3,4,5, dan 6). Dari setiap kelas, siswa dipilih berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan) berdasarkan penilaian guru sebagai siswa terbaik, sedang, dan kurang. Khusus untuk siswa kelas rendah, pengukuran bacaan (tes) dilakukan dengan cara dibantu dan dibimbing oleh asisten peneliti yang sudah dilatih sebelumnya dalam menafsirkan maksud peserta didik.

E. Hasil Penelitian
Dalam melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai berikut.
(1) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran bagi siswa sekolah dasar bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(2) Keterpahaman siswa terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal yang harus diperhatikan bahwa keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial.
(3) Keterpahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
(4) Keterpahaman siswa terhadap jenis Bacaan, pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami (64,55% responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
a) Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
b) Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi.
c) Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.

F. Pembahasan
Kualitas keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial yang berstandar nasional ditentukan oleh penggunaan kosakata, kalimat, paragraf, dan jenis wacana yang digunakan. Dalam buku teks pelajaran terdapat beberapa penggunaan kosakata istilah keilmuan atau kosakata asing. Pemahaman terhadap kosakata ini dapat menentukan keterbacaan buku teks pelajaran. Pemahaman siswa terhadap kosakata itu bergantung pada karakteristik kosakata tersebut, kosakata yang sering didengar (21,4%) atau sudah dikenal (20,42%) sangat dominan menentukan kualitas keterbacaan suatu teks. Semakin banyak kosakata yang jarang didengar atau tidak dikenal siswa yang digunakan dalam suatu teks maka semakin rendah keterbacaan teks tersebut. Kondisi seperti ini sangat dirasakan siswa ketika membaca buku teks pelajaran Matematika (23,0%) dan Pengetahuan Sosial (23,4%).
Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dale (1973) dan Petty, Herold, and Stall (1968), seperti yang dilaporkan oleh Zuchdi (dalam World Bank Report, 1995) bahwa buku teks pelajaran terlalu banyak memuat kata-kata teknis yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini menyulitkan bagi siswa dalam memahami kosakata dalam suatu teks pelajaran. Penelitian yang dilakukan Zuchdi (1997) juga mengungkapkan jumlah kosakata dalam buku paket bahasa Indonesia yang digunakan di SD rata-rata berjumlah 8000 kata, terdiri atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan kata ulang. Penambahan setiap tahunnya kira-kira 1000 kata.
Dalam memahami pesan yang terdapat dalam materi buku teks pelajaran siswa harus memahami makna kalimat yang digunakannya. Pemahaman kalimat ini dapat menentukan keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Kalimat-kalimat yang sudah intim dan menggunakan kosakata yang sudah dikenal siswa (36,9%) serta kalimat yang disusun secara efektif, lugas, jelas, dan mengungkapkan makna yang hendak dicapai oleh kalimat tersebut (25,2%) dapat lebih menentukan kualitas keterbacaan buku teks tersebut. Penggunaan kalimat-kalimat yang kompleks dan teknis dapat menurunkan kualitas keterbacaan teks tersebut, terutama dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia (50%). Kesulitan siswa memahami kalimat yang terdapat dalam buku teks pelajaran menjadi penyebab rendahnya keterbacaan. Kesulitan itu, karena beberapa alasan di antaranya karena penggunaan kalimat sulit dalam buku teks pelajaran tersebut tidak diikuti oleh kalimat penjelas (21,97%) dan kalimat tersebut belum pernah dan tidak dikenal siswa (20,32%).
Sementara itu, penelitian lain tentang pemahaman kalimat ditinjau berdasarkan panjang kalimat yang dipercaya sebagai faktor utama dalam menentukan pemahaman kalimat, sehingga biasanya dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana dan faktor penentu dalam rumus-rumus keterbacaan. Flesch (1974) misalnya menyebutkan bahwa jumlah kalimat (bahasa Inggris) kurang dari delapan kata akan memudahkan pembacanya untuk memahami bacaan. Standar panjang kalimat adalah antara 14 sampai dengan 17 kata; sedangkan penggunaan lebih dari 25 kata sudah terlalu sukar untuk dipahami.
Dalam memahami pesan secara utuh atau pesan yang tidak tersurat dalam suatu teks, pembaca harus memahami paragraf tersebut. Pemahaman terhadap paragraf ini turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran. Penggunaan paragraf deduktif atau yang menyajikan pikiran utama pada bagian awal paragraf (15,3%) dan paragraf yang dilengkapi dengan ilustrasi atau gambar (14,7%) dapat lebih meningkatkan keterbacaan suatu teks di dalam buku teks pelajaran.
Pada umumnya, bacaan dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial yang berstandar nasional mudah dipahami siswa (64,55%), tetapi terdapat pula bacaan yang sulit dipahami (35,45%). Bacaan yang dipandang mudah dipahami jika jenis bacaan tersebut disajikan dalam bentuk paragraf ekspositif (22,62%), naratif (22,12%), dan argumentatif (20,87%). Para siswa menyatakan penyajian buku teks pelajaran SD yang berstandar nasional menarik (97%), hanya 3% yang menyatakan tidak menarik. Beberapa alasan yang menyatakan bahwa buku teks pelajaran tersebut menarik di antaranya karena buku tersebut dilengkapi dengan gambar dan ilustrasi yang turut memperjelas isi bacaan (16,3%) dan menggunakan tipografi/huruf yang jelas dan mudah dibaca (16,0%). Menurut mereka, penyajian warna-warni pada semua halaman atau bentuk-bentuk lain yang diupayakan penerbit untuk memberikan daya tarik dipandang tidak signifikan menentukan tingkat kemenarikan penyajian buku teks pelajaran.

