Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

25 Oktober, 2010

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Cerdas dan Berkualitas


Suherli Kusmana


A. Pendahuluan
Topik tentang pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih merupakan isu yang sangat menarik. Berbagai pandangan tentang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa disajikan dalam forum ilmiah para guru dan dosen. Dalam forum ini diangkat beberapa pengalaman dan hasil-hasil penelitian tentang cara meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia.
Pada tahun 1990-an persoalan pembelajaran bahasa Indonesia selalu diarahkan pada kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan diberlakukan secara nasional. Sejak tahun 2006, kurikulum dikembangkan oleh sekolah-sekolah sehingga tidak ada kurikulum yang berlaku secara nasional. Pemerintah hanya menerbitkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, selanjutnya SI dan SKL dikembangkan oleh sekolah menjadi Kurikulum Sekolah (diberi istilah KTSP). Kurikulum sekolah ini selanjutnya dikembangkan ke dalam silabus pembelajaran. Dari silabus kemudian dikembangkanlah perencanaan pembelajaran berdasarkan Kompetensi Dasar yang harus dibelajarkan.
Guru memiliki kewajiban untuk mempersiapkan program pembelajaran. Oleh karena kurikulum itu dikembangkan oleh sekolah, maka guru tidak mungkin menyiapkan RPP dengan mencontoh (mengkopi) dari RPP guru Bahasa Indonesia dari sekolah lain. Guru dituntut untuk kreatif dalam menyusun program perencanaan pembelajaran. Bahkan seharusnya penyusunan RPP dilakukan berdasarkan refleksi atas kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan guru.
Kebiasaan salah yang sering dilakukan para guru adalah mengembangkan silabus menjadi RPP, dengan menggunakan urutan bahan yang terdapat di dalam buku paket atau buku teks pelajaran. Pengembangan buku teks pelajaran dilakukan penulis berdasarkan penafsiran terhadap Standar Isi yang meliputi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
Banyak pihak yang masih mengkhawatirkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, siswa SMA di Amerika, Belanda, dan Prancis diwajibkan membaca 30 buku sastra. Demikian pula di negara-negara Asia, seperti di Jepang para siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra, di Brunai diwajibkan membaca 7 buku sastra, dan di Singapura diwajibkan membaca 6 buku sastra. Oleh karena punya keinginan untuk meningkatkan kemampuan membaca bagi para siswa di negara kita, maka dalam Standar Isi ditetapkan target jumlah bacaan sastra dan nonsastra yang harus dibaca. Siswa lulusan SD/MI harus sudah membaca 9 buku; lulusan SMP/MTs harus telah membaca 15 buku; dan lulusan SMA/MA harus telah membaca 15 buku sastra atau nonsastra. Jadi jika seluruh tingkatan digabung, maka siswa lulusan SMA akan telah membaca 39 buku sastra dan nonsastra. Namun, dalam kenyataan di sekolah-sekolah hal ini masih diabaikan para guru.
Kualitas pembelajaran yang dilakukan guru masih belum menyentuh permasalahan yang esensial. Penekanan standar kompetensi di dalam Standar Isi dengan hanya mengarahkan pada empat kompetensi berbahasa (Mendengarkan, Berbicara, Membaca, dan Menulis) masih belum dipahami pendidik. Kenyataan ini masih ditemukan ketika pendidik membelajarkan siswa untuk membaca dengan standar kompetensi “Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif” dengan kompetensi dasar “Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif”. Di dalam kelas guru malah menerangkan kedua jenis paragraf tersebut, baik melalui teknik ceramah maupun tanya jawab. Selanjutnya, siswa berlatih menuliskan kedua jenis paragraf tersebut. Sampai dengan akhir pembelajaran, siswa tidak dilatih membaca paragraf demi paragraf untuk menemukan perbedaan kedua paragraf tersebut.
Pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang diujian-negarakan. Penyusunan soal UN diselenggarakan oleh BSNP dan Puspendik Depdiknas dengan mengundang para guru terpilih untuk menyusun soal sesuai dengan SI dan SKL dengan arahan dari ahli. Setiap soal diseleksi sangat ketat dengan kajian dari berbagai pihak ini dimaksudkan agar soal valid dan reliabel. Oleh karena pertimbangan pembagian kewenangan, maka tidak seluruh kompetensi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di-UN-kan, karena harus memberi porsi untuk Ujian Sekolah dalam mengukur kompetensi mendengarkan dan berbicara. Soal UN lebih diarahkan untuk mengukur kompetensi membaca dan menulis. Namun kenyataannya, para pendidik pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK atau MA/MAK selalu saja dihantui ketakutan jika siswanya tidak dapat menjawab soal dengan baik. Tidak sedikit di antara mereka kemudian melakukan berbagai upaya “nakal” untuk menghilangkan ketakutan itu, bahkan “terorganisasi dengan rapi”.
