Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

10 Februari, 2009

Mengenal Jenis Buku Nonteks


Oleh:  Suherli Kusmana
1. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Fokusmedia, 2003). 
Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional tentang buku-buku pendidikan diungkapkan terdapat empat jenis, yaitu buku teks pelajaran, buku pengayaan, buku referensi, dan buku panduan pendidik (2004: 4). Klasifikasi ini diperkuat lagi oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 2008 pasal 6 (2) yang menyatakan bahwa “selain buku teks pelajaran, pendidik dapat menggunakan buku panduan pendidik, buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran”. Berdasarkan ketentuan di atas maka terdapat empat jenis buku yang digunakan dalam bidang pendidikan, yaitu (1) Buku Teks Pelajaran; (2) Buku Pengayaan; (3) Buku Referensi; dan (4) Buku Panduan Pendidik.  
Untuk memudahkan dalam memberikan klasifikasi dan pengertian pada buku-buku pendidikan, dilakukan dua pengelompokan buku pendidikan yang ditentukan berdasarkan ruang lingkup kewenangan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu (1) Buku Teks Pelajaran dan (2) Buku Nonteks Pelajaran. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan standarisasi buku teks pelajaran adalah Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP), sedangkan buku pengayaan, referensi, dan panduan pendidik bukan merupakan kewenangan badan ini. Hal di atas dipertegas lagi oleh surat Badan Standarisasi Nasional Pendidikan nomor 0103/BSNP/II/2006 tanggal 22 Februari 2006 yang menegaskan bahwa BSNP hanya akan melaksanakan penilaian untuk Buku Teks Pelajaran dan tidak akan melakukan penilaian atau telaah buku selain buku teks pelajaran. Oleh karena itu kewenangan untuk melakukan stadarisasi buku-buku pendidikan, selain buku teks pelajaran adalah Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Struktur Organisasi Pusat-pusat di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam ketententuan tersebut dinyatakan bahwa fungsi Pusat Perbukuan adalah melakukan pengembangan naskah, pengendalian mutu buku, dan melakukan fasilitasi perbukuan, khususnya bagi lembaga pendidikan dasar dan menengah. 
Berdasarkan pengelompokkan di atas maka buku nonteks pelajaran berbeda dengan buku teks pelajaran. Jika dicermati berdasarkan makna leksikal, buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk memelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan. Sementara itu, buku nonteks pelajaran merupakan buku-buku yang tidak digunakan secara langsung sebagai buku untuk memelajari salah satu bidang studi pada lembaga pendidikan. 

2. Ciri-ciri buku Nonteks
Berdasarkan pengelompokkan di atas, dapat diidentifikasi ciri-ciri buku nonteks pelajaran, yaitu: 
(1) Buku-buku yang dapat digunakan di sekolah atau lembaga pendidikan, namun bukan merupakan buku pegangan pokok bagi peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran;
(2) Buku-buku yang tidak menyajikan materi pembelajaran yang dilengkapi dengan instrumen evaluasi dalam bentuk tes atau ulangan, latihan kerja (LKS) atau bentuk lainnya yang menuntut pembaca melakukan perintah-perintah yang diharapkan penulis;
(3) Buku-buku nonteks pelajaran tidak diterbitkan secara berseri berdasarkan tingkatan kelas atau jenjang pendidikan;
(4) Buku-buku nonteks pelajaran berisi materi yang tidak terkait secara langsung dengan sebagian atau salah satu Standar Kompetensi atau Kompetensi Dasar yang tertuang dalam Standar Isi, namun memiliki keterhubungan dalam mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional;
(5) Materi atau isi dari buku nonteks pelajaran dapat dimanfaatkan oleh pembaca dari semua jenjang pendidikan dan tingkatan kelas atau lintas pembaca, sehingga materi buku nonteks pelajaran dapat dimanfaatkan pula oleh pembaca secara umum;
(6) Penyajian buku nonteks pelajaran bersifat longgar, kreatif, dan inovatif sehingga tidak terikat pada ketentuan-ketentuan proses dan sistematika belajar yang ditetapkan berdasarkan ilmu pendidikan dan pengajaran. 

