Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

04 Juni, 2011

Strategi Penulisan Buku Pendidikan Karakter Berdasarkan Pengalaman


Oleh: Suherli Kusmana


1.Pendahuluan
Fungsi pendidikan sebagaimana tertuang dalam Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari hal tersebut tergambar bahwa fungsi pendidikan tidak semata-mata mengembangkan kemampuan, namun juga dimaksudkan untuk membentuk watak dan peradaban suatu bangsa yang bermartabat. Pendidikan berfungsi sebagai pembentuk karakter bangsa yang bermartabat atau sebagai bangsa yang memiliki budaya.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi tata nilai dari suatu peradaban modern. Bangsa bermartabat adalah bangsa yang menjujung tinggi kebenaran, kejujuran, kesantunan, keramahtamahan, keberagaman, dan ketaatan pada aturan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan harus berfungsi membentuk bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan bangsa yang dapat hidup di dunia modern. Oleh karena itu, untuk memantapkan fungsi pendidikan ini diperlukan pendidikan karakter terus dikembangkan melalui lembaga pendidikan di Indonesia.
Tujuan pendidikan kita adalah “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan ini merupakan arah bagi semua penyelenggara dan pelaksana pendidikan dalam lingkup sistem pendidikan nasional. Setiap satuan pendidikan menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia yang berkarakter yang memiliki perilaku yang baik dan terpuji sesuai dengan norma dan tata kehidupan masyarakat berbudaya.
Pada saat ini banyak pihak yang merasa bahwa bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat dramatis, baik dalam kepemilikan karakter maupun budaya sebagai jati diri bangsa. Budimansyah (2009) menyatakan terjadi perubahan masyarakat terutama “munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi berubah menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, berbuat sadis, kejam, dan biadab”. Pendidikan diharapkan mampu menanamkan kembali karakter bangsa yang sudah semakin berubah. Pendidikan menjadi harapan semua pihak dalam mengembalikan karakter bangsa sebagaimana ditetapkan dalam tujuan pendidikan.
Beberapa satuan pendidikan telah merintis pengembangan karakter melalui pendidikan. Keberhasilan mereka merupakan embun penyejuk dalam menyempurnakan model pendidikan yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi pergeseran karakter bangsa. Pada satuan pendidikan tersebut, para guru telah berhasil mengembalikan pendidikan pada fungsinya, sebagai pembentuk karakter bangsa yang bermartabat dan budaya.
Keberhasilan yang telah dicapai tersebut patut mendapat penghargaan dan apresiasi yang baik. Keberhasilan model pendidikan karakter yang telah dilaksanakan di satuan pendidikan harus disampaikan kepada yang lain. Setiap satuan pendidikan yang telah sukses mengembangkan pendidikan budi pekerti ini perlu melakukan difusi inovasi yang dilakukannya. Media yang tepat untuk melakukan hal itu adalah menuangkannya ke dalam buku yang mengungkapkan pengalaman dalam menerapkan pendidikan karakter. Buku ini diharapkan dapat mempercepat penyebaran informasi pada satuan pendidikan lainnya untuk mengembangkan pendidikan karakter.
Penuangan pengalaman dalam menerapkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA dan SMK) ke dalam buku sangat tepat. Jenis buku yang dapat digunakan untuk menuangkan hal ini adalah buku panduan pendidik atau buku pengayaan kepribadian. Jika dituangkan ke dalam buku jenis panduan pendidik maka buku tersebut berisi prinsip atau prosedur pembelajaran atau berisikan materi pokok dan model pembelajaran yang dapat digunakan pendidik dalam pembelajaran. Buku tersebut harus berisi prinsip-prinsip pembelajaran atau prosedur membelajarkan peserta didik tentang materi pokok dari salah satu mata pelajaran di satuan pendidikan berbasis pendidikan karakter. Buku tersebut hanya digunakan bagi guru.
Pengalaman menerapkan pendidikan karakter dapat pula dituangkan ke dalam buku pengayaan kepribadian. Buku tersebut digunakan untuk memperkaya kepribadian peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kesantunan, keramahtamahan, keberagaman, dan ketaatan pada aturan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Buku tersebut berisi kisah pengalaman yang baik dalam berperilaku sebagai bacaan bagi peserta didik. Buku jenis ini dapat dibaca oleh peserta didik dan juga guru. Jenis buku ini lebih efisien disusun dalam rangka mempercepat pengembangan pendidikan budi pekerti pada satuan pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.

2. Jenis Buku di Sekolah
Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa buku pendidikan sangat berperan dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Laporan World Bank (1989) menunjukkan bahwa di Indonesia tingkat kepemilikan peserta didik akan buku dan fasilitas berhubungan dengan prestasi belajar. Temuan tersebut sesuai dengan temuan Supriadi (1997) yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan peserta didik akan buku berkorelasi positif dan bermakna terhadap prestasi belajar.
Buku pendidikan dapat memberikan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan kepada peserta didik tentang kehidupan dalam berbagai bidangnya, baik tentang diri, masyarakat, budaya, dan alam sekelilingnya, maupun tentang Tuhan yang menciptakan segala yang ada. Namun, buku pendidikan harus sesuai dengan keperluan peserta didik sehingga memberi kemudahan untuk digunakan oleh pembelajar, baik dalam pendidikan formal, informal, maupun pendidikan nonformal.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 2008 tentang Buku maka klasifikasi buku pendidikan terdiri atas (1) buku teks pelajaran, (2) buku pengayaan, (3) buku referensi, dan (4) buku panduan pendidik. Berdasarkan penelitian Pusat Perbukuan ditentukan klasifikasi buku pendidikan terdiri atas (1) buku pelajaran, (2) buku pengajaran, (3) buku pengayaan, dan (4) buku rujukan (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004:4). Buku pengayaan teridri atas tiga klasifikasi berdasarkan tujuannya, yaitu pengayaan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian.