Persoalan lain tentang kondisi sumber daya tenaga pendidik yang belum adaptif dan visioner. Pada beberapa sekolah, masih terdapat pendidik yang menggunakan teknik ceramah untuk membelajarkan siswa belajar berbahasa atau bersastra. Mereka beranggapan bahwa jika tidak menerangkan maka tidak termasuk mengajar. Padahal guru bahasa Indonesia bukan harus mengajarkan “bahasa atau sastra” tetapi membuat siswa belajar menggunakan bahasa atau sastra dalam konteks kehidupannya. Dari hal ini, diharapkan siswa memiliki pengalaman berharga dalam berbahasa di dunia nyata, bukan dunia sekolah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.” Dengan demikian, jika guru mengajari siswa berpidato dengan menerangkan pengertian pidato, jenis-jenis pidato, dan cara berpidato maka siswa hanya beroleh 20% saja dari materi yang diajarkan. Berbeda halnya jika membelajarakan mereka untuk mengalami berpidato, ia harus mampu mengungkapkan dan melakukan kegiatan berpidato sehingga perolehan materi akan mencapai 90% dari yang dibelajarkan guru.

B. Berbagai Pemikiran tentang Pembelajaran Berbahasa
Dalam rangka mengatasi permasalahan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah muncullah berbagai pemikiran dan gagasan, baik disampaikan dalam ceramah-ceramah terbatas maupun dalam forum ilmiah seperti Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia. Dalam buku ini disajikan berbagai pemikiran tentang pembelajaran Bahasa Indonesia.
Ibnu Wahyudi (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) memandang bahwa pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam perspektif komunikasi modern. Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah memerlukan kesungguhan yang ekstra karena dalam berkomunikasi verbal, baik lisan maupun tulisan, sangat sering kita melakukan keteledoran, ketidakcermatan, kemanasukaan, dan semacamnya, yang dapat mengakibatkan tergerusnya pesan menjadi tidak lagi lengkap atau utuh. Di sisi lain Ibnu Wahyudi menyadari bahwa guru tidak boleh menyerah ketika di era komunikasi modern seperti dewasa ini, yang menuntut cara berkomunikasi tulis itu harus menyesuaikan diri dengan media yang dipakai, seperti sms, facebook, chatting, tweeter, dan lainnya lagi.
Dalam hal pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, Ibnu Wahyudi menyatakan bahwa pembelajaran yang menuntut kecerdasan olah-kata masih belum banyak dikembangkan. Penyebab belum ditumbuhkannya urgensi kecerdasan olah-kata dalam pembelajaran karena kurang jelasnya tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, di sisi lain sangat mungkin disebabkan oleh kendala yang sangat teknis, seperti terbatasnya sumber atau contoh bacaan.
Sementara itu, Yeti Heryati (Universitas Islam Negeri Bandung) menyodorkan konsep penerapan Active Learning dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Yeti Heryati menganut prinsip belajar konstruktivistik yang lebih mengoptimalkan aktivitas siswa dalam belajar. Siswa tidak dipandang sebagai bejana kosong yang siap melakukan transmisi keilmuan. Menurut teori konstruktivis, prinsip yang paling penting dalam proses pembelajaran adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa aktif memproses pengetahuan dan keterampilan secara mandiri. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru memfasilitasi siswa untuk dapat mempermudah proses tersebut, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajari siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Sekaitan dengan memberi kesempatan kepada siswa aktif dalam pembelajaran dan guru melakukan perubahan paradigma pembelajaran, Isah Cahyani (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung) menyodorkan pemikiran tentang pengembangan jatidiri siswa melalui pendidikan keberwacanaan. Pengembangan jatidiri ini banyak manfaat, di antaranya membantu siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi; memiliki nilai balik (rate of return) setelah siswa menyelesaikan studi; memiliki multi-fungsi bagi siswa dalam mengembangkan potensi diri. Pendidikan keberwacanaan dilakukan guru dengan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan dunia kerja dan kehidupan di luar sekolah.