Dengan mengacu pada ciri-ciri buku nonteks pelajaran tersebut maka dapat dinyatakan bahwa buku nonteks pelajaran adalah buku-buku berisi materi pendukung, pelengkap, dan penunjang buku teks pelajaran yang berfungsi sebagai bahan pengayaan, referensi, atau panduan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran dengan menggunakan penyajian yang longgar, kreatif, dan inovatif serta dapat dimanfaatkan oleh pembaca lintas jenjang dan tingkatan kelas atau pembaca umum. Pendidikan akan berhasil jika peserta didik mengalami perubahan ke arah positif dalam berbagai aspek. Buku akan sangat membantu dalam pencapaian perubahan ini. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila pemerintah dan semua pihak dapat mengembangkan pengadaan buku, baik buku teks pelajaran, buku panduan pendidik, buku pengayaan, dan buku referensi. Untuk keperluan ini diperlukan langkah-langkah pengendalian dan pemantauan agar keberadaanya benar-benar dapat membantu peningkatan mutu pendidikan serta sekaligus merupakan sarana yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sejalan dengan Permendiknas Nomor 11/2005 Pasal 2 yang intinya menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, selain menggunakan buku teks pelajaran sebagai acuan wajib, guru dapat menggunakan buku pengayaan dalam proses pembelajaran dan menganjurkan peserta didik membacanya untuk menambah pengetahuan dan wawasan (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2005:3).

3. Judul-judul Buku Nonteks
Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri buku nonteks di atas maka pada bagian ini disajikan beberapa contoh judul atau topik buku-buku nonteks pelajaran. Contoh judul-judul ini yang kebetulan sama dengan judul buku yang beredar di pasaran bukan dimaksudkan untuk berpromosi tentang buku tersebut. Adapun contoh setiap jenis buku nonteks adalah sebagai berikut. 
(1) Buku Pengayaan Pengetahuan
Contoh judul buku pengayaan pengetahuan adalah:
 Tanaman Obat Penyembuh Ajaib karya Herminia de Guzman-Ladion.
 Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis karya Eddy Prahasta. 
 Pemugaran Candi Tikus karya Sri Sugiyanti, dkk.
 Tumbuhan Berkhasiat karya Dadi Gundayana
(2) Buku Pengayaan Keterampilan
  Contoh judul buku pengayaan keterampilan adalah:
a) Membuat Mesin Tetas Elektronik karya Kelly S.
b) Budidaya Ayam Bangkok karya Dudung Abdul Muslim.
c) Petunjuk Perawatan Anggrek karya Hadi Iswanto.
d) Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan karya Ny. Rusina S. Pamuntjak.
(3) Buku Pengayaan Kepribadian
Contoh judul buku pengayaan kepribadian:
 Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana. 
 Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata.  
 Merakit dan Membina Keluarga Bahagia karya W. Jay Batra dkk.
 Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini karya R.I. Suhartin C.
 Membangun Kreativitas karya Anna Craft.
(4) Buku Referensi
a) Ensiklopedia
Contoh-contoh judul ensiklopedia di antaranya adalah:
 Encyclopedia Americana oleh Americana Corporation
 Ensiklopedia Botani 
 Ensiklopedia Arsitektur
 Ensiklopedia Antariksa  
b) Kamus
  Contoh-contoh judul kamus di antaranya adalah:
 Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta;
 Kamus Inggris-Indonesia karangan Jhon Echols dan Hasan Sadili;
 Kamus Linguistik karangan Harimurti Kridalaksana; 
 Kamus Istilah Politik karangan Tony Rachmadie dkk.
c) Atlas atau Peta
  Contoh judul-judul peta atau atlas di antaranya:
 Atlas Provinsi Jawa Barat
 Atlas Provinsi Kepulauan Riau
 Peta Samudra Indonesia
d) Jenis Referensi Khusus
  Contoh-contoh judul ensiklopedia di antaranya:
 Undang-undang Dasar 45 dan Hasil Amandemen
 Undang-undang Nomor 20/2003
 KUHAP
 Al Quran
(5) Buku Panduan Pendidik
a) Pendidikan dan Pembelajaran
Contoh-contoh judul buku jenis ini, misalnya:
 Mendidik Anak dengan Cerita ditulis oleh Abdul Aziz Abdul Majid
 Pembelajaran Cerpen melalui Dramatisasi 
 Metode Inkuiri dalam Pembelajaran Sains  
b) Media Pembelajaran
  Contoh-contoh topik buku jenis ini misalnya:
 Penggunaan Media Audio-Visual dalam Pembelajaran Drama
 Membuat Media Pembelajaran Sederhana
 Pemanfaatan Sumber-sumber Lokal dalam Pembelajaran Sosiologi
c) Evaluasi Pembelajaran
  Contoh-contoh topik buku jenis ini, misalnya:
 Merancang Instrumen Evaluasi Belajar
 Menerapkan Evaluasi Proses Pembelajaran 
 Mengevaluasi Hasil Belajar 
 Memvalidasi Evaluasi Hasil Belajar
d) Penelitian Pendidikan
Contoh-contoh topik buku jenis ini, misalnya:
 Menerapkan Penelitian Tindakan Kelas
 Melaksanakan Penelitian Kuasi Eksperimen
 Merancang dan Melaksanakan Penelitian Deskriptif
 Prosedur Pelaksanaan Penelitian sambil Mengajar