3. Buku Pengayaan
Buku pengayaan di masyarakat sering dikenal dengan istilah buku bacaan atau buku perpustakaan. Buku ini dimaksudkan untuk memerkaya wawasan, pengalaman, dan pengetahuan pembaca. Buku pengayaan adalah buku yang memuat materi yang dapat memerkaya dan meningkatkan penguasaan ipteks dan keterampilan; membentuk kepribadian peserta didik, pendidik, pengelola pendidikan, dan masyarakat pembaca lainnya. Oleh karena itu, buku pengayaan dapat dikembangkan ke dalam tiga jenis, yaitu buku pengayaan pengetahuan, buku pengayaan keterampilan, dan buku pengayaan kepribadian.
Buku pengayaan memiliki sifat penyajian yang khas, berbeda dengan buku teks pelajaran. Buku pengayaan dapat disajikan secara bervariasi, baik dengan menggunakan variasi gambar, ilustrasi, atau variasi alur wacana. Buku pengayaan bersifat mengembangkan dan meluaskan kompetensi siswa, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan, maupun kepribadian.
1) Pengayaan Pengetahuan
Buku pengayaan pengetahuan adalah buku-buku yang diperuntukkan bagi peserta didik untuk memerkaya pengetahuan dan pemahaman, baik pengetahuan lahiriyah maupun pengetahuan batiniyah. Buku pengayaan pengetahuan merupakan buku yang memuat materi yang dapat memperkaya dan meningkatkan penguasaan Ipteks. Fungsi buku pengayaan pengetahuan sebagai bacaan peserta didik, pendidik, pengelola pendidikan, dan masyarakat lainnya yang dapat memperkaya dan meningkatkan penguasaan Ipteks. Buku jenis ini merupakan buku-buku yang dapat membantu peningkatan kompetensi kognitif.
Buku pengayaan pengetahuan merupakan buku-buku yang dapat mengembangkan pengetahuan (knowledge development) peserta didik, bukan sebagai science (baik untuk ilmu pengetahuan alam maupun sosial) yang merupakan bidang kajian. Buku pengayaan pengetahuan berfungsi untuk memerkaya wawasan, pemahaman, dan penalaran peserta didik. Buku pengayaan pengetahuan bagi peserta didik akan berhubungan dengan pengembangan tujuan pendidikan secara umum. Pengayaan pengetahuan berarti materi buku tersebut mampu memberikan tambahan pengetahuan kepada peserta didik, selain yang tertuang di dalam tujuan pendidikan. Buku pengayaan akan memosisikan peserta didik untuk beroleh tambahan pengetahuan dari hasil membaca buku-buku tersebut yang dalam buku pelajaran tidak diperoleh informasi pengetahuan yang lebih lengkap dan luas sebagaimana tertuang dalam buku pengayaan.
Adapun ciri-ciri dari buku pengayaan pengetahuan adalah (1) menyajikan materi yang bersifat kenyataan, (2) mengembangkan materi bacaan bertumpu pada ilmu yang dikembangkannya, dan (3) mengembangkan berbagai pengetahuan seperti pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif.
2) Pengayaan Keterampilan
Buku pengayaan keterampilan adalah buku yang memuat materi yang dapat memperkaya dan meningkatkan penguasaan keterampilan. Buku pengayaan keterampilan berfungsi sebagai bacaan peserta didik, pendidik, pengelola pendidikan, dan masyarakat lainnya yang dapat memperkaya dan meningkatkan penguasaan keterampilan di bidang tertentu. Buku pengayaan keterampilan berisi materi vokasional yang dapat membekali pembaca dengan kemampuan berwira usaha.
Ciri-ciri buku pengayaan keterampilan adalah (1) materi yang disajikan bersifat faktual, (2) buku tersebut berisi uraian tentang petunjuk melakukan suatu kegiatan dari suatu jenis keterampilan, (3) materi yang disajikan dapat menunjang keterampilan melakukan sesuatu, dan (4) penyajian materi buku ini menggunakan narasi, deskripsi, atau gambar.
3) Pengayaan Kepribadian
Buku pengayaan kepribadian adalah buku-buku yang dapat meningkatkan kualitas kepribadian, sikap, dan pengalaman batin pembaca. Buku pengayaan kepribadian berfungsi sebagai bacaan bagi peserta didik, pendidik, pengelola pendidikan, dan masyarakat lainnya yang dapat memperkaya dan meningkatkan kepribadian atau pengalaman batin.
Dari perspektif buku pendidikan, buku pengayaan kepribadian merupakan buku yang diharapkan dapat mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Buku pengayaan kepribadian merupakan buku yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kepribadian pembaca, selain yang tertuang di dalam tujuan pendidikan. Pada akhirnya, buku pengayaan kepribadian diharapkan juga dapat memosisikan pembaca dalam kerangka pembentukan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan menjadi teladan bagi sesamanya dari hasil membaca buku-buku tersebut yang dalam buku pelajaran tidak diperoleh uraian dan contoh yang lebih lengkap dan luas.
Ciri-ciri buku pengayaan kepribadian adalah (1) materi bersifat faktual dan dapat pula rekaan, (2) isi buku dapat meningkatkan dan memperkaya kualitas kepribadian, sikap, atau pengalaman batin pembaca, dan (3) penyajian dapat dilakukan dalam bentuk narasi, puisi, dialog, atau gambar. Sesuai dengan isi materi yang disajikan, maka klasifikasi buku pengayaan keperibadian terdiri atas buku pengayaan kepribadian jenis fiksi dan jenis nonfiksi.