Dalam pendidikan keberwacanaan ini, guru mengubah paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang terpusat pada guru ke pembelajaran yang terpusat pada siswa. Pendekatan pembelajaran yang berbasis mengajar (guru yang aktif) diubah ke dalam bentuk siswa membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri dari berbagai variasi informasi melalui suatu interaksi dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya, Yeti Mulyati (Universitas Pendidikan Indonesia) melengkapi pemikiran di atas yang menyatakan bahwa pendidikan keberwacanaan atau pendidikan literasi diarahkan pada pemecahan masalah dalam kehidupan. Para siswa dibekali kemampuan literasi (keberwacanaan) agar kemampuan literasi yang dimilikinya itu dapat berimbas terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dengan demikian, mereka dapat memfungsikan keterampilannya itu untuk kepentingan life skills di dalam kehidupan sesungguhnya di masyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia yang diarahkan pada upaya membangun budaya literasi terutama pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas peserta didik menggunakan bahan ajar dalam berkehidupan. Peserta didik belajar berbahasa atau bersastra untuk dunia nyata, bukan dunia sekolah.
Lebih jauh, Yeti Mulyati menyodorkan ancangan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan literasi berbasis pemecahan masalah. Kemasan pembelajaran itu dapat dilakukan secara integratif, baik integrasi ke dalam dengan mengintegrasikan beberapa kompetensi dasar dalam lingkup bidang studi itu sendiri, maupun integrasi keluar melalui pendekatan lintas bidang studi. Pembelajaran bahasa Indonesia secara komunikatif-integratif yang berwarnakan problem based-learning bukan saja dapat mendongkrak penguasaan empat aspek keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis), melainkan juga secara tidak langsung dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis-kreatif siswa.
Di sisi lain, Asep Nurjamin (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Garut) masih mengurai tentang problematika pembelajaran Bahasa Indonesia. Ia mengungkapkan pemikiran tentang perlunya penguatan kelembagaan institusi dalam pembinaan Bahasa Indonesia. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kemampuan untuk “memaksa” para siswa untuk menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Sekolah tidak boleh kalah dengan model-model penggunaan bahasa yang ditawarkan masyarakat, baik melalui tuturan langsung, melalui media cetak atau elektronik walaupun model penggunaan bahasa yang ditawarkan lingkungan itu secara kuantitatif jauh lebih besar daripada model yang disediakan sekolah.
Hal yang lebih penting lagi dikembangkan di sekolah adalah kejelasan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran ini adalah membuat para siswa terampil menggunakan bahasa, baik keterampilan reseptif maupun keterampilan produktif. Keterampilan reseptif yang meliputi keterampilan menyimak dan membaca, sedangkan keterampilan produktif yang meliputi keterampilan berbicara dan keterampilan menulis. Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah harus fokus pada pengembangan keterampilan berbahasa ini.
Dadang S. Anshori (Universitas Pendidikan Indonesia) menyoroti peran bahasa jurnalistik dalam pengembangan Pembelajaran Bahasa Indonesia. Ia melakukan penelitian terhadap buku teks yang digunakan dalam pembelajaran. Dari kajian yang dilakukannya, Dadang S.Anshori menemukan penggunaan bahasa jurnalisitik yang cukup dominan di dalam buku teks pelajaran. Para penulis buku teks pelajaran banyak memanfaatkan penggunaan bahasa jurnalisitik untuk kepentingan pembelajaran. Para penulis buku memanfaatkan media massa selain untuk kepentingan informasi juga untuk contoh penyajian wacana atau sumber pengetahuan. Penulis buku teks bahasa Indonesia banyak mengambil wacana dari media massa (koran, tabloid, majalah, internet) sebagai contoh teks, bahan latihan, atau sumber pengetahuan.
Teks yang bersumber dari media massa cetak dalam buku teks mata pelajaran bahasa Indonesia ada yang ditulis utuh (apa adanya), ada yang sudah mendapatkan penyuntingan seperlunya dari penulis buku, dan ada pula yang dirangkum ide dan gagasannya. Keragaman jenis wacana tersebut sangat bergantung pada kreativitas penulis buku ajar tersebut. Penulis buku yang kreatif tentu tidak akan mengambil teks koran secara utuh, kecuali untuk kepentingan contoh (latihan). Bahasa koran bagaimanapun belum sepenuhnya layak untuk dikatakan bahasa akademik (bahasa pedagogis).