4. Simpulan
Sebagai penutup, di sini ditegaskan kembali bahwa buku nonteks sangat beragam. Buku-buku nonteks mempunyai peran penting dalam proses belajar-mengajar untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Buku nonteks meliputi buku pengayaan, buku referensi, dan buku panduan pendidik. Supaya buku nonteks dapat berfungsi sebagaimana mestinya, buku tersebut harus memenuhi standar kualitas yang meliputi aspek materi, penyajian, bahasa, serta grafika. Oleh karena itu, peminat untuk menulis buku nonteks harus memerhatikan kelayakan buku nonteks yang ditetapkan oleh Pusat Perbukuan.

Daftar Kepustakaan
Duryatmo, Sardhi, Wirausaha Kerajinan Bambu, Puspa Swara, Jakarta, 2000.
Fachrudin, Lisdiana, Membuat Aneka Manisan, Kanisius, Yogyakarta,1998.
Muharnanto dan Aryastyani, Ria, Aneka Cetakan Lilin Hias, Puspa Swara, Jakarta, 2001.
Nelson G.C, Ceramics a Potter's Handbook, Holt, Reinhart and Winston Inc, New York, 1971.
Pusat Perbukuan (2003) Pedoman Klasifikasi Buku Pendidikan. Jakarta; Pusat Perbukuan Depdiknas.
R.A. Razak, Industri Keramik, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1981.
Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa Untuk SMU kelas I, Erlangga, Jakarta, 1994.
Rhodes D., Clay and Glazes for the Potter, Chilton Book Company, Philadelphia, 1968.
Riyanto, Didik, Proses Batik: Batik Tulis-Batik Cap Batik Printing,CV.Aneka, Solo, 2002.
Robertson, JB., Keterampilan Teknik Listrik Praktis, Yrama Widya, Bandung, 2003.
Sahman, Humar, Mengenali Dunia Seni Rupa, Tentang Seni, Karya Seni, Aktivitas Kreatif, Apresiasi, Kritik dan Estetika, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993
Sigar, Edi dan Ernawati, Buku Pintar Makanan, PT. Aksara Media Agung, Jakarta, 1993.
Soemarjadi dkk., Pendidikan Keterampilan, Depdikbud-Dirjendikti, Jakarta, 1991-1992.
Soemarjadi, Paket BelajarIKIP/FKIP:PengetahuanTeknologiKeramik I, P2LPT& Ditjen Dikti Departemen P dan K, Jakarta, 1985.
Sulistyowati, Retno, 20 Kreasi Rangkaian Bungan Kering dari Kulit Jagung, Puspa Swara, Jakarta, 2001.
Sumarah Adhyatman, Kendi, Himpunan Keramik Indonesia, Jakarta, 1987.
_______________, Tempayan di Indonesia, Jakarta: Himpunan Keramik Indonesia, 1984.
Supriadi, Dedi (2001) Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprapti, M. Lies, Membuat Aneka Olahan Nanas, Puspa Swara, Jakarta, 2001.
____________, Bandeng Asap, Kanisius, Yogyakarta, 2002.
Suradi, A. Prayitno, Membuat Aneka Barang Kerajinan Cideramata, Humaniora Utama Press, Bandung, 1999.
Yosalfa. Memperbaiki TV dan Radio, Puspa Swara, Jakarta, 2000
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO (2003) School Library. [On Line]. Tersedia. http://www.ifla.org.sg/VII s11/pubs. [10 Agustus 2003]