4. Menulis Buku Pengayaan Kepribadian
Sebelum menulis buku pengayaan kepribadian, seorang penulis seharusnya menetapkan terlebih dahulu konsep dasar kepribadian yang akan dikembangkan sebagai rencana pengayaan dan peningkatan kualitas kepribadian pembaca. Konsep dasar kepribadian yang dikembangkan seharusnya dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi konsep dasar maupun perkembangan keilmuan yang dirunut. Konsep dasar kepribadian yang dimaksud, harus dapat menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, baik secara secara personal maupun kolektif. Nilai-nilai kemanusiaan itu berarti bahwa materi yang disajikan dapat membangun dan menguatkan mental-emosional pembaca, mendorong kedewasaan pribadi, membangun kewibawaan dan percaya diri, mengembangkan keteladanan, mendorong sikap empati, dan mengembangkan kecakapan hidup.
Kepribadian itu merupakan suatu kebulatan yang terdiri atas suatu sistem psikofisik (jiwa-raga), bersifat kompleks, serta ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam dan luar individu, yang secara keseluruhan tercermin dalam tingkah laku individu yang unik. Kepribadian merupakan jati diri bangsa yang dapat dipengaruhi melalui pembinaan dan pendidikan. Kepribadian tampak dari perilaku seseorang yang tercermin melalui tindakan dan sikap terhadap sesuatu.
Konsep dasar kepribadian dalam buku-buku pengayaan kepribadian mengacu pada “insan Indonesia cerdas dan kompetitif”. Tentu saja hal ini harus sesuai dengan lingkungan sosial budaya Indonesia. Dalam konteks ini, peserta didik merupakan pribadi yang cerdas spiritual dan kematangan beragama, cerdas emosional dan sosial, serta cerdas intelektual. Selain itu, buku pengayaan kepribadian yang ditulis juga harus dapat mendorong kecerdasan kinestetik (berkarya) dan mampu membangun jiwa produktif dan kompetitif.
Bahan yang berhubungan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dapat dijadikan sebagai bahan tulisan buku pengayaan kepribadian. Dalam mengusung nilai-nilai tersebut, seorang penulis harus dapat menyuguhkan gagasan untuk menjunjung nilai-nilai luhur yang bersifat universal. Bahan-bahan yang dapat dikemas menjadi buku pengayaan kepribadian berdasarkan pengalaman dalam mengembangkan karakter pada satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA atau SMK) dapat berupa pengalaman dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada siswa, misalnya peningkatan keimanan dan katakwaan, kebenaran, kebaikan, keindahan, keuletan, kejujuran, kesantunan, keramahan, keberagaman, dan ketaatan pada aturan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, dan sejenisnya.
1) Keimanan dan Katakwaan
Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan merupakan nilai yang melekat dengan kehidupan religius bangsa Indonesia. Pelaksanaan kedua nilai ini merupakan implementasi dari ajaran kehidupan beragama. Orang yang bertakwa diyakini berkarakter baik karena mengimani Maha Pencipta, sehingga ia taat melaksanakan perintah dan menghindari yang dilarang oleh Tuhan. Topik tentang penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik sangat menarik untuk diangkat menjadi bahan tulisan dalam buku pengayaan kepribadian.
2) Kemuliaan dan Keadilan
Nilai kemuliaan merupakan nilai yang dimiliki oleh pihak yang dihormati atau dimuliakan oleh orang lain. Biasanya nilai kemuliaan itu melekat pada sifat, karakter, kedudukan, atau jabatan seseorang. Nilai ini cenderung menjadi yang didambakan semua orang. Pengalaman dalam mengembangkan nili-nilai kemuliaan ini merupakan bahan tulisan buku pengayaan kepribadian atau buku panduan pendidik.
Nilai kemuliaan cenderung dekat dengan nilai keadilan. Seseorang yang memiliki kemuliaan akan dihormati orang dan mampu menjaga nilai-nilai keadilan. Nilai-nilai keadilan merupakan nilai yang menjadi harapan dan dambaan banyak orang. Nilai keadilan dilakukan oleh penguasa dan didambakan banyak orang. Kedua nilai ini, kemuliaan dan keadilan sebagai nilai-nilai luhur yang perlu dimiliki bangsa Indonesia. Pengalaman dalam mengembangkan nilai kemuliaan dan keadilan kepada peserta didik dapat menjadi topik dalam menulis buku pengayaan kepribadian.
3) Kebenaran
Nilai-nilai kebenaran merupakan nilai hakiki yang diakui oleh semua orang, dirindukan semua orang, namun sering dipandang sesuatu yang sulit dilakukan oleh seseorang yang berpikiran kerdil. Kebenaran merupakan karakter dasar manusia yang diturunkan dari contoh perilaku malaikat, sedangkan lawannya adalah kesalahan sebagai perilaku yang diwariskan syetan. Kebenaran selalu menjadi tumpuan manusia ketika disadari bahwa kesalahan tidak memberikan harapan kehidupan.
Nilai-nilai kebenaran ini menjadi harapan dan tumpuan banyak orang. Pengalaman dalam mengembangkan nilai-nilai kebenaran di satuan pendidikan dapat menjadi bahan atau materi tulisan buku pengayaan kepribadian. Dalam mengangkat topik kebenaran ini dapat dilakukan dengan menggunakan penokohan fiksional maupun tokoh-tokoh simbolis melalui cerita binatang atau fabel.
4) Kebaikan
Nilai-nilai kebaikan dapat diangkat dari karakter manusia dan dapat pula diangkat dari warisan budaya pendahulu kita. Nilai kebaikan ini merupakan karakter yang diimpikan dan menjadi idaman semua pihak. Perbuatan yang baik diyakini akan beroleh balasan yang baik, demikian pula sebaliknya perbuatan yang jelek akan beroleh imbalan setimpal dengan perbuatan itu. Nilai kebaikan merupakan nilai yang diyakini sebagai nilai universal dari manusia, ia dicintai, diharapkan, dan dibutuhkan setiap manusia. Pengalaman dalam mengembangkan nilai-nilai kebaikan di satuan pendidikan dapat diangkat menjadi bahan tulisan buku pengayaan kepribadian, baik dalam bentuk fiksi maupun bentuk fabel.
5) Keindahan
Nilai-nilai keindahan, baik indah secara fisik maupun nonfisik sebagai sesuatu yang dapat diangkat menjadi bahan tulisan buku nonteks pelajaran. Jika segala sesuatu yang indah merupakan alternatif dalam menyelesaikan persoalan atau permasalahan maka topik tentang keindahan seharusnya menjadi bahan tulisan penulisan buku nonteks pelajaran. Misalnya, penulis mengangkat topik tulisan tentang betapa sangat indah jika menyelesaikan sebuah konflik tidak dengan kekerasan melainkan dengan berdialog atau bersilaturahim.

6) Kesabaran
Nilai kesabaran merupakan nilai yang sangat baik. Seseorang bersabar jika mendapat cobaan, bersabar jika dihujat orang, bersabar dalam menyelesaikan masalah, bersabar jika mengalami kesulitan. Kesabaran ini sebagai obat penangkal sementara jika seseorang mengalami masalah atau cobaan agar tidak mengatasinya dengan cara yang tidak baik. Bersabar tidak berarti diam melainkan terus berusaha dan tidak pantang menyerah. Pengalaman dalam mengembangkan nilai-nilai kesabaran dapat dijadikan sebagai bahan penulisan buku pengayaan kepribadian.
7) Keuletan
Nilai keuletan merupakan sikap seseorang yang tidak pantang meyerah dalam berusaha atau menyelesaikan persoalan. Sekalipun yang telah diusahakan masih belum beroleh hasil yang memuaskan ia tetap melakukan kegiatan itu, secara sungguh-sungguh baik siang maupun malam. Nilai keuletan ini merupakan karakter yang diwarisi oleh para pendahulu bangsa Indonesia, terutama dalam berjuang memerdekakan bangsa ini. Banyak pengalaman pendidik dalam mengembangkan nilai-nilai keuletan yang dapat diangkat menjadi bahan penulisan buku pengayaan kepribadian.
8) Kejujuran
Nilai-nilai kejujuran merupakan nilai luhur yang sering didambakan orang. Kejujuran adalah modal bermasyarakat yang sangat bernilai harganya. Jika seseorang terbiasa berkata jujur, maka sepanjang hidupnya tidak akan menanggung beban yang sangat berat. Kejujuran biasanya dijadikan kriteria dalam memilih orang. Bahkan pada negara industri yang sudah maju, nilai kejujuran ini merupakan karakter utama dalam bekerja. Demikian hebatnya nilai kejujuran sebagai nilai-nilai luhur sehingga merupakan nilai dambaan banyak orang. Pengalaman pendidik dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran pada satuan pendidikan dapat diangkat menjadi bahan penulisan buku pengayaan kepribadian.
9) Kesantunan
Nilai-nilai kesantunan merupakan nilai yang tercermin dalam ucapan dan tindakan berdasarkan pada norma budaya. Nilai-nilai ini telah lama diyakini sebagai nilai yang melekat dalam diri manusia bermartabat. Kesantunan berhubungan dengan nilai-nilai budaya bangsa, sehingga kemartabatan suatu bangsa dapat ditentukan berdasarkan kesantunan bangsa tersebut dalam ucapan dan tindakannya. Pengalaman dalam mengembangkan nilai-nilai kesantunan pada satuan pendidikan dapat dijadikan sebagai bahan penulisan buku pengayaan kepribadian.
10) Keramahan
Nilai-nilai keramahan merupakan karakteristik bangsa Indonesia. Karakter ini yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap bangsa kita. Nilai keramahan lekat sekali dengan kepribadian seseorang dalam bermasyarakat. Nilai-nilai keramahan ini menjadi penyeimbang manusia untuk tidak selalu berorientasi pada materi, namun juga menyeimbangkan dengan keperluan bersosialisasi. Keramah-tamahan ditandai oleh murah senyum, renyah bahasa, sejuk tutur sapa, dan perilaku lain untuk menyenangkan mitra berbahasa. Pengalaman dalam menanamkan nilai-nilai keramahan pada satuan pendidikan dapat diangkat menjadi bahan tulisan buku pengayaan kepribadian.
11) Keberagaman
Nilai keberagaman merupakan nilai-nilai dasar manusia dalam bersosialisasi di masyarakat. Keberagaman sebagai karakteristik bangsa Indonesia yang berasaskan Bhineka Tunggal Ika merupakan nilai warisan leluhur pendiri bangsa ini. Keberagaman yang tampak secara fisik dan keberagaman ide yang berorientasi pada satu tujuan merupakan kekayaan bangsa yang harus dijunjung tinggi. Pemahaman akan nilai keberagaman ini memahamkan peserta didik untuk tidak memaksakan kehendak kepada pihak lain. Keberagaman merupakan pengakuan atas perbedaan yang diberikan Pencipta kepada semua manusia. Pengalaman pendidik meneramkan pemahaman peserta didik untuk menerima keberagaman dalam hidup dapat diangkat menjadi bahan tulisan buku pengayaan kepribadian.
12) Ketaatan pada Aturan
Nilai-nilai ketaatan pada aturan merupakan ciri bangsa yang patuh pada kesepakatan yang dibentuk bersama. Aturan merupakan hasil pemikiran manusia dalam mengatur hubungan antar-manusia, hubungan dengan alam, atau hubungan antar-lembaga agar berlangsung dengan harmonis dan tidak merusak. Ketaatan pada aturan ini merupakan penghargaan terhadap diri manusia yang menciptakan gagasan dalam melakukan regulasi, sinergitas, serta kondusivitas. Pengalaman satuan pendidikan dalam mengembangkan nilai-nilai ketaatan pada aturan dapat dijadikan sebagai bahan penulisan buku pengayaan kepribadian.