Berdasarkan penelitian Anshori (2003) tentang sumber teks (wacana) buku pelajaran Bahasa Indonesia SMA menunjukkan bahwa sebanyak 41,67% sumber bacaan siswa kelas X berasal dari koran dan majalah. Untuk buku teks siswa kelas XI sebanyak 79,12% berasal dari koran dan majalah. Buku teks siswa kelas XII mengambil materi sebanyak 52,94% dari koran dan majalah. Data ini menunjukkan intensitas pemakaian bahasa koran sebagai sumber pembelajaran di sekolah di Indonesia. Hal ini berarti dinamika pemberitaan dalam bahasa jurnalistik, secara tidak langsung menjadi bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia di ruang kelas.
Sejalan dengan pemanfaatan sumber bahan pembelajaran, Lina Meilinawati (Universitas Pajajaran Bandung) malah melihat penggunaan Lagu Popular Indonesia sebagai media pembelajaran berpikir logis dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Pada dasarnya pembelajaran Bahasa Indonesia juga pembelaran berpikir. Di sekolah-sekolah di Indonesia belum dikembangkan materi khusus pelajaran berpikir, sementara di negeri jiran merupakan mata pelajaran khusus. Untuk itu, kiranya sangat tepat jika di negeri kita kemampuan berpikir dimasukkan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, sebab berbahasa berarti berpikir.
Lina Meilinawati menyatakan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia dapat menggunakan teks sebagai peristiwa komunikasi jika memenuhi tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu adalah keutuhan (koherensi), kesatuan (kohesi), kejelasan maksud pengirim (intentionality), keberterimaan (acceptability), memberi informasi (imformativity), situasi pengujaran (situationality), dan intertualitas (intextuality). Apabila lagu popular Indonesia memiliki karakteristik ini maka dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran berpikir, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Pembelajaran akan semakin dinamis dan menarik dilakukan.
Dalam mencermati teks sebagai media pembelajaran Bahasa Indonesia, Syafrina Noorman (Universitas Pendidikan Indonesia) menyodorkan tentang teks dengan isu kontroversial. Penggunaan media teks dengan isu yang kontroversial ini dapat digunakan sebagai alat untuk melatih kemahiran berpikir. Kemahiran berpikir kritis merupakan kebutuhan mendasar di alam yang sangat terbuka dan cair seperti sekarang. Sebagai gambaran, informasi yang deras, batas yang mengabur berpotensi memunculkan beraneka masalah sosial yang jika tidak disikapi secara arif dan cerdas dapat memicu pertentangan, keresahan dan, bukan mustahil, kerusuhan. Bersikap dan berpikir krtitis menjadi sebuah kebutuhan agar dapat memilah dan memilih informasi yang tepat serta dapat menentukan batas untuk menentukan keberpihakan atau posisi terhadap suatu informasi.

C. Gagasan tentang Pembelajaran Bersastra
Maman Suryaman (Universitas Negeri Yogyakarta) mengungkapkan kerisauannya tentang pembelajaran Bahasa Indonesia yang hanya diarahkan pada pengembangan kognitif. Padahal, kecerdasan manusia secara operasional dapat digambarkan ke dalam tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus berkembang. Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia harus tumbuh. Melalui pengembangan afektif, kapasitas sikap manusia harus mulia. Namun, di dalam kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran lebih diarahkan pada pencerdasan yang bersifat kognitif. Pada tataran ini pun, kecerdasan intelektual yang bersifat kognitif masih terbatas pada pengembangan kemampuan menghafal atau transfer pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan soal-soal ujian. Pengembangan kognitif yang lainnya masih diabaikan, misalnya, dalam hal pengembangan kognitif untuk meningkatkan daya kritis.
Sastra merupakan cerminan keadaan sosial budaya bangsa yang harus diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131) sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial-budaya dari keadaan yang terpuruk dan ’terjajah’ ke keadaan yang mandiri dan merdeka. Sastra harus mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual. Sastra juga sastra dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa. Oleh karena itu, disodorkanlah pemikiran tentang pembelajaran sastra berkarakter dan mencerdaskan.