06 Februari, 2009

Kalimat Efektif dalam Naskah Pidato Kenegaraan

Oleh: Suherli  

Pendahuluan
Penyusunan naskah pidato kenegaraan memerlukan kecermatan. Dalam penggunaan bahasa (Indonesia atau Inggris) maupun dari substansi isi yang disajikan harus sesuai dengan wacana perkembangan masyarakat yang aktual, baik pada tingkat global maupun nasional (sesuai dengan tujuan). Naskah pidato kenegaraan juga merupakan media komunikasi pemimpin dengan rakyat yang dapat dipancarluaskan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Pidato pemimpin juga dapat dianggap sebagai representasi dari suara rakyat dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang. Pidato kenegaraan merupakan sikap pemerintah dalam menghadapi suatu persoalan utama yang sedang berkembang di masyarakat. Naskah pidato kenegaraan merupakan bukti sejarah perkembangan suatu masyarakat dari perspektif pemimpinnya.
Oleh karena makna pidato kenegaraan demikian luas dan beragam, maka diperlukan kecermatan dalam penggunaan bahasanya dan substansi isi yang disajikannya. Kecermatan penggunaan bahasa Indonesia sangat diperlukan karena bahasa seorang pemimpin sering dijadikan sebagai dasar rujukan bagi pengguna bahasa lain, termasuk rakyatnya. Bahasa pemimpin dalam menyampaikan pidato harus menunjukkan bahasa yang lugas, objektif, cermat, dan cerdas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru dari pendengarnya. Bahasa seorang pemimpin harus menggambarkan penggunaan bahasa yang benar dan menggunakan kalimat secara efektif.
Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu dipahami pembaca sesuai dengan maksud penulisnya. Sebaliknya, kalimat yang sulit dipahami atau salah terpahami oleh pembacanya termasuk kalimat yang kurang efektif. Kalimat yang efektif memiliki ciri struktur yang kompak, paralel, hemat, cermat, padu, dan logis. Marilah kita diskusikan setiap ciri ini pada bagian berikut ini!

a) Kalimat Berstruktur Kompak
Setiap kalimat minimal terdiri atas unsur pokok dan sebutan (yang menerangkan pokok) atau unsur subjek dan predikat. Kalimat yang baik adalah kalimat yang menggunakan subjek dan predikat secara benar dan kompak. Kekurangkompakan dan ketidakjelasan subjek dapat terjadi jika digunakan kata depan di depan subjek. Misalnya penggunaan dalam, untuk, bagi, di, pada, sebagai, tentang, dan, karena sebelum subjek kalimat tersebut.

Contoh kalimat tidak efektif:

Bagi semua siswa harus memahami uraian berikut ini.
Dalam pembahasan ini menyajikan contoh nyata.
Sebagai contoh dari uraian di atas adalah perkalian di bawah ini.

Kalimat di atas menjadi tidak efektif karena unsurnya tidak lengkap. Bandingkan dengan kalimat di bawah ini!

Semua siswa harus memahami uraian berikut ini.
Dalam pembahasan ini disajikan contoh nyata.
Contoh dari uraian di atas adalah perkalian di bawah ini.

Selain itu, kalimat yang berstruktur kompak adalah kalimat yang hanya menggunakan satu subjek. Penggunaan subjek ganda akan membuat kalimat tersebut tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:

Penjumlahan angka itu hasilnya dibagi kelipatan dua.
Cairan itu unsur-unsur kimianya tidak menyatu.

Kedua kalimat di atas menggunakan subjek ganda, sehingga kalimat tersebut menjadi kurang jelas. Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini:
Hasil penjumlahan angka itu dibagi kelipatan dua.
Unsur-unsur cairan kimia itu tidak menyatu.

Dalam bahasa Indonesia dikenal kata penghubung intrakalimat, seperti dan, atau, sehingga, sedangkan, karena, yaitu, hingga, tetapi. Penggunaan kata penghubung ini hanya dilakukan di tengah kalimat. Apabila digunakan pada awal kalimat maka kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Pemberontakan PKI sangat menyakitkan. Sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.

Buaya termasuk ke dalam jenis reftil. Sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.
Kalimat di atas akan tampak tidak jelas jika disajikan di awal kalimat, misalnya:

Sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.
Sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.

