Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

27 Januari, 2009

Minat Baca Siswa Rendah


Suherli Kusmana

       Berdasarkan hasil penelitian Programme for International Student Assessment, diketahui minat baca siswa kita rendah. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur, siswa Indonesia termasuk paling rendah. Dari 42 negara yang disurvey, siswa Indonesia menduduki peringkat ke-39, sedikit di atas Albania dan Peru. Kemampuan siswa kita itu masih di bawah siswa Thailand yang menduduki peringkat ke-32. Demikian pula dengan penguasaan materi dari bacaan, siswa kita hanya mampu menyerap 30% dari materi bacaan yang tersaji dalam bahan bacaan. Mengapa kenyataan ini terjadi? 
Fenomena di atas merupakan tantangan bagi semua pihak termasuk pendidik, apalagi tenaga pendidik yang telah disertifikasi. Sebagai tenaga pendidik profesional, masalah ini harus menjadi tantangan utama untuk mencari berbagai strategi agar siswa kita meningkat minat bacanya. Dalam pandangan masyarakat modern, membaca merupakan kemampuan yang menjadi penentu keberhasilan seseorang menghadapi masa depan. Semakin kecil minat baca siswa maka semakin sedikit pengetahuan yang dimiliki dan tentu saja semakin sulit menghadapi perkembangan dunis modern. 
 Rendahnya minata baca siswa, selayaknya jangan lantas menyalahkan siswa. Rendah minat baca bukan salah siswa. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh kaum pendidik dan lembaga pendidikan serta stakeholder lainnya adalah berusaha untuk menciptakan suatu situasi yang dapat mendongkrak minat baca itu. 
 Pertama, pemangku kebijakan harus memiliki perhatian pada pemenuhan ketersediaan sarana perpustakaan di lembaga pendidikan. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa salah satu hasil reformasi adalah penyerahakan bidang pendidikan kepada pemerintah daerah, maka sejatinya pengadaan sarana sekolah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk sarana dan prasarana perpustakaan. Jika pemerintah pusat menggulirkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk penyediaan sarana pendidikan, yaitu buku, alat peraga, dan multi media maka pemanfaatan dana tersebut seharusnya berlangsung sesuai dengan ketentuan. Setiap sekolah diberi kewenangan untuk memilih dan membelanjakannya secara langsung buku-buku yang dibutuhkan siswa, sangat naif jika ditentukan oleh pemangku kebijakan, atau bahkan diselewengkan. Pemerintah pusat juga menggulirkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian buku. Berdasarkan ketentuan, dari BOS Buku ini setiap sekolah harus menyediakan minimal 10 buku teks terstandar untuk setiap tingkat kelas dan setiap mata pelajaran. Lantas, kebijakan apa yang dilakukan pemerintah daerah sebagai pemegang otonom bidang pendidikan dalam hal pemenuhan buku di sekolah? 
Kedua, penyelengara pendidikan memprioritaskan fasilitas perpustakaan sesuai dengan standar sarana dan prasarana yang ditetapkan pemerintah. Selayaknya, semua sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (kabupaten/kota) memenuhi standar sarana, termasuk perpustakaan sekolah. Oleh karena itu, dinas pendidikan kabupaten/kota sebagai pelaksana pemerintah daerah bidang pendidikan mempriorotaskan programnya pada pemenuhan sarana tersebut. Demikian pula jika sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, izin dari pemerintah seharusnya mensyaratkan pemenuhan sarana perpustakaan sesuai dengan standar tersebut. 
Ketiga, pengelola perpustakaan meningkatkan manajemen layanan perpustakaan secara prima. Pada umumnya, pelaksana perpustakaan di sekolah-sekolah yang sudah memiliki ruang khusus untuk perpustakaan hanya membuka layanan pada jam sekolah. Akhirnya, waktu yang dimiliki siswa untuk membaca hanya pada jam istirahat (sekitar 15 menit) dan setelah jam pulang (rata-rata sekitar 30 menit). Kesempatan siswa untuk membaca di perpustakaan sangat sempit. Selayaknya, perpustakaan sekolah melayani para siswa justru di luar jam sekolah, misalnya sampai dengan pukul 17.00 WIB jika ia memiliki kesadaran untuk melayani siswa dan meningkatkan minat baca mereka. Tampaknya, setiap kepala sekolah harus mempromosikan kesiapan pelaksana perpustakaan sekolah untuk melayani siswa sebagai wujud dari customer satisfaction dalam manajemen mutu terpadu yang mereka selenggarakan.  
 Keempat, para pendidik selayaknya memberikan penjelasan tentang manfaat membaca kepada para siswa. Pendidik harus mendorong para siswa untuk menggali ilmu pengatahuan bukan hanya dari buku paket, apalagi hanya dari LKS yang jelas-jelas tidak dibenarkan oleh Permendiknas Nomor 02/2008 digunakan di sekolah. Para pendidik jangan bosan untuk terus memotivasi siswa untuk membaca agar dapat menggali ilmu, menambah pengetahuan dan memerkaya wawasan siswa. Berdasarkan hasil penelitian, para siswa melakukan kegiatan membaca, 83% karena mendapat tugas dari guru. Hanya 11% siswa yang membaca karena kesadaran diri dalam menambah pengetahuan. Oleh karena itu, jika guru kurang meotivasi siswa untuk mencari tambahan pengetahuan dari berbagai buku, maka siswa tidak akan melakukan kegiatan membaca. 
 Dari urian di atas, tampaknya keliru jika minat baca siswa rendah, lantas siswa yang disalahkan. Kondisi ini memerlukan kesadaran kolektif dari semua pemangku kepentingan pendidikan, tentu saja termasuk pemerintah daerah yang sudah diberi otonomi untuk mengelola pendidikan. Implementasi dari desentralisasi bidang pendidikan harus mengubah paradigma pemerintah daerah terhadap pendidikan. Para pemangku kebijakan (legislatif dan eksekutif) harus yakin bahwa pemenuhan sarana pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.