Dalam meningkatkan kaulitas pembelajaran bersastra di sekolah-sekolah Puji Santosa (Pusat Bahasa Kemdiknas Jakarta) menyodorkan pembelajaran sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran bersastra di sekolah harus dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif bagi siswa dan guru. Pembelajaran bersastra yang dapat menyenangkan harus mengandung unsur hiburan dan tidak membosankan. Dengan adanya daya kreatif dan kreativitas itu siswa dan guru dapat melakukan kegiatan sehari-hari penuh vitalitas hidup, bersemangat, tidak mengenal kata putus asa, bahkan tampak lebih berseri, penuh rasa optimis. Daya kreatif siswa dan guru dapat menimbulkan daya inovatif, yakni kemampuan untuk diperdayakan dengan cara selalu mencari hal-hal yang baru, berbeda dari yang sudah ada, segar, dan cemerlang.
Sejalan dengan peningkatan pembelajaran bersastra, khususnya dalam memehami puisi Kuswara (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sebelas April Sumedang) menyodorkan alternatif melalui pendekatan Semiotika. Ia menyatakan bahwa selama ini di sekolah pendekatan yang biasa digunakan untuk mengkaji puisi adalah pendekatan struktural. Jenis pendekatan ini sulit untuk diterapkan dalam kegiatan kajian puisi-puisi kontemporer karena penyair tidak menggunakan kata seperti dalam penggunaan bahasa sehari-hari, terutama dalam hal makna kata tersebut. Namun, bukan berarti pengalaman bersastra yang telah ada tidak dapat digunakan sama sekali. Kata dalam puisi kontemporer tetaplah kata yang digunakan dalam kegiatan komunikasi manusia. Perbedaannya hanya bahwa tidak semua kata yang terdapat dalam puisi kontemporer dapat dijelaskan maknanya sebab kata-kata tersebut hanya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan musikalisasi dalam puisi tersebut. Oleh karena itu pendekatan semiotika merupakan alternatif dalam meningkatkan kemampuan bersastra, khususnya dalam memahami puisi-puisi kontemporer.
Dalam upaya meningkatkan pembelajaran bersastra, Dede Endang (Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon) menyodorkan konsep pembelajaran sastra yang apresiatif, ekspresif, dan kontekstual. Berdasarkan penelitian terhadap guru-guru, dengan sampel guru SD di Cirebon diketahui bahwa mereka mengajarkan sastra tidak mendalam. Mereka mengandalkan buku pegangan siswa yang ada di sekolah, baik berupa buku paket, maupun buku yang dibeli dari penerbit swasta. Pada umumnya (89%) para guru tidak menggembangkan bahan ajar yang dibuat sendiri, melainkan menggunakan buku teks pelajaran yang diterbitkan penerbit swasta.
Dalam proses belajar mengajar, khususnya pembelajaran bersastra para guru banyak yang memanfaatkan buku teks pelajaran sebagai pedoman pengajarannya. Anggapan mereka, buku pelajaran sudah memberi kepraktisan dalam proses belajar mengajar. Siswa sebagai pembelajar dapat mengerjakan latihan dan tugas yang ada di buku. Dengan demikian, pembelajaran bersastra menjadi tidak menarik. Oleh karena itu, Dede Endang mendorong agar para guru dapat mengembangkan modul pembelajaran bersastra yang dibuat sendiri. Pengembangan modul yang dikembangkan oleh guru sendiri akan lebih sesuai dengan kemampuan dan kepribadian siswa daripada buku teks pelajaran yang disusun dengan tidak mempertimbangkan aspek tersebut.
Berbeda dengan pemikiran pembelajaran bersastra di atas, disodorkan oleh Sumiyadi (Universitas Pendidikan Indonesia) tentang model pembelajaran Advance Organizer. Model ini cocok digunakan dalam perkuliahan bersatra di perguruan tinggi. Model Advance Organizer adalah teknik pengajaran yang dilakukan guru dengan cara membuat kerangka pelajaran dan mengorientasikan siswa pada materi sebelum materi itu diajarkan. Guru menggunakan advance organizer pada saat memulai satu pelajaran untuk membantu siswa melihat “gambaran besar” dari apa yang akan dipelajari dan bagaimana makna dari informasi yang terkait. Dengan demikian, advance organizer dapat dianggap sebagai hook (kail/cantelan), jangkar, scaffolding (perancah/kerangka pendukung) intelektual bagi meteri pembelajaran selanjutnya sehingga mampu “melukiskan dengan jelas, tepat, dan eksplisit persamaan dan perbedaan antara ide-ide yang ada dalam sebuah hal baru yang sedang dipelajari, di satu pihak, dan konsep-konsep terkait yang sudah ada dalam struktur kognitif, di pihak lain (Arends, 2008:265).