Penggunaan kata sehingga dan sedangkan pada awal kalimat sebagai penghubung antarkalimat kurang tepat, karena kata tersebut seharusnya berfungsi sebagai penghubung intrakalimat. Seharusnya, kalimat di atas tidak terpisah dengan kalimat sebelumnya agar kesatuan gagasan dapat terpahami. Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini!

Pemberontakan PKI sangat menyakitkan, sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.

Buaya termasuk ke dalam jenis reftil, sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.

Demikian pula kata penghubung lain, seperti dan, atau, karena, yaitu, hingga, dan tetapi merupakan kata penghubung intrakalimat. Oleh karena itu, kata penghubung tersebut hanya digunakan untuk menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lain dalam satu kalimat.

b) Kalimat Paralel
Kalimat yang efektif adalah kalimat yang tersusun secara paralel. Keparalelan itu tampak pada jenis kata yang digunakan sebagai suatu yang paralel dengan memiliki unsur atau jenis kata yang sama. Kesalahan dalam menggunakan paralelis kata akan menjadikan kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Kegiatan akhir dari percobaan itu adalah menyusun laporan, kelengkapan materi yang harus dilampirkan, penggambaran tahap-tahap kegiatan, dan simpulan hasil pengujian.

Ketidakefektifan kalimat tersebut, karena memfaralelkan jenis kata menyusun, dengan kelengkapan, penggambaran, dan simpulan. Kalimat tersebut memfaralelkan “kegiatan” sebagai verba, maka kata lainnya seharusnya menggunakan verba. Misalnya, kata menyusun seharusnya berfaralel dengan melampirkan (materi secara lengkap), menggambarkan (tahap-tahap kegiatan), dan menyimpulkan (hasil pengujian). Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini!
Kegiatan akhir dari percobaan itu adalah menyusun laporan, melampirkan materi secara lengkap, menggambarkan tahap-tahap kegiatan, dan menyimpulkan hasil pengujian.

c) Kalimat Hemat
Kalimat yang efektif harus hemat. Kalimat hemat memiliki ciri kalimat yang menghindari pengulangan subjek, pleonasme, hiponimi, dan penjamakan kata yang sudah bermakna jamak.

Contoh kalimat tidak efektif:

Para menteri serentak berdiri, setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang ke acara itu.

Waktu tempuh yang digunakan hanya selama 45 menit saja untuk sampai ke daerah itu.

Air raksa ini harus dicampur dengan kain warna merah.

Banyak orang-orang yang tidak hadir pada pertemuan yang menghadirkan beberapa tokoh-tokoh terkemuka.

Kalimat pertama kurang efektif karena menggunakan subjek (kata para menteri) dengan subjek kedua (kata mereka). Kalimat kedua menggunakan kata bermakna sama, yaitu kata hanya dan saja. Kalimat ketiga kurang efektif karena menggunakan kata bermakna hiponimi, yaitu kata warna dan merah (merah merupakan salah satu warna, sehingga tidak perlu menggunakan kata warna). Kalimat keempat, menggunakan kata bermakna jamak secara berulang, yaitu kata banyak dan beberapa dengan pengulangan kata yang mengikutinya. Bandingkanlah dengan kalimat-kalimat di bawah ini!

Para menteri serentak berdiri, setelah mengetahui bahwa presiden datang ke acara itu.

Waktu tempuh yang digunakan hanya selama 45 menit untuk sampai ke daerah itu.

Air raksa ini harus dicampur dengan kain merah.

Banyak orang yang tidak hadir pada pertemuan yang menghadirkan beberapa tokoh terkemuka.

d) Kalimat Cermat
Kalimat efektif adalah kalimat yang tidak ambigu atau bermakna bias. Setiap kata yang digunakan tidak menimbulkan salah tafsir atau tafsir ganda. Untuk itu diperlukan kemampuan menyusun kalimat secara cermat. Kalimat yang disusun tidak cermat akan menjadikan kalimat yang tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Siswa SMA yang terkenal itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

Kalimat di atas bermakna ambigu, karena akan menimbulkan pertanyaan “Siapakah yang terkenal itu, siswa atau SMA?”. Demikian pula kalimat kedua, semakin ambigu, sekalipun secara sepintas tampak sebagai kalimat yang logis, namun karena bermakna ganda, maka makna kalimatnya menjadi bias. Bandingkan dengan kalimat berikut:
Siswa terkenal dari SMA itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

Jika yang dimasudkan adalah SMA yang terkenal disajikan sebagai berikut:
Siswa dari SMA terkenal itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

e) Kalimat Berpadu
Kalimat yang berpadu adalah kalimat yang berisi kepaduan pernyataan. Kalimat yang tidak berpadu biasanya terjadi karena salah dalam menggunakan verba (kata kerja) atau preposisi (kata depan) secara tidak tepat.