5. Merancang Materi Buku Pengayaan Kepribadian
Komponen materi atau isi buku merupakan bagian yang sangat penting bagi buku pengayaan. Mengingat jenis buku ini sangat beragam, maka minimal terdapat lima aspek penting yang harus diperhatikan sebagai kriteria dalam menyusun kelayakan materi atau isi buku pengayaan kepribadian.
Buku pengayaan harus memiliki fungsi untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Tujuan yang dimaksud adalah “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Buku nonteks pelajaran harus dapat memosisikan dan memiliki peran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ini.
Buku pengayaan harus sesuai dengan ideologi dan kebijakan politik negara. Buku ini memiliki kebebasan dalam mengusung materi, namun materi yang diusung harus memenuhi kriteria ini. Wawasan kebangsaan dan cinta tanah air merupakan sesuatu yang ditekankan dalam aspek kebijakan politik negara. Dengan demikian, buku pengayaan merupakan bahan yang dapat digunakan untuk mengatasi disintegrasi bangsa atau risiko lain yang berhubungan dengan kebangsaan dan kenegaraan.
Suatu buku memiliki dampak yang besar jika dapat memengaruhi pembacanya. Oleh karena itu, materi yang disajikan dalam buku pengayaan harus sesuatu yang tidak akan menimbulkan masalah Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Selain itu, buku pengayaan tidak boleh menimbulkan bias jender atau mendiskreditkan jenis kelamin tertentu. Materi buku pengayaan juga tidak boleh melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) yang akan memiliki dampak yang lebih luas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyusun buku pengayaan kepribadian yang berkualitas harus memerhatikan kelayakan materi buku, yaitu:
1) Materi mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional;
2) Materi sesuai dengan ideologi dan kebijakan politik negara;
3) Materi menghindari masalah SARA, Bias Gender, serta Pelanggaran HAM;
4) Materi memaksimalkan upaya dalam membangun karakteristik kepribadian bangsa Indonesia yang diidamkan;
5) Materi membangun kepribadian yang mantap.

6. Menata Penyajian Buku Pengayaan Kepribadian
Sesuai dengan ketentuan internasional, maka buku pengayaan kepribadian yang ditulis minimal harus memiliki 48 halaman cetak jadi. Dengan demikian, buku pengayaan kepribadian ini dapat disajikan menggunakan model penyajian materi secara tematis. Bagian yang diungkapkan bukan hal-hal teoretis, melainkan pengalaman yang dikisahkan dengan bahasa yang segar, sedikit humor dan menyenangkan.
Selain itu, cara penyajian dalam menulis buku merupakan komponen yang turut menentukan kualitas suatu buku. Penyajian berkaitan dengan performance buku tersebut disodorkan kepada sidang pembaca. Penyajian berkaitan dengan pengemasan atau penataan materi buku sehingga memiliki efek terhadap pembaca. Efek yang dimaksud dapat berupa efek langsung atau efek ikutan dari suatu penyajian. Efek langsung yang dimaksud di antaranya adalah tingkat pemahaman, kemudahan, keruntunan, atau efek tidak langsung berupa motivasi atau berkembangnya suatu kecakapan serta aktivitas tertentu.
Berkaitan dengan hal ini maka penyajian materi dalam buku pengayaan harus mendapat perhatian khusus. Materi disajikan secara runtun dengan menata mulai dari yang sederhana menuju yang kompleks, mulai dari yang mudah menuju yang sulit. Selain itu, penyajian harus dilakukan secara bersistem dengan memerhatikan bagian-bagian yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain dengan rangkaian yang tetap.
Penyajian buku pengayaan dilakukan secara lugas dan mudah dipahami. Kelugasan itu berdasarkan fakta dan kenyataan yang sesuai dengan latar pembaca. Selain itu, materi harus disajikan dengan mudah. Penyajian yang mudah ditandai dengan penggunaan bahasa yang sederhana, bahasa yang sesuai dengan kemampuan pembaca, serta menggunakan model paragraf-paragraf naratif. Aspek kemudahan dalam memahami juga ditunjukkan dengan penyajian bacaan yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu panjang.
Berdasarkan uraian di muka, maka hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyajikan materi buku pengayaan kepribadian adalah sebagai berikut:
(1) Penyajian materi dilakukan secara runtun, bersistem, lugas, dan mudah dipahami;
(2) Penyajian materi mengembangkan kecakapan emosional, sosial, dan spiritual;
(3) Penyajian materi menumbuhkan motivasi untuk mengetahui lebih jauh;