Pada dasarnya pada setiap manusia telah terbangun struktur kognitif tentang pengetahuan yang diasosiasi dan diakomodasi oleh siswa sendiri dalam belajar ke dalam skematanya. Model advance organizer dapat dianggap sebagai pembelajaran terhadap siswa dalam mengolah dan memproses informasi atau kemampuan yang dibelajarkan kepadanya.

D. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa
Pemikiran tentang pembelajaran berbahasa diarahkan pada peningkatan kemampuan siswa berliterasi. Aktivitas pendidik dalam kelas ketika melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis literasi lebih ringan, yaitu (1) mengarahkan aktivitas peserta didik; (2) memilih dan menyiapkan bahan pembelajaran; (3) memerika hasil kerja peserta didik; (4) mengarahkan sistem berkomunikasi keilmuan; (5) berkoordinasi dalam menyiapkan latar kelas untuk kegiatan berbahasa.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran menulis, Siti Maryam (Universitas Suryakancana Cianjur) mengusulkan pembelajaran kreativitas berbahasa, terutama dalam menulis esai di sekolah. Esai merupakan jenis tulisan populer yang memberi kesempatan kepada penulisnya untuk mengutarakan pikiran, perasaan, imajinasi, dan mungkin intuisinya dengan menggunakan bahasa yang kreatif. Melalui esai, berbagai kehendak, inspirasi, dan inovasi untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dapat difasilitasi. Untuk membangun interaksi komunikasi yang kondusif, esai hendaknya disusun dengan memperhatikan aspek kreativitas berbahasa sehingga esai merupakan produk penggunaan bahasa sesuai dengan tuntutan fungsi komunikasi masyarakat Indonesia.
Pembelajaran kreativitas berbahasa dalam menulis esai dapat memberikan pengalaman kepada siswa untuk mengepresikan pikiran, perasaan, keinginan, harapan, dan imajinasinya terhadap berbagai masalah kehidupan. Pengalaman tersebut dapat menyadarkan dirinya sebagai anggota masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kualitas kehidupan.
Sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan menulis, Khaerudin Kurniawan (Universitas Pendidikan Indonesia) menyodorkan pendekatan kolaboratif dalam pembelajaran membaca dan menulis, khususnya di perguruan tinggi. Keterampilan membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau keduanya mendapat tempat dan porsi yang layak dalam kurikulum pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di perguruan tinggi. Namun demikian, sekalipun membaca dan menulis telah mendapat porsi yang lebih besar, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam melakukan aktivitas dan tradisi membaca dan menulis setelah perkuliahan belum menunjukkan hasil yang memadai. Untuk itulah, Khaerudin menyodorkan pendekatan kolaboratif digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis.
Dalam pengembangan silabus pembelajaran, Jaja (Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon) menganjurkan dilakukan dengan menggunakan konsep kolaborasi. Penyusunan silabus dengan berkolaborasi sering dijadikan solusi untuk memecahkan berbagai masalah penyediaan silabus berkualitas. Istilah koborasi diartikannya sebagai pekerjaan intelektual yang dikerjakan bersama-sama atau mengerjakan sesuatu bersama-sama, sebelum memiliki kemandirian dalam mengembangkannya.
Di akhir tulisan, Bode Riswandi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya) menyatakan tentang kondisi guru pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah terhadap pembelajaran bersastra. Pada umumnya sastra dipandang sebagai suatu yang mudah disampaikan. Namun, untuk menangkap fenomena bersastra itu tidaklah mudah, diperlukan gairah intuitif dan kepekaan sastra. Oleh karena itu, diperlukan media yang mampu mengantarkan seseorang sampai pada taraf ‘menjadi’. Pada kasus ini, sastra jadi media konkret yang telah berbicara dari zaman ke zaman. Dalam berbagai genre sastra (Puisi, Prosa, dan Drama) seluruh persoalan yang telah dikemukakan di atas merupakan bahan bakar yang mewadahi kekuatan pola pikir dan imanjinasi kreatornya. Seorang guru Bahasa Indonesia yang harus membelajarkan siswa berbahasa dan bersastra memerlukan pengembangan diri dalam menyenangi tugas profesinya dan bahkan memiliki aktivitas bersastra sebagai pengalaman bagi pembelajaran yang akan dilakukannya.