G. Simpulan
Dari uraian di atas dapat diungkapkan beberapa hal menarik tentang perkembangan bahasa Indonesia dalam konteks kajian keterbacaan sebagai berikut.
(a) Keterpahaman kosakata bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku terstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Keterpahaman penggunaan bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku teks pelajaran turut menentukan keterbacaan suatu buku teks pelajaran tersebut. Semakin tinggi keterpahaman buku teks pelajaran maka semakin tiggi pula keterbacaan buku tersebut.

H. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, pada bagian ini disampaikan saran sebagai berikut:
(1) Untuk meningkatkan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku teks pelajaran atau buku yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran.
(2) Hal yang tidak kalah penting, dalam mendorong perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan pula peningkatan kegiatan membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan kegemaran siswa terhadap penggunaan bahasa Indonesia seharusnya para pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan kegiatan membaca. Setiap hari, seharusnya siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong mereka meningkatkan porsi membaca agar kemampuan membaca para siswa sekolah dasar semakin baik.
(3) Untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia, khususnya keterbacaan buku teks pelajaran, sebaiknya jika penulis atau penerbit akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.

I. Daftar Pustaka
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The British Council.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game. In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S. Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.Bandung: Angkasa.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran.World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.

11 Juli, 2008

Konsep Dasar Kebijakan dalam Pendidikan


Oleh:

DR. H. Suherli, M.Pd.

Dalam pemberlakuan Otonomi Daerah terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal itu bertolak dari kesadaran penentu kebijakan bahwa sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia. Selain itu, fenomena krisis yang melanda bangsa kita menunjukkan bahwa pendidikan dianggap belum berhasil dalam menyiapkan SDM yang unggul, kompetitif, dan beriman. Oleh karena itu, sangat tepat jika dilakukan perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Desentralisasi pendidikan merupakan alternatif model pemberdayaan masyarakat. Salah satu implementasi dari desentralisasi pendidikan adalah dihidupkannya peran serta masyarakat untuk ikut menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan. Program yang digulirkan pemerintah untuk keperluan ini adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah.
Program MBS menyiratkan konsep mendasar atas penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip desentralisasi pendidikan. Landasan filosofis yang perlu diperhatikan dalam memahami konsepsi ini bertolak dari terminologi desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah; dekonsentrasi adalah penyerahan tanggung jawab layanan sektor tertentu pada perwakilan pemerintah pusat di daerah; delegasi adalah pengalihan tanggung jawab untuk membuat keputusan dan mengatur pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah; privatisasi adalah pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta; dan otonomi merupakan arah balik dari desentralisasi (yang berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan kepada daerah), dan merupakan pengakuan atas otoritas daerah (Rondinelli, 1998; Jalal, 2001:75). Dengan demikian, desentralisasi bidang pendidikan berarti penyerahan kewenangan (otoritas) pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari terminologi tersebut maka desentralisasi pendidikan menganut prinsip good governance is less governing (penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah lebih kurang mengatur). Desentraliasi pendidikan adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, karena jika wewenang pusat hanya dipindahtangankan ke daerah, maka yang akan terjadi adalah oversentralisasi pada tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu Program MBS merupakan pola implementasi pembagian porsi wewenang penyelenggaraan pendidikan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, dan masyarakat (sekolah) yang bobotnya lebih besar kepada masyarakat dan stakeholder pendidikan.
Perubahan ini dirasakan sangat drastis karena selama 35 tahun sebelumnya, kita tidak merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan. Besarnya peranan pemerintah dalam turut mengatur terlalu banyak hal-hal teknis dalam dunia pendidikan dianggap sebagai biang keladi dari semua keterpurukan kualitas pendidikan bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari itu, dengan berbekal konsep desentralisasi pendidikan seiring dengan era reformasi yang sedang bergulir, berbagai perubahan mendasar pengelolaan pendidikan diserahkan kepada stakeholder pendidikan. Pemerintah hanya berperan sebagai pengatur, sesuai dengan prinsip dasar desentralisasi. Namun, kadang-kadang program yang digulirkan pemerintah seringkali masih membingungkan masyarakat pendidikan, karena kita belum biasa.