7. Menggunakan Bahasa dan Grafika dalam Buku Pengayaan Kepribadian
Bahasa merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam penulisan buku. Yang dimaksud dengan bahasa dalam penulisan buku adalah penggunaan unsur-unsur bahasa yang meliputi tanda baca, kata, kalimat, dan paragraf. Penggunaan bahasa dalam buku pengayaan kepribadian berhubungan dengan penyajian materi yang mudah dipahami pembaca.
Buku pengayaan menyuguhkan materi atau isi yang menarik, namun juga harus menggunakan bahasa yang benar. Jika sebuah buku mengusung materi yang baik, namun menggunakan bahasa yang salah maka penggunaan bahasa ini akan berpengaruh pada penilaian pembaca terhadap kualitas isi buku. Oleh karena itu, selain isi dan penyajian materi sebuah buku itu bagus, maka bahasa yang digunakan pun harus baik dan benar.
Sekaitan dengan penggunaan bahasa, maka dalam menulis buku pengayaan kepribadian harus memenuhi kelayakan bahasa, sebagai berikut:
(1) Istilah yang digunakan merupakan istilah baku;
(2) Eejaan, kata, kalimat, dan paragraf digunakan dengan tepat, lugas, dan jelas;
Selain unsur bahasa, penulis buku harus pula memerhatikan grafika dalam penulisan. Grafika adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia cetak-mencetak; dalam jumlah yang banyak dengan kualitas yang baik. Terjadinya buku merupakan kerja sama dari tiga unsur penting; yaitu penulis, penerbit, dan pencetak (grafika). Penulis berkaitan dengan penyediaan materi buku dan ilustrasi yang dapat memperjelas materi, penerbit berkaitan dengan editorial isi buku dan pemasaran buku, sedangkan pencetak (grafika) berkaitan dengan visual buku dan perwujudan fisik buku. Oleh sebab itu, bentuk visual (buku) dan materi buku tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling berkait.
Visual buku (berkaitan dengan estetika) dapat meliputi tata letak yang terdiri dari pemilihan unsur-unsur grafis (pengolahan tipografi, ilustrasi/foto, dan warna) yang benar, baik, harmonis yang dikombinasikan dalam format yang baik. Tata letak bukanlah suatu hal yang ditambahkan kepada halaman agar halaman tampak lebih hidup, tetapi merupakan cara untuk mencapai komunikasi yang jelas, terang dan hidup. Sesuai dengan jenisnya, buku pengayaan kepribadian seharusnya mengunakan buku dengan ukuran mudah bipegang siswa (handy) dan huruf yang mudah dibaca agar buku tidak “menakutkan”.
Tata letak dalam grafika adalah pengolahan unsur-unsur grafis (tipografi, ilustrasi/foto, dan warna) yang baik, dinamis, dan menarik sehingga enak untuk disimak. Tata letak untuk kulit buku harus serasi antara bagian depan, punggung, dengan bagian belakang serta konsisten antara kulit dan isi buku. Mempunyai sudut pandang (center point) yang jelas. Tata letak untuk isi buku dibagi tiga bagian yaitu bagian depan, isi, dan bagian belakang (kecuali buku pengayaan kepribadian jenis fiksi), dan penataannya harus konsisten.
Tipografi adalah pemilihan jenis huruf yang sesuai dengan karakter materi. Selain itu, pemilihan huruf harus yang mempunyai tingkat keterbacaan tinggi, serta ukuran huruf yang sesuai dengan tingkat usia pembacanya. Penggunaan jenis huruf untuk bagian kulit dan isi buku harus sama, dengan variasi hurufnya tidak lebih dari 2 jenis huruf serta penggunaan efek huruf tidak berlebihan. Penulisan judul buku harus lebih dominan dibandingkan dengan subjudul, nama pengarang, maupun nama penerbit.
Ilustrasi atau foto dalam buku pengayaan harus sesuai dengan tuntutan materi, indah, akurat, dan proporsional. Selain itu, ilustrasi harus mempunyai garis/raster yang tajam/jelas, dan detail foto yang jelas (tidak moiré). Pemilihan warna harus sesuai dengan materi bahasan, natural, dengan kombinasi warna yang harmonis.
Berdasarkan uraian di atas, maka aspek grafika yang harus diperhatikan dalam menulis buku pengayaan adalah sebagai berikut:
(1) Tata letak unsur grafika dilakukan secara estetis, dinamis, dan menarik;
(2) Tipografi yang digunakan mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi;
(3) Ilustrasi dapat memperjelas pemahaman materi buku.

8. Penutup
Pengembangan karakter bangsa bermartabat dan berbudaya harus dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Pengembangan ini dilakukan untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan agar siswa beriman, bertakwa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Pendidikan merupakan faktor penting dalam mempersiapkan bangsa Indonesia menghadapi kondisi global.
Pengalaman dalam mengembangkan pendidikan karakter di satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA dan SMK) harus dapat disebarkan sebagai kisah sukses dan pengalaman berharga. Penyebaran ini merupakan bentuk difusi inovasi pendidikan yang dilakukan pada satuan pendidikan formal. Pengalaman ini akan sangat berharga jika yang telah melakukannya mau berbagi kepada yang lain melalui penerbitan buku.
Buku yang sesuai untuk mengungkapkan kisah sukses lembaga pendidikan dalam mengembangkan karakter adalah buku pengayaan kepribadian. Dalam menulis buku pengayaan harus memerhatikan materi atau isi buku, penyajian materi, dan bahasa serta grafika buku.

Daftar Pustaka
Budimansyah, D. (2007). “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.
Depdiknas (2003) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Dokumentasi Depdiknas.
Pusat Perbukuan (2003) Pedoman Klasifikasi Buku Pendidikan. Jakarta; Pusat Perbukuan Depdiknas.
Suherli (2005) Pedoman Keterbacaan dalam Penulisan Buku Teks Pelajaran. Jakarta: Pusat Perbukuan.
Supriadi, Dedi (2001) Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

27 April, 2011

Bahasa Indonesia dan Institusi Bahasa


Oleh: Suherli Kusmana
Bahasa Indonesia merupakan salah satu media yang digunakan untuk membersatukan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 para pemuda yang tergabung dalam organisasi kepemudaan berikrar dan mengungkapkan sumpah bahwa bangsa, tanah air, dan bahasa yang diakunya adalah Indonesia. Sejak tahun itu para pemuda kita menyadari makna pengakuan atas tiga hal sebagai sumpah yang menjadi modal dasar perjuangan. Sejak saat itu pula, penjajah Belanda merasa semakin sulit melakukan devide et impera sebagai senjata sosial dalam memecah belah bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang diakui dalam Sumpah Pemuda 1928 ditetapkan sebagai lahirnya “bahasa Indonesia”. Bahasa ini pada awalnya merupakan bahasa Melayu yang sering digunakan sebagai bahasa untuk kepentingan berbisnis antar suku. Pemilihan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia oleh para pemuda pada saat itu merupakan keputusan yang sangat cerdas. Sekalipun jika saat ini dibandingkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu sudah sangat jauh berbeda. Bahasa Indonesia pada saat ini sudah memiliki “lema” (entry) sampai 90.000 lema (KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat, 2008 yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama). Pada awal penyusunan kamus (1988) jumlah lema hanya 62.100 lema. Sungguh penambahan jumlah lema yang sangat signifikan dalam kurun waktu 20 tahun mencapai 27.900 lema.
Bahasa Indonesia telah berfungsi sebagai bahasa komunikasi keilmuan. Selain itu, Bahasa Indonesia harus digunakan sebagai komunikasi kenegaraan dan pelayanan pemerintahan. Bahkan studi kebahasa-indonesiaan telah banyak dilakukan warga negara asing yang ingin mengetahui Indonesia.
Perkembangan bahasa Indonesia yang demikian dinamis ini berdampak pada lembaga yang mengurusinya. Pada awal pendiriannya, yaitu tahun 1947 Pemerintah RI mendirikan lembaga yang menangani pengelolaan bahasa dan sastra Indonesia dengan nama Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek. Nama dalam bahasa Belanda ini baru berubah menjadi nama dalam bahasa Indonesia pada tahun 1952 menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya. Tujuh tahun kemudian, atau pada tahun 1959 nama lembaga ini kembali diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan. Nama ini pun bertahan selama 7 tahun, karena pada tahun 1966 kembali diubah menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusasteraan. Nama ini juga tidak bertahan lama, setelah Orde Baru berkuasa, nama pengelola dan pembina bahasa dan sastra di Indonesia pada tahun 1969 berubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional. Enam tahun kemudian, tahun 1975 namanya berubah kembali menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Nama ini bertahan cukup lama karena baru pada tahun 2000 nama lembaga ini diubah menjadi Pusat Bahasa. Sejak Januari 2011 lembaga yang mengelola bahasa dan sastra Indonesia ini pun berubah menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang memiliki dua pusat, yaitu (1) Pusat Pengembangan dan Pelindungan (Pusbanglin) Bahasa dan Sastra dan (2) Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan (Pusbinmas) Bahasa dan Sastra lestarian Bahasa. Semoga kedua pusat ini semakin menunjukkan jati diri bangsa.