E. Simpulan
Berdasarkan berbagai kupasan tentang pembelajaran Bahasa Indonesia yang meliputi pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra sangat perlu dilakukan dengan cerdas dan kreatif. Guru sebaiknya menggunakan berbagai kemampuannya untuk terus meningkatkan profesionalisasi dalam bidangnya. Bahkan, guru memiliki kreativitas untuk dapat menyajikan situasi belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan bersastra siswa.
Dalam meningkatkan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, maka tumpuan harapan berada di pundak guru. Dalam pembelajaran, seorang guru harus cerdas dan kreatif agar dapat menghasilkan siswa yang cerdas dan kreatif juga. Semakin cerdas dan kreatif guru dalam mengajar maka semakin bagus proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan.
Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dengan memerhatikan esensi dari “belajar” berbahasa atau bersastra Indonesia. Siswa belajar bahasa Indonesia itu meliputi keseluruhan kompetensi berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis bukan hanya mendengarkan tentang bahasa atau tentang sastra. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru adalah membaca bahan atau tulisan ini, memahaminya, kemudian menerapkannya dalam pembelajaran. Semoga.



Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar (2001) Membangun Kota Berbudaya Literat. Media Indonesia. Jakarta, Sabtu 6 Januari 2001.
Baynham, Mike. (1995) Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman.
Cooper, J.D. (1993) Literacy: Helping Children Construct Meaning. Boston Toronto: Hougton Miffin Company.
Costa, A. L. (1985) Development Mind Research Book for Teaching Thinking. Alexandria Firginia: The Association for Supervision and Curriculum Development.
Davis, Phil (1996) Information Literacy: From Theory and Research to Developing an Instructional Model. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/literacy/.html. [4 Februari 2001].
Dixon-Krauss, Lisbeth (2000) A. Mediation Model for Dynamic Literacy Instruction. Tersedia: http/www.psych.hanover.edu/vygotsky/ Kraus.html. [17 Desember 2000].
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. (1974) The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Evans, Linda (1994). Information Literacy. Ocotillo Report ’94. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/ literacy/ assembly.html. [4 Februari 2001].
Goleman, Daniel (1997) Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Joyce, Bruce dan Marsha Weil. (1986) Models of Teaching. Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs.

24 Oktober, 2010

Eksistensi Bahasa Indonesia


Suherli Kusmana

Tanggal 28 Oktober merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal itu, dikukuhkan Sumpah Pemuda yang mengakui tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu, yaitu Indonesia. Ikrar politik organisasi kepemudaan pada masa itu telah mampu memacu semangat seluruh elemen rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang bersatu dan berjuang untuk merdeka. Demikian pula pada masa kini, tanggal 28 Oktober selalu menjadi perekat nasionalisme, komitmen, dan perjuangan untuk tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Rongrongan terhadap tanah air dan bangsa dapat dideteksi dengan mudah. Namun, rongrongan terhadap bahasa Indonesia tidak terasa karena ia menyusup melalui pengguna bahasa dalam berkomunikasi. Eksistensi tanah air dan bangsa menjadi tanggungjawab semua pihak dengan TNI sebagai garda paling depan untuk mempertahankannya. Namun, untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia hampir tidak ada yang menghiraukannya. Kecuali, para guru Bahasa Indonesia yang dengan berat ia berjuang paling depan dalam melakukan pembinaan bahasa Indonesia melalui pembelajaran di kelas. Para pemerhati bahasa Indonesia melalui ketajaman penanya pun seringkali membantu melakukan pembinaan bahasa Indonesia melalui tulisan yang cerdas.
Dalam dasawarsa ini, bahasa Indonesia diuji kekuatannya dengan gempuran eksistensi dari bidang-bidang lain, seperti teknologi, bisnis, properti, dan pertunjukan. Bahasa pada dasarnya sangat bergantung pada pengguna, jika pengguna mampu memakai bahasa secara cerdas maka penggunaan bahasa pun positif. Pengguna bahasa memiliki keberagaman latar belakang penguasaan, pemahaman, dan kepentingan sehingga sulit sekali menyatukan keberagaman tersebut. Eksistensi bahasa Indonesia diperlemah oleh penggunanya sendiri.