Contoh kalimat tidak efektif:
Segala usulan yang disampaikan itu kami akan pertimbangkan.

Uraian pada bagian ini akan menyajikan tentang perkembangbiakan pohon aren.

Materi yang sudah diungkapkan daripada pembicara awal akan dibahas kembali pada pertemuan yang akan datang.
Penggunaan kata akan yang menyelip di antara subjek dengan predikat pada kalimat pertama menjadikan kalimat tersebut kurang padu. Demikian pula penggunaan kata tentang dan daripada setelah verba menjadikan kalimat tersebut kurang padu. Bandingkanlah dengan kalimat-kalimat berikut:
Segala usulan yang disampaikan itu akan kami pertimbangkan.

Uraian pada bagian ini akan menyajikan perkembangbiakan pohon aren.

Materi yang sudah diungkapkan oleh pembicara awal akan dibahas kembali pada pertemuan yang akan datang.

f) Kalimat Logis
Kalimat yang logis adalah kalimat yang dapat diterima oleh akal atau pikiran sehat. Biasanya ketidaklogisan kalimat terjadi karena pemilihan kata atau ejaan yang salah.

Contoh kalimat tidak efektif:
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini.

Untuk mempersingkat waktu, marilah kita bersama-sama mulai mengerjakan tugas tersebut.

Mayat wanita yang ditemukan di sungai itu sebelumnya sering mondar- mandir di daerah tersebut.

Pada kalimat pertama terkadung makna bahwa yang berbahagia adalah kesempatan, kecuali verbanya diganti dengan membahagiakan. Kalimat kedua memiliki makna yang tidak mungkin waktu dipersingkat, kecuali acara yang dipersingkat atau waktu yang dihemat. Kalimat ketiga menggunakan konstruksi kalimat yang kurang benar sehingga memunculkan makna yang kurang logis dan menakutkan. Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini!

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini.

Untuk menghemat waktu, marilah kita bersama-sama mulai mengerjakan tugas tersebut.

Wanita itu sering mondar- mandir di daerah tersebut, sebelum mayatnya ditemukan di sungai

Demikianlah paparan sepintas tentang kalimat efektif dalam naskah pidato kenegaraan. Ketepatan menggunakan kalimat efektif merupakan bentuk loyalitas kita terhadap bahasa negara.

Daftar Pustaka
Baynham, Mike. (1995) Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman.
Keraf, Gorys (1983) Komposisi. Jakarta: Gramedia.
Rusyana, Yus (1984) Bahasa & Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Warriner, (1958) English Grammar and Composition. New York: Harcourt, Brace and World Inc.
Weaver, Ricard M. (1968) Composition. New York: Holt. Pinahart and Winston.