18 Februari, 2011

Buku Kisah SBY


Oleh: Suherli Kusmana

Dewasa ini muncul respons berlebihan tentang buku kisah SBY. Bahkan, permasalahannya semakin melebar dan bernuansa politik, termasuk praduga keliru bahwa buku ini dijual, sebagai buku pelajaran, dan buku ini mengultuskan seseorang. Untuk menghindari perbuatan prasangka jelek, yang dilarang agama kiranya saya perlu menjelaskan sekilas tentang buku SBY ini.
Pusat Perbukuan Kemdiknas sejak 2002 telah melakukan penilaian buku, untuk menjaga mutu buku yang akan digunakan di sekolah. Pada tahun 2006 penilaian Buku Teks Pelajaran diserahkan kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sesuai ketentuan PP 19/2005, sedangkan penilaian buku nonteks pelajaran, yaitu buku pengayaan (pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian), buku referensi, dan buku panduan pendidik dilakukan oleh Panitia Penilai Buku Nonteks Pelajaran (PPBNP).
Penilaian buku nonteks pelajaran dilakukan atas permintaan penerbit atau pemerintah daerah dengan alokasi dana dari Pusat Perbukuan Kemdiknas. Pada tahun 2009 terdapat 2.225 judul buku yang diusulkan penerbit untuk dinilai sebagai buku nonteks pelajaran. Buku yang dinyatakan memenuhi syarat hanya 375 judul buku, yang 10 judul di antaranya berupa buku tentang kisah SBY, yang terdiri atas “Jendela Hati, Jalan Panjang Menuju Istana, Adil Tanpa Pandang Bulu, Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan, Menata Kembali Kehidupan Bangsa, Peduli Kemiskinan, Memberdayakan Ekonomi Rakyat Kecil, Diplomasi Damai, Berbakti untuk Bumi, dan Merangkai Kata Menguntai Nada”. Buku kisah SBY itu ditulis oleh para penulis senior dan berpengalaman, baik dalam penerbitan, jurnalistik, maupun penulisan biografi, namun buku ini bukan buku otobiografi. Buku kisah SBY ini bukan merupakan buku pelajaran. Buku ini termasuk ke dalam buku pengayaan kepribadian. Buku ini hanya merupakan buku bacaan di perpustakaan.
Salah satu program Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 adalah memenuhi ketentuan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Salah satu standar yang ditetapkan adalah ketersediaan buku di perpustakaan sekolah, untuk SD harus tersedia minimal 840 judul, sedangkan SMP minimal tersedia 870 judul buku buku pengayaan; 20 judul buku referensi; dan 30 judul buku panduan pendidik. Oleh karena itu, untuk memenuhi ketentuan ini Kemdiknas menetapkan penyediaan sarana pendidikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), salah satunya dana untuk pembelian buku.
Untuk melakukan pengadaan buku ini pemerintah pusat telah menetapkan ketentuan teknisnya. Salah satu di antaranya, pemerintah kabupaten/kota membentuk Tim Teknis. Tim ini yang berfungsi sebagai pelaksana untuk pengadaan buku di daerah, baik dalam memilih rekanan maupun dalam memilih buku-buku pengayaan yang sesuai untuk para siswa. Tim teknis dapat menentukan dan memilih buku yang telah memenuhi ketentuan kelayakan (ada 2400 judul buku yang dapat dipilih), selain memilih rekanan sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa.
Sekaitan dengan buku SBY ini dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, buku tentang SBY bukan merupakan buku pelajaran, melainkan buku pengayaan kepribadian. Buku yang dapat memberikan gambaran tentang pribadi seorang kepada pembacanya, karena buku pengayaan dapat pula dibaca oleh yang lain selain siswa. Salah satu kisah yang diungkapkan dalam buku itu tentang perhatian seorang presiden kepada rakyatnya. Tentu saja buku tersebut bukan dimaksudkan untuk mengultuskan SBY, melainkan mengungkapkan kepribadian seorang presiden yang dapat dicontoh pembacanya.
Kedua, marilah kita dukung program pemerintah dalam pengadaan buku perpustakaan sesuai ketentuan. Pengadaan buku SBY bukan “dijual dedet” kepada murid, melainkan buku yang dapat dipilih untuk dibeli dari DAK untuk sekolah-sekolah di kabupaten/kota. Kita tidak berharap, karena rongrongan politis program peningkatan sarana perpustakaan menjadi terhambat atau terhenti. Rencana pengadaan buku perpustakaan sekolah ini akan terus berlangsung hingga seluruh sekolah memiliki perpustakaan yang memenuhi syarat. Kita rindu para siswa memenuhi perpustakaan sepulang sekolah.
Ketiga, untuk menghindari objektivitas dalam pemilihan buku pengayaan, Tim Teknis dapat menentukan buku-buku yang cocok untuk peserta didik jenjang SD atau untuk SMP. Tidak ada ketentuan bahwa buku tentang SBY harus masuk ke dalam salah satu buku yang disediakan dari DAK. Tidak ada paksaan untuk itu. Tim Teknis dapat memilih 840 (untuk SD) atau 870 (untuk SMP) judul buku pengayaan, 20 judul buku referensi, 30 judul buku panduan pendidik yang masing-masing 2 eksemplar untuk setiap sekolah. Marilah kita dorong Tim Teknis untuk dapat menjalankan tugasnya secara objektif sesuai dengan ketentuan.
Keempat, dalam menghadapi era digital yang sangat membombardir kepribadian siswa marilah kita terus mengembangkan “minat baca” peserta didik. Marilah kita dorong para siswa untuk banyak membaca agar masyarakat literat yang sedang kita bangun akan lebih cepat terwujud. Kecenderungan belajar hanya melalui audio visual akan dapat membuat peserta didik malas dan tidak cermat dalam bertindak. Oleh karena itu, program pengadaan buku untuk perpustakaan sekolah harus kita dukung terus dengan tidak memunculkan prasangka yang dapat dipolitisasi oleh keleompok tertentu yang akibatnya akan merugikan sekolah dan pendidikan pada umumnya.