Dalam bidang binis, seringkali penggunaan bahasa Indonesia menjadi nomor dua. Untuk menunjukkan suatu aktivitas kantor saja harus menggunakan Open dan Closed, misalnya. Padahal pelanggannya orang Indonesia yang telah mengerti kata Buka dan Tutup. Dalam bisnis digunakan istilah soft launching yang mungkin lebih dipahami bangsa Indonesia jika menggunakan istilah perkenalan awal. Bahkan, tukang jahit saja menjadi ikut-ikutan dengan menamai dirinya dengan Maju Makmur Tailor yang maksudnya Penjahit Maju Makmur.
Bidang komunikasi dan informasi yang sangat deras menyerbu pengguna bahasa Indonesia. Pengguna harus menggunakan kata downloud dan uploud yang padanannya sudah disediakan dengan unduh dan unggah untuk masing-masing kata tersebut. Bidang proferti pun mulai kembali menjejali pengguna bahasa dengan istilah yang tidak nasionalis. Penggunaan istilah asing untuk nama-nama perumahan cukup mengganggu penggunaan bahasa Indonesia. Misalnya, di daerah saja digunakan Buana TownRegency padahal lokasi perumahan itu di desa, atau Bandung Garden View, pahadal akan lebih familier jika menggunakan Pesona Bandung atau Taman Pesona Bandung.
Pemerintah, melalui Menteri Perumahan Rakyat sudah mendorong agar penamaan kawasan perumahan menggunakan kearifan berbahasa. Namun, kebijakan itu hanya bertahan beberapa tahun, para pengembang menamai rumah yang dikembangkan dengan cerdas dan arif.
Bidang pertunjukan dan hiburan pun ikut memosisikan bahasa Indonesia sebagai pihak yang termarginalkan di negerinya sendiri. Penggunaan bahasa para pelaku cerita dalam sebuah sinetron menggunakan bahasa yang tidak benar. Skenario sinetron masih banyak menggunakan contoh penggunaan bahasa yang kurang tertib. Dalam bidang pendikan pun, bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sudah mulai digeser kedudukannya oleh bahasa Inggris di sekolah-sekolah RSBI atau SBI. Di sekolah dengan standar internasional ini penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran mulai digeser oleh bahasa Inggris.
Eksistensi bahasa Indonesia diuji secara bertubi-tubi dari berbagai bidang. Serbuan yang demikian deras harus dihadapi oleh pengguna bahasa Indonesia. Pengguna yang memiliki kemampuan, pemahaman, dan nasionalis akan dapat mempertahankan eksistensi ini. Namun, jika tidak dibantu oleh berbagai pihak dimungkinkan akan rapuh juga di kemudian hari. Bangsa yang berpendidikan sepatutnya mampu mempertahankan eksistensi bahasanya. Namun demikian, kiranya perlu dibantu berbagai pihak untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia yang telah dicetuskan pada 28 Oktober 1928.
Pertama, untuk membantu eksistensi Bahasa Indonesia lekat di penggunanya diperlukan kebijakan strategis pemerintah Republik Indonesia dalam membina Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pusat Bahasa yang telah ditetapkan pemerintah sebagai Badan Bahasa harus diberi porsi dan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Lembaga ini diberi keleluasaan lebih seperti Menteri Keamanan dan Pertahanan, sebab jika bahasa Indonesia lemah maka ia tidak akan mampu menjadi bahasa pembersatu atau bahasa keilmuan.
Kedua, untuk mendukung program pemerintah pusat yang dilakukan oleh Badan Bahasa tampaknya pemerintah daerah harus mampu menjadi penopang. Pemerintah daerah merupakan pemerintahan yang lebih dekat dengan para pengguna bahasa, sehingga perlu ada kebijakan daerah ihwal perizinan. Misalnya, pemerintah daerah memberikan izin kepada pengembang, pelaku bisnis, atau bidang lain jika ia menggunakan istilah-istilah, nama perumahan, atau nama hotel, unit bisnis waralaba dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pemerintah daerah sepatutnya mendorong nasionalisme penggunaan bahasa, sebagai bentuk kecendekiaan pemakai bahasa di daerah.
Ketiga, sangat diperlukan kearifan dari pengguna bahasa. Bahasa menunjukkan identitas diri. Apabila pengguna bahasa tidak cermat dalam menggunakan bahasanya maka ia juga ceroboh dalam bertindak. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi merupakan alternatif final yang harus dilakukan pengguna bahasa. Semakin tinggi kesetiaan pengguna bahasa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan resmi berbahasa maka akan semakin kuat eksistensi bahasa Indonesia di antara gempuran berbagai bidang terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam berkehidupan sehari-hari.