A. Kebijakan Pendidikan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun diterapkan prinsip ‘link and match”.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.

B. Kebijakan Pendidikan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan/pemerataan.
1. Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zealand, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok).
2. Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme vouchers, atau matching grant, dan "sponsorship dunia usaha" dalam pembiayaan pendidikan. Mekanisme ini sudah lazim digunakan di negara-negara sedang berkembang dan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Pengalaman di Brazil, misalnya, desentralisasi telah menurunkan biaya dan pelayanan pendidikan menjadi lebih baik, mulai dari pemeliharaan sekolah, pelatihan guru, sampai pemberian makanan tambahan bagi anak di sekolah.
3. Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas birokrasi seperti tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag), tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai pada Departemen Pendidikan.
4. Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.

C. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, funding father yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi “projek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di Samarinda, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana Universitas Mulawarman.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut berkaitan dengan peningakatan SDM di daerah sehingga selalu dilakukan perbaikan berbagai kebijakan pada tataran meso sebagai rencana program oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan.

D. Kebijakan Pendidikan di Kabupaten/Kota
Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu popularisasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi pendidikan nasional, maka usulan program pengembangan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Tilaar (2000:77-790 sebagai berikut :
(1) Mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas;
(2) Menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu;
(3) Menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar;
(4) Melakukan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap, mulai tingkat provinsi dengan sekaligus mempersiapkan sarana, SDM, dan dana yang memadai pada tingkat kabupaten;
(5) Melakukan perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien;
(6) Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan ekseperimen, dengan melaksanakan otonomi lembaga pendidikan;
(7) Merevisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional dengan peraturan perundangan dan pelaksanaannya
(8) Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk membangun masyarakat Indonesia baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat tersebut.
(9) Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha
(10) Melakukan depolitisasi pendidikan nasional, dengan menciptakan komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa;
(11) Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan, syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga profesional, disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.

Berdasarkan pada prinsip otonomi, maka kebijakan pendidikan di daerah dapat dituangkan ke dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan. Namun demikian, tampaknya daerah masih terus saja berbenah diri dalam hal kebijakan politik dan kepegawaian yang juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan kantor bidang pendidikan di daerah adalah:

1) Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemerintah daerah harus terus mendorong dan mengembangkan sekolah menerapkan konsep “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah” (MPMBS) yakni usaha peningkatan mutu pendidikan dengan menggalang segala sumber daya yang ada di sekolah dan lingkungannya, baik guru, orangtua siswa, pemerintah setempat maupun swasta agar terkoordinasi dan terencana dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.