11 Februari, 2011

Guru Profesional dalam Pengembangan Karakter


Oleh: Suherli Kusmana

1. Pendahuluan
Dewasa ini jabatan guru mendapat perhatian serius dari profesi lain. Sejak Indonesia merdeka, memang baru sejak tahun 2005 pemerintah mulai memerhatikan nasib guru, melalui Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Guru merupakan jabatan profesional. Makna “profesional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain. Profesional mempunyai makna yang mengacu pada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya” (Surya, 2008).
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional, yaitu: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya; (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya; (4) mematuhi kode etik profesi; (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; (7) memiliki kesempatan untuk mengembnagkan profesinya secara berkelanjutan; dan (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Oleh karena itu, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sebagai guru profesional disyaratkan para guru wajib memiliki: (1) kualifikasi akademik Sarjana atau Diploma IV, (2) Kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, (3) sertifikat pendidik, (4) sehat jasmani dan rohani, (5) kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Dalam konteks reformasi bidang pendidikan, telah ditetapkan bahwa bidang pendidikan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sekaitan dengan program profesionalisasi guru, pembinaan profesi ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, sehingga profesi guru kerap menjadi perhatian bagi birokrasi lain karena selain jumlahnya sangat banyak, juga karena kesejahteraannya sedang dinaikkan. Bagi para perencana anggaran di tingkat kabupaten/kota profesi guru menjadi perhatian, terutama jika guru yang disertifikasi telah menjadi guru profesional, maka harus dianggarkan gajinya dua kali lipat dari sebelumnya. Bagi profesi lain, guru dipandang sebagai profesi yang sedang dimanja pemerintah. Kecenderungan calon mahasiswa baru untuk bidang pendidikan dan keguruan pun hampir di setiap perguruan tinggi keguruan mengalami peningkatan. Artinya profesi guru telah menjadi pusat perhatian pihak lain.
Profesi guru menjadi harapan banyak pihak dalam mengatasi perubahan di masyarakat saat ini. Banyak pihak yang merasa bahwa bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat dramatis, baik dalam kepemilikan karakter maupun budaya sebagai jati diri bangsa. Budimansyah (2009) menyatakan terjadi perubahan masyarakat terutama “munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi berubah menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, berbuat sadis, kejam, dan biadab”. Guru diharapkan mampu menanamkan kembali karakter bangsa yang sudah semakin berubah melalui pendidikan. Profesi guru menjadi harapan semua pihak, ketika perhatian pendidik informal sedang bergeser pada myopia politik sebagai sebuah lompatan.
Dalam aspek budaya pun, bangsa kita sudah mulai kehilangan nilai-nilai dan kecintaan pada seni tradisional. Tidak heran jika kemudian beberapa karya seni adiluhung di-HAKI-kan oleh bangsa lain. Padahal, seni budaya dapat mengajari kita tentang kejujuran dan rasa malu. Bangsa kita diajari oleh seni untuk jujur pada dirinya dan juga kepada orang lain. Bangsa kita harus diajari untuk memiliki rasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti memanipulasi data atau melakukan berbagai cara untuk menguntungkan kelompok atau golongannya. Untuk itu, diperlukan penanaman kembali rasa cinta pada seni dan budaya melalui pendidikan. Tentu saja, profesi guru pula yang menjadi harapan.
Demikian besar harapan pihak lain kepada profesi guru untuk mengembalikan dan memantapkan kembali karakter bangsa Indonesia. Dengan demikian, tentu saja guru harus menjadi contoh atau teladan terlebih dahulu bagi yang lain. Guru harus memantapkan kompetensi kepribadian sebagai seorang guru profesional. Sangat wajar jika guru secara otodidak mendidik diri untuk memantapkan karakter sebagai guru profesional.

2. Kebijakan Pendidikan
Apabila kita mencermati kembali fungsi pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari hal tersebut tergambar bahwa fungsi pendidikan tidak semata-mata mengembangkan kemampuan, namun juga dimaksudkan untuk membentuk watak dan peradaban suatu bangsa yang bermartabat. Pendidikan berfungsi sebagai pembentuk watak atau karakter bangsa yang bermartabat atau sebagai bangsa yang memiliki budaya.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi tata nilai dari suatu peradaban modern. Bangsa bermartabat adalah bangsa yang menjujung tinggi kebenaran, kejujuran, kesantunan, keramahtamahan, keberagaman, dan ketaatan pada aturan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan harus berfungsi membentuk bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan bangsa yang dapat hidup di dunia modern.
Sementara itu, tujuan pendidikan kita adalah “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan ini merupakan arah bagi semua penyelenggara dan pelaksana pendidikan dalam lingkup sistem pendidikan nasional. Manusia berahlak mulia adalah manusia yang memiliki ahlak atau perilaku yang baik dan terpuji sesuai dengan norma dan tata kehidupan masyarakat berbudaya. Dengan merujuk pada tujuan pendidikan ini, maka seorang guru profesional harus memiliki kemampuan untuk menciptakan kondisi agar potensi siswa berkembang menjadi manusia (1) beriman dan bertaqwa; (2) berahlak mulia; (3) sehat; (4) berilmu; (5) cakap; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) menjadi warga negara demokratis; dan (9) menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Salah satu kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional adalah “Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing”. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi permasalahan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau mungkin sebaliknya, disinsentif karena tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Untuk keperluan tersebut ditempuh program pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik, baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Pendidikan profesi bagi calon guru dilakukan bersamaan dengan penerimaan sebagai calon pegawai negeri sipil, sedangkan pendidikan profesi bagi yang sudah menjadi guru ditempuh bagi guru-guru yang belum memenuhi syarat profesional berdasarkan penilaian portofolio (rekam jejak kinerja) atau mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru dalam jabatan.
Kebijakan Kemdiknas dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing tersebut menyatakan bahwa standar profesi guru merupakan dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. Kinerja guru akan terus diukur berdasarkan standar profesi guru sehingga akan diperoleh guru yang layak mendapatkan insentif atau guru yang disintensif. Idealnya penentu profesionalisasi guru adalah lembaga atau organisasi profesi, namun karena untuk memenuhi ketentuan penjaminan mutu maka saat ini menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan profesi guru atau Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan yang telah memenuhi ketentuan.

3. Guru Profesional
Guru profesional adalah guru yang memiliki empat kompetensi profesi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Indikator keempat kompetensi ini berjumlah 24 kemampuan ideal seorang guru profesional. Kompetensi pedagogik terdapat 10 indikator; kompetensi kepribadian terdapat 5 indikator; kompetensi sosial terdiri atas 4 indikator; dan kompetensi profesional terdiri atas 5 indikator.

Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas-tugas pendidikan dan keguruan. Kompetensi ini terdiri atas:
1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4) Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran
10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran

Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi utama bagi seorang pendidik. Dalam mendidik, seorang guru harus menguasai karakteristik peserta didik sehingga proses pendidikan yang dilakukan tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Karakteristik peserta didik itu meliputi fisik, psikhis, soial, dan budaya tempat tinggal peserta didik. Kompetensi pedagogik merupakan komptensi karakter seorang guru.

Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi personal seorang guru. Kompetensi ini merupakan sosok kepribadian seorang guru yang berkarakter sebagai orang Indonesia serta pribadi yang ideal dari orang yang menjadi teladan di masyarakat. Guru merupakan pribadi yang dapat menjadi contoh bagi yang lain. Kompetensi kepribadian guru itu terdiri atas:
1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa
4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kompetensi guru dalam berhubungan dengan pihak lain. Dalam lingkungan masyarakat, biasanya guru menjadi contoh bagi profesi lain dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang baik. Kompetensi sosial ini terdiri atas:
1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berhubungan dengan bidang akademik. Kompetensi ini terdiri atas:
1) Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Keempat kompetensi profesi guru ini merupakan indikator bagi seorang guru profesional. Implementasi dari keempat komptensi ini dapat terwujud dalam aktivitas sehari-hari seorang guru, baik ketika ia sedang bertugas mendidik siswa dalam kelas maupun ketika ia berada di lingkungan masyarakat. Kompetensi profesi guru ini melekat dengan pribadi guru sehingga akan selalu merupakan karakter sebagai seorang pendidik yang berada di lingkungan masyarakat.