04 Februari, 2009

Anggaran Pendidikan 20%, Pilihan Terbaik untuk Maju


by Suherli Kusmana
Sering kita mendengar politisi berteriak bahwa pendidikan “gratis”. Slogan ini seringkali berdengung setiap kali menjelang Pilkada atau Pemilu Legislatif. Kepedulian itu sangat dirasakan besar sekali manfaatnya bagi dunia pendidikan. Namun, tidak berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan tanpa biaya, melainkan harus diantisipasi oleh kebijakan anggaran pendidikan yang signifikan. Penentu kebijakan ini adalah DPR atau DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang mengesahkan atau merevisi anggaran atas usulan eksekutif (Presiden, Gubernur, atau Bupati/Walikota). Kenyataannya, sulit sekali untuk mewujudkan harapan tersebut. Terlalu besarkah biaya penyelengaraan pendidikan itu, sehingga mereka selalu mengemukakan ketidakcukupan anggaran untuk memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20%?
 Kepedulian kalangan politisi pada dunia pendidikan, tentu saja sangat disambut antusias oleh semua lapisan masyarakat yang sedang menghadapi berbagai persoalan hidup. Disambut antusias juga oleh kalangan pendidikan agar kebutuhan biaya operasional itu dipenuhi dari pemerintah pusat melalui APBN dan pemerintah daerah dalam APBD. Dengan begitu, ada tiga tingkatan pemerintahan yang mengalokasikan dana besar untuk pendidikan, sehingga tidak ada lagi kisah sekolah ambruk, belajar di tenda, fasilitas belajar alakadarnya, siswa putus sekolah, prestasi belajar rendah karena media belajar kurang, atau guru harus bersusah payah mengatur sirkulasi pinjaman buku karena tidak cukup, siswa bersekolah siang karena ruangan tidak cukup, dan cerita menyedihkan lainnya.  
Pemerintah pusat, dengan berlindung pada keputusan Mahkamah Konstitusi akhirnya memenuhi angka lebih dari 20% untuk Anggaran Pendidikan namun dengan menyertakan gaji guru. Padahal dalam UUD 45 atau dalam Undang-undang Sistem Pendidikan dijelaskan bahwa anggaran pendidikan 20% itu di luar gaji dan kegiatan pendidikan dan latihan di departemen lain. Namun apa mau dikata, jika pemerintah melanggar konstitusi negara tetapi dibiarkan, bagaimana jadinya jika rakyat melanggar hukum yang bersumber dari konstitusi itu? Bagaikan buah simalakama, sehingga mungkin MK tidak punya piliha lain, dengan menyatakan bahwa 20% itu termasuk gaji.  
Jika pemerintah pusat telah memenuhi anggaran pendidikan seperti itu, maka juga tidak ada pilihan lain bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk memenuhinya. Hanya, perlu kiranya dicermati agar tidak terjadi pembukuan ganda (double accounting) antara pemerintah pusat dengan daerah. Sejatinya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menentapkan anggaran 20% itu dari Penerimaan Asli Daerah (PAD). Dengan demikian, setiap provinsi atau kabupaten/kota harus mematok dahulu anggaran pendidikan 20%, baru memenuhi kebutuhan lainnya dari PAD. Seperti halnya terjadi di negara maju, sebut saja Amerika Serikat yang di setiap negara bagian telah mematok 60% dari Pendapatan Asli Daerah untuk pendidikan terlebih dahulu, baru kebutuhan lainnya. Di sana, mayor (bupati) dan town manager (walikota) hanya mendapatkan alokasi 40% dari PAD untuk mengelola pembangunan bidang-bidang di luar pendidikan. 
Dengan prinsip tidak terjadi pembukuan ganda, maka setiap anggota legislatif di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menjadikan PAD-nya sebagai ukuran penetapan 20% anggaran pendidikan. Tidak benar, jika dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat untuk provinsi dijadikan sebagai pemenuhan angka 20%. Salah juga, jika DAU atau DAK untuk kabupaten/kota menjadi penjumlah untuk memenuhi angka 20% anggaran pendidikan. Sewajarnya, angka sebesar itu diperoleh dari PAD. Oleh karena itu, jika jumlah PAD mengalami peningkatan maka anggaran pendidikan juga akan meningkat. Dengan demikian, peningkatan PAD bergantung pada kehandalan seorang gubernur atau bupati/walikota dalam melakukan manajemen pemerintahan yang berbasis pada pemberdayaan potensi daerah dan sumber daya (alam dan manusia) yang dimiliki oleh daerah. 
Slogan pendidikan gratis yang didengungkan saat kampanye, direalisasikan dalam bentuk program yang handal. Berpihak pada masyarakat dengan meringankan beban hidupnya dan juga memajukan kompetensi masyarakatnya dengan pendidikan. Jika masyarakat berpendidikan, mereka akan berpikir maju, dewasa, kreatif, bahkan inovatif sehingga akan mengelola penghidupannya dengan lebih baik yang berdampak pada peningkatan taraf hidupnya. Suatu komunitas masyarakat maju, tampak dari pendidikan yang diperolehnya. Jadi, pendidikan merupakan jembatan untuk memajukan suatu masyarakat. Semakin kecil anggaran pendidikan dari PAD suatu daerah, maka semakin lambat kemajuan masyarakat di daerah tersebut. Mudah-mudahan kerangka pikir seperti ini menjadi dasar bagi seluruh anggota legislatif yang telah menetapkan diri untuk mengabdi pada rakyat sebagai masayrakat pemilih mereka. Jika mereka masih ribut tentang besaran “dana aspirasi” di manakah hati nurani mereka?