2) Perluasan Kesempatan Belajar
Dalam rangka mempercepat penuntasan program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan maka dapat ditempuh usaha baru sebagai berikut :
(1) Pembangunan Unit Sekolah baru (USB)
(2) Pembangunan Ruang Kelas baru (RKB)
(3) Pemasayarakatan SLTP Terbuka (SLTPT)
(4) Kampanye/Penyuluhan Wajib Belajar Pendidikian Dasar
(5) Pemberian Beasiswa dan dana bantuan Operasional (DBO)
(6) Pendidikan bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA
(7) Pemberian Dana Operasional Pendidikan bagi SD/MI
(8) Pemberian bantuan perlengkapan belajar bagi siswa SD/MI dari keluarga tidak mampu;
(9) Membina dan mendorong penyelenggaraan pendidikan luar sekolah oleh masyarakat dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar (yang menyelenggaraka Paket A, KF, Paket B, dan Paket C).

3) Efisiensi dan Efektivitas
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang efisien dan efektif maka penyelenggara pendidikan formal perlu dibekali dengan pengetahuan tentang :
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Sekolah
(2) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Perkantoran
(3) Kemampuan manajerial
(4) Kemampuan Pengelola Proyek
(5) Pengelolaan dan perencanaan pendidikan
(6) Kemampuan Monitoring dan Evaluasi

4) Menyusun Peraturan Daerah Pendidikan;
Perda tentang pendidikan di Kabupaten/Kota merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Kabupaten/Kota tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003. Bertolak dari aturan ini maka beberapa kebijakan meso maupun mikro dapat dibuat dalam rangka menjalankan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 45.

5) Angka Rata-rata Lama Sekolah;
Dalam rangka meningkatkan Indeks Pendidikan (Education Index) partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan harus terus dipacu. Berdasarkan laporan BPS diketahui bahwa Angka RLS masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau setara dengan siswa SMP Kelas satu. Dengan demikian diperlukan perjuangan yang sangat erat bagi dinas pendidikan untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun. Padahal wajib belajar 9 tahun sudah dikumandangkan sejak lama. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pendidikan dasar, baik melalui SD/MI dan SMP/MTs, maupun SMP Terbuka, dan Paket A dan B untuk dapat mengakselerasi Wajar Dikdas 9 tahun.

6) Angka Melek Huruf
Penopang lain dari Indeks Pendidikan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Semula kita menduga bahwa di Kabupaten/Kota di Jawa Barat sudah tidak ada lagi yang masih Buta Huruf (tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Indonesia), namun setelah dilakukan pendataan ulang di Jawa Barat telah diketahui terdapat sekitar 251.234 yang masih kurang dalam baca-tulis-bicara bahasa Indonesia. Tentu saja, mereka harus segera dientaskan melalui program yang fungsional (Keaksaraan Fungsional).

(7) Partisipasi dan Peranserta Masyarakat;
Pada Pasal 56 UUSPN 20/2003 diungkapkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan melalui dewan pendidikan, komite sekolah atau madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota pada umumnya belum banyak dirasakan perannya dalam peningkatan mutu pendidikan di kabupaten/kota, bahkan dalam proses pembentukannya pun dikuasai pihak-pihak tertentu yang kurang menguasai masalah pendidikan. Demikian pula dengan Komite Sekolah/Madrasah, di antara mereka masih kurang memiliki pemahaman yang mantap tentang MBS dan bahkan ada di antara mereka yang hanya berfungsi sebagai stempel bagi sekolah dalam melegitimasi pungutan dari orangtua siswa.

(8) Otonomi Sekolah
Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi kewenangan untuk mengelola input pendidikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan. Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara ketat untuk memberikan jaminan kualitas layanan yang diberikan sekolah kepada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang akurat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, bukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau melakukan Ulangan Umum Bersama melainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih.

(9) Kualitas SDM Pendidikan
Dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, tentu saja harus diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Harus diakui bahwa tenaga kependidikan yang saat ini tersedia merupakan produk dari LPTK yang belum mengantisipasi reformasi dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa hal para guru masih menggunakan paradigma transfer of knowledge dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal pola pikir ini telah lama ditinggalkan oleh kalangan innovator pendidikan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang masih hanya berfungsi sebagai guru, menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Konsep learning based experience dan learning by doing masih belum secara mantap diterapkan para guru. Apalagi konsep dasar pengembangan kompetensi yang seharusnya dijadikan dasar bagi pengembangan kurikulum di sekolah.