4. Pendidikan Berbasis Karakter
Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan instrumen untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa Indonesia, termasuk karakter seorang guru Indonesia. Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan guru berbasis pada pembangunan karakter bangsa. Tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara, baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
Pendidikan karakter lebih mengarah pada peningkatan kepribadian yang akan tertanam secara mendalam dalam diri. Pada masa orde lama pernah diungkapkan bahwa untuk mengatasi lunturnya idealisme bangsa diperlukan character building, yang disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Character building ini dilakukan melalui lembaga pendidikan melalui mata pelajaran khusus atau memasukkan konsep nation character pada setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter lebih mengedepankan kemampuan emosional dan spiritual yang dalam kompetensi profesi pendidik termasuk ke dalam kompetensi kepribadian.
Kebijakan dalam sistem pendidikan disusun dengan pandangan ideal tentang sesuatu hal. Kebijakan sertifikasi profesional guru sejatinya dimasudkan untuk meningkatkan kualitas pendidik. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kebijakan ini malah justru dikaburkan oleh pandangan sempit bahwa “sertifikasi guru merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan guru”. Dari hal ini, muncul kelompok-kelompok pragmatisme di kalangan para guru, dan menyisihkan kelompok idealisme. Pandangan idealisme dipojokkan pada sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan zaman, padahal kelompok idealime ini merupakan agen pembaharu di lingkungan komunitas guru.
Gagasan character building sebagai upaya menciptakan guru-guru ideal patut mendapat dukungan semua pihak. Apabila idealisme telah melekat pada pribadi guru, maka ia akan mampu memperbaiki fenomena masyarakat kita yang telah mulai meninggalkan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang menjadi pemikiran ideal seorang guru ketika ia merasa resah dengan fenomena masyarakat saat ini merupakan landasan bagi pengembangan character building. Pengembangan pendidikan budi pekerti ini seharusnya dibangun terlebih dahulu melalui sebuah kesadaran kolegial setiap guru bahwa ia harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Seorang guru ideal ia harus mampu mendidik dirinya (otodidak) untuk selalu menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Konsep kejujuran dan berahlak mulia yang ditanamkan kepada peserta didik, seharusnya telah terlebih dahulu tertanam dalam diri pendidik. Bagaimana jadinya, jika pendidik mengarahkan peserta didik untuk bertindak dan berkata jujur, sedangkan ia tidak memberi contoh untuk bertindak jujur? Guru harus menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam bertindak dan berkata jujur serta berahlak mulia.
Guru harus menjadi contoh bagi murid dalam mengelola qolbu. Oleh karena itu, ia harus melakukan self actualisation tentang pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Dalam mengaktualisasikan hal tersebut, guru akan membangun dirinya untuk memiliki pribadi yang tidak mudah marah, mampu mengontrol emosi, dan dapat memberikan pertimbangan secara komprehensif dalam pengambilan keputusan. Setiap tindakan dan perbuatan guru selalu dilakukan dengan mengontrol emosi secara objektif, sehingga pribadi guru menjadi berwibawa di hadapan murid dan masyarakat. Guru menjadi peribadi yang “digugu dan ditiru” oleh murid dan masyarakat.
Dalam hal melaksanakan tugas pokok sebagai pendidik guru selalu menunjukkan etos kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Seorang guru akan berusaha memantapkan dirinya untuk menjalankan profesi guru secara ikhlas dan tidak mengeluhkan tugasnya. Pada diri guru harus ditanamkan keyakinan bahwa pekerjaan guru merupakan pekerjaan mulia. Ketika di dunia beroleh imbalan dari pemerintah atau dari yayasan, dan mudah-mudahan di akhirat menjadi amal baik yang selalu mengalir jika ilmu yang diberikan kepada murid bermanfaat. Profesi guru harus menjadi profesi yang dapat dibanggakan karena keyakinan di atas. Oleh karena itu, setiap guru harus dapat membangun diri (self building) terutama dalam menunjukkan etos kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Sifat ini akan berhubungan dengan kebanggan dan kepercayaan diri menjadi seorang guru. Menjadi guru adalah pekerjaan mulia dan beribadah.
Seorang guru profesional akan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Ia tidak akan mudah tergoyahkan oleh kepentingan sesaat, karena profesi ini selalu dihayati dan dinikmati sebagai fitrah dari sang pencipta. Kode etik profesi guru merupakan pegangan dalam menjalankan profesi keguruan dan akan selalu tertanam dalam diri guru ideal. Oleh karena itu, pandangan yang meremehkan profesi guru atau menjatuhkan profesi guru akan mendapatkan reaksi dari pada guru yang telah memiliki karakter sebagai guru profesional.
Berdasarkan uraian ini, tampaknya pendidikan karakter bagi seorang guru merupakan pandangan ideal. Dalam mengimplementasikan hal ini dapat ditempuh melalui proses otodidak guru yang dilakukan dengan berintospeksi. Dalam suatu organisasi informal seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pun dapat dilakukan pendidikan dan latihan berbasis karakter untuk memantapkan kompetensi kepribadian seorang guru. Program yang sangat ideal ditempuh melalui program In House Training (IHT) bagi para guru yang dapat diselenggarakan melalui UPTD Peningkatan Profesi Pendidik atau melalui Badan Kepegawaian Daerah di tingkat kabupaten/kota. Melalui pendidikan karakter ini diharapkan para guru semakin mantap kepribadiannya dan ia dapat menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam memantapkan karakter bangsa Indonesia.

5. Simpulan
Perubahan masyarakat yang mendorong adanya perubahan karakter bangsa Indonesia merupakan kekhawatiran semua pihak. Profesi guru merupakan harapan satu-satunya untuk memperbaiki perubahan negatif tersebut. Namun demikian, profesi guru harus menjadi contoh dan teladan terlebih dahulu bagi masyarakat yang sedang mengalami degradasi. Guru harus merupakan profesi terdepan dalam mempertahankan kelompok idealisme daripada pragmatisme. Guru merupakan harapan semua pihak untuk mendidik dan mengarahkan masyarakat Indonesia untuk kembali ke jatidiri bangsa Indonesia yang memiliki karakter sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat.
Dalam mengemban tugas sebagai agen pembaharu, guru harus menjadi teladan bagi peserta didik maupun masyarakat. Guru dapat mengikuti atau menerapkan pendidikan dan pelatihan berbasis karakter. Guru seharusnya dapat membangun karakter diri sebagai pribadi yang diidamkan melalui proses pelatihan diri.
Pendidikan berbasis karakter dapat dilakukan dengan memantapkan kompetensi kepribadian guru. Pendidikan ini dapat dilakukan secara otodidak atau dilakukan secara terprogram sebagai bentuk penyegaran pada guru. Pendidikan karakter bagi guru merupakan upaya yang dapat ditempuh dalam rangka memersiapkan agen pembaharu untuk memperbaiki kepribadian bangsa yang sedang mengalami pergeseran dan perubahan. Profesi guru diharapkan mampu menjadi “pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan”. Amin.

Daftar Pustaka

Depdiknas (2003) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Dokumentasi Depdiknas.
Depdiknas (2005) Undang-undang Guru dan Dosen. Bandung: Adicita Karya Nusa.
Depdiknas (2007) Pedoman Penilaian Guru dalam Jabatan. Jakarta: Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Budimansyah, D. (2007). “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.
Raka, I.I.D.G. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Bandung: Majelis Guru Besar ITB.
Sukarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Supriadi, Dedi (1998) Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Bandung: Adicita Karya Nusa.
Surya, Mohamad. (2008). Guru Profesional: untuk Pendidikan Bermutu. Bandung: Geografi Edu.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.