(10) Kesejahteraan Tenaga Kependidikan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kinerja tenaga kependidikan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesejahteraan yang diterima (take home pay). Dari gaji yang diterima para guru, mereka harus rela membagi penggunaannya dengan biaya transportasi dan konsumsi (terutama jika harus mengajar sampai dengan siang). Dengan demikian take home pay yang diterima para guru semakin kecil dan tidak manusiawi. Berbeda dengan profesi lain, untuk keperluan transportasi dan konsumsi biasanya tersedia pada institusi tersebut, sedangkan profesi guru harus merogoh saku gajinya. Dalam menyikapi hal ini, tampaknya pemerintah daerah harus segera memikirkan “insentif” atau tunjangan profesi yang dapat diberikan kepada guru agar kinerja mereka meningkat dalam rangka mempersiapkan SDM pendidikan di Kabupaten/Kota yang lebih baik. Pada daerah-daerah tertentu, hal ini sudah dilaksanakan, misalnya Kota Bandung, DKI Jakarta, Kutai Kertanegara, Propinsi Sumatera Barat, dan sebagainya. Mungkin jika Anggaran Pendidikan di Kabupaten Ciamis dapat diungkit hingga 20%, para guru dapat segera diberi insentif supaya memacu mereka dalam berkompetensi meningkatkan mutu pendidikan.

(11) Organisasi Penjamin Kualitas
Untuk melakukan jaminan kualitas pendidikan di Kabupaten/Kota, tampaknya diperlukan organisasi kedinasan, setara dengan eselon III yang membidangi peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan. Lembaga ini harus mampu memberikan jaminan kualitas hasil pendidikan dan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap tenaga kependidikan. Sudah tidak sesuai lagi apabila lembaga penjamin kualitas pendidikan yang memberikan pelatihan kepada tenaga pendidikan dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah. Lembaga ini dapat berfungsi melatih dan membina tenaga pemerintah daerah, namun untuk tenaga kependidikan harus dilaksanakan secara khusus agar dapat memberikan pelatihan terhadap tenaga kependidikan (guru) mengarah kepada profesionalisasi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelatihan, lembaga ini perlu mengundang educational expert dari Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan.

(12) Penggunaan Buku Teks Pelajaran
Ketentuan tentang Buku Teks Pelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permen 11/2005 masih belum diterapkan secara menyeluruh di sekolah. Berdasarkan ketentuan itu, Sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Komite Sekolah dilarang menjual buku di sekolah. Demikian pula, penerbit tidak boleh menjual buku langsung ke sekolah. Untuk keperluan peserta didik, para guru dapat menganjurkan kepada orangtua atau peserta didik untuk menggunakan buku Teks Pelajaran yang telah berstandar nasional. Pemerintah telah menyampaikan kebijakan tentang Buku Teks Pelajaran, bahwa Pemerintah Pusat tidak akan lagi menerbitkan atau membagikan Buku Teks Pelajaran untuk sekolah. Pemerintah hanya menetapkan buku-buku berstandar nasional yang dapat dipilih oleh sekolah untuk digunakan sebagai buku teks pelajaran di sekolah. Dalam memilih buku ini, sekolah harus mengajak dan melibatkan Komite Sekolah (sebagai wakil masyarakat). Kenyataan di lapangan, masih ada sekolah atau guru menjual paksa buku kepada siswa, menjual LKS kepada siswa, penerbit masih mengedrop buku ke sekolah, penentuan buku teks pelajaran tidak mengajak komite sekolah. Masih banyak persoalan tentang buku teks ini, mungkin karena low inforcement yang masih lemah di daerah, serta kesadaran masyarakat yang masih lemah.

(13) Pengembangan Kurikulum Sekolah
Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Banyak di antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dalam ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu harus disusun oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kurikulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah harus mengembangkan kurikulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 8 Jatinagara atau Kurikulum SMP Ma’arif Banjarsari. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP sehingga dapat dijadikan acuan pengembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, tampaknya masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi tenaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan kurikulum dapat mulai dipersiapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai bidang ini.

Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak pekerjaan bidang pendidikan yang belum diimplementasikan, tampaknya perlu segera kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan ini masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat bijak, apabila kita coba berpikir dengan jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersiapkan SDM yang unggul dan kompetitif.
Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh karena itu, sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi dalam pendidikan. Perencanaan pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbagai pihak, karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan terkini, tampaknya harus segera diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebijakan makro, meso, maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.
(Penulis adalah Dosen Program Pascasarjana Universitas Galuh dan Konsultan Ahli pada Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional).