Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

11 November, 2009

Membangun Budaya Literasi

Oleh: Suherli Kusmana


A. Pendahuluan
Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah masih merupakan isu yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Kemenarikan itu terutama ihwal ruang lingkup materi pokok yang harus dibelajarkan guru kepada peserta didik. Pembelajaran yang dilakukan guru dalam rangka menciptakan hasil dan dampak pendidikan yang berkualitas. Media dan sumber belajar yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar. Bentuk penilaian pembelajaran yang linier dengan aktivitas belajar siswa dan memiliki validitas tinggi. Bahkan, hingga isu utama berupa muara dari pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau madrasah.
Perubahan paradigma pembelajaran bahasa Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dalam permendiknas ini diungkapkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau madrasah diarahkan pada peningkatan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006). Perubahan ini merupakan salah satu realisasi dari Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai pencanangan mutu pendidikan yang secara lengkap tertuang dalam Rencana Strategik 2005-2025 berupa strategi ”Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing”.
Perubahan sebagaimana hal di atas berkonsekuensi pada perubahan berbagai strategi pendidik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendidik harus berubah dalam membantu peserta didik untuk berbahasa dan bersastra. Ia tidak sama seperti guru pelajaran lain yang mentransfer ilmu kepada peserta didik, melainkan melatih kemampuan berbahasa atau bersastra. Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bukan tentang ilmu bahasa atau ilmu sastra, melainkan peningkatan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan. Dengan demikian, pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini diarahkan pada upaya membangun budaya literasi.
Budaya literasi dalam Standar Isi ditunjukkan dengan materi pokok pembelajaran Bahasa Indonesia yang terbagi ke dalam empat standar kompetensi, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Selain itu, pada akhir pendidikan setiap tingkatan, peserta didik SD/MI dan SMP/MTs sekurang-kurangnya telah membaca 9 buku, sedangkan peserta didik SMA/MA sekurang-kurangnya telah membaca 15 buku sastra atau nonsastra. Ketentuan dalam standar ini merupakan target minimal dari pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah atau madrasah.
Dari hal ini, timbul pertanyaan besar setelah 3 tahun Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan diundangkan oleh pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan refleksi bagi kita semua. (1) Apakah para pendidik telah mengubah arah pembelajaran Bahasa Indonesia sebagaimana diharapkan? (2) Apakah pendidik sudah mengubah strategi pembelajaran dari aktivitas menerangkan dan siswa mendengarkan menjadi siswa melakukan (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis) dan pendidik mengarahkan? (3) Apakah pendidik telah mengembangkan budaya literasi?

B. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Banyak pihak yang masih mengkhawatirkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, siswa SMA di Amerika, Belanda, dan Prancis diwajibkan membaca 30 buku sastra. Demikian pula di negara-negara Asia, seperti di Jepang para siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra, di Brunai diwajibkan membaca 7 buku sastra, dan di Singapura diwajibkan membaca 6 buku sastra. Oleh karena punya keinginan untuk meningkatkan kemampuan membaca bagi para siswa di negara kita, maka dalam Standar Isi ditetapkan target jumlah bacaan sastra dan nonsastra yang harus dibaca. Namun, di dalam kenyataan hal ini masih diabaikan.
Kualitas pembelajaran yang dilakukan guru masih belum menyentuh permasalahan yang esensial. Penekanan standar kompetensi di dalam Standar Isi dengan hanya mengarahkan pada empat kompetensi berbahasa (Mendengarkan, Berbicara, Membaca, dan Menulis) masih belum dipahami pendidik. Kenyataan ini masih ditemukan ketika pendidik membelajarkan siswa untuk membaca dengan standar kompetensi “Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif” dengan kompetensi dasar “Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif”. Di dalam kelas guru menerangkan kedua jenis paragraf tersebut, baik melalui teknik ceramah maupun tanya jawab. Selanjutnya, siswa berlatih menuliskan kedua jenis paragraf tersebut. Sampai dengan akhir pembelajaran, siswa tidak dilatih membaca paragraf demi paragraf untuk menemukan perbedaan kedua paragraf tersebut.
Pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang diujian-negarakan. Penyusunan soal UN diselenggarakan oleh BSNP dan Puspendik Depdiknas dengan mengundang para guru terpilih untuk menyusun soal sesuai dengan SI dan SKL dengan arahan dari ahli. Setiap soal diseleksi sangat ketat dengan kajian dari berbagai pihak ini dimaksudkan agar soal valid dan reliabel. Oleh karena pertimbangan pembagian kewenangan, maka tidak seluruh kompetensi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di-UN-kan, karena harus memberi porsi untuk Ujian Sekolah dalam mengukur kompetensi mendengarkan dan berbicara. Soal UN lebih diarahkan untuk mengukur kompetensi membaca dan menulis. Namun kenyataannya, para pendidik pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK atau MA/MAK selalu saja dihantui ketakutan jika siswanya tidak dapat menjawab soal dengan baik. Tidak sedikit di antara mereka kemudian melakukan berbagai upaya “nakal” untuk menghilangkan ketakutan itu, bahkan “terorganisasi dengan rapi”.
Persoalan lain tentang kondisi sumber daya tenaga pendidik yang belum adaptif dan visioner. Pada beberapa sekolah, masih terdapat pendidik yang menggunakan teknik ceramah untuk membelajarkan siswa belajar berbahasa atau bersastra. Mereka beranggapan bahwa jika tidak menerangkan maka tidak termasuk mengajar. Padahal guru bahasa Indonesia bukan harus mengajarkan “bahasa atau sastra” tetapi membuat siswa belajar menggunakan bahasa atau sastra dalam konteks kehidupannya. Dari hal ini, diharapkan siswa memiliki pengalaman berharga dalam berbahasa di dunia nyata, bukan dunia sekolah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.” Dengan demikian, jika guru mengajari siswa berpidato dengan menerangkan pengertian pidato, jenis-jenis pidato, dan cara berpidato maka siswa hanya beroleh 20% saja dari materi yang diajarkan. Berbeda halnya jika membelajarakan mereka untuk mengalami berpidato, ia harus mampu mengungkapkan dan melakukan kegiatan berpidato sehingga perolehan materi akan mencapai 90% dari yang dibelajarkan guru.

C. Konsep Literasi
Dalam khazanah pembelajaran bahasa, literasi diartikan melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwancanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale & Sulzby, 1986; Cooper, 1993:6; Alwasilah, 2001). Pengertian literasi berdasarkan konteks penggunaanya dinyatakan Baynham (1995:9) bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. James Gee (1990) mengartikan literasi dari sudut pandang ideologis kewacanaan yang menyatakan bahwa literasi adalah “mastery of, or fluent control over, a secondary discourse.” Dalam memberikan pengertian demikian Gee menggunakan dasar pemikiran bahwa literasi merupakan suatu keterampilan yang dimiliki seseorang dari kegiatan berpikir, berbicara, membaca, dan menulis.
Stripling (1992) menyatakan bahwa “literacy means being able to understand new ideas well enaugh to use them when needed. Literacy means knowing how to learn”. Pengertian ini didasarkan pada konsep dasar literasi sebagai kemelekwacanaan sehingga ruang lingkup literasi itu berkisar pada segala upaya yang dilakukan dalam memahami dan menguasai informasi. Robinson (1983:6) menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis secara baik untuk berkompetisi ekonomis secara lengkap. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan keberhasilan seseorang dalam lingkungan masyarakat akademis, sehingga literasi merupakan piranti yang dimiliki untuk dapat meraup kesuksesan dalam lingkungan sosial. National Assesment of Educational Progress mengartikan literasi sebagai kemampuan performansi membaca dan menulis yang diperlukan sepanjang hayat (Winterowd, 1989: 5). Seorang ahli hukum memandang bahwa literasi merupakan kompetensi dalam memahami wacana, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis sehingga menampakan pribadi sebagai profesional berpendidikan yang tidak hanya menerapkan untuk selama kegiatan belajar melainkan menerapkannya secara baik untuk selamanya (White, 1985: 46).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa literasi adalah (1) kemampuan baca-tulis atau kemelekwacanaan; (2) kemampuan mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, menulis dan berpikir; (3) kemampuan siap untuk digunakan dalam menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya; (4) piranti kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam lingkungan akademik atau sosial; (5) kemampuan performansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan; (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami wacana secara profesional.
Dari konsep literasi tersebut di negara-negara lain telah dikembangkan pembelajaran model literasi, misalnya (1) ESL (English as a Second Language) Literacy Model (Ranard dan Pfleger, 1993); (2) Ocotillo Information Literacy Competencies Model (Evans, 1994); (3) Model Literasi Developing an Instructional. (Davis, 1996); (4) Mediation for Dynamic Literacy Instruction Model (Dixon-Krauss, 2000); (5) The Information Literacy Model (Sigmon, 2000); dan (6) Model Construct Meaning (Cooper, 1993). Model-model tersebut telah berhasil meningkatkan kemampuan siswa untuk keperluan hidup di lingkungan masyarakat literat, baik yang bersifat akademik maupun kegiatan sosial lainnya.

D. Membangun Budaya Literasi
Dari kenyataan yang kita saksikan tentang pembelajaran bahasa Indonesia di atas, maka arah pembelajaran harus diubah. Pembelajaran bahasa Indonesia yang diarahkan pada upaya membangun budaya literasi terutama pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas peserta didik menggunakan bahan ajar dalam berkehidupan. Peserta didik belajar berbahasa atau bersastra untuk dunia nyata, bukan dunia sekolah. Di Yanni (1995:40) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis literasi dilakukan dengan mengembangkan gagasan atau ide melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan pada waktu menulis, kemudian mengembangkannya melalui keterhubungan antar-ide dan kontroversi dari setiap ide. Pembelajaran berbasis budaya literasi dalam dunia pendidikan memiliki keunggulan karena model literasi bukan hanya dimaksudkan agar siswa memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari wacana melainkan kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektual (White, 1985:56).
Pembelajaran berbasis budaya literasi akan mengondisikan peserta didik untuk menjadi seorang literat. Peningkatan kemampuan literasi dalam belajar sejalan dengan tujuan pendidikan, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Pemerolehan tujuan ini dapat dilakukan siswa jika mereka telah menjadi sosok literat. Para siswa memiliki bekal literasi dalam dirinya sehingga mampu melengkapi diri dengan kemampuan yang diharapkan.
Proses pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra dilaksanakan dengan cara mengembangkan kemampuan kognitif, analisis, sintesis, evaluasi, dan kreasi melalui suatu kajian langsung terhadap kondisi sosial dengan menggunakan kemampuan berpikir cermat dan kritis. Proses pemahaman peserta didik terhadap fenomena sosial dengan pengenalan secara langsung akan lebih memudahkan bagi pembelajar dalam mengembangkan kompetensinya. Peserta didik harus terbiasa dengan membaca berbagai informasi dan mengakses informasi dari media elektronis maupun media tertulis. Selain itu, ia perlu mengikuti perkembangan peradaban yang sedang terjadi secara faktual. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kompetensi berbahasa dan bersastra berbasis literasi perlu didukung oleh ketersediaan fasilitas dalam membangun insan literat.
Aktivitas pendidik dalam kelas ketika melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis literasi lebih ringan, yaitu (1) mengarahkan aktivitas peserta didik; (2) memilih dan menyiapkan bahan pembelajaran; (3) memerika hasil kerja peserta didik; (4) mengarahkan sistem berkomunikasi keilmuan; (5) berkoordinasi dalam menyiapkan latar kelas untuk kegiatan literasi.

E. Simpulan
Pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tertuang di dalam Standar Isi sudah sejalan dengan konsep literasi. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah diarahkan pada upaya membangun budaya literasi. Oleh karena itu, para pendidik seharusnya memahami konsep literasi secara mantap agar menggeser kebiasaan dari mengajar menjadi membelajarkan siswa berbahasa atau bersastra.
Berbagai upaya perlu dilakukan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia dengan memerhatikan esensi dari “belajar” berbahasa atau bersastra Indonesia. Siswa belajar bahasa Indonesia itu meliputi keseluruhan kompetensi berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis bukan hanya mendengarkan tentang bahasa atau tentang sastra. Mudah-mudahan upaya-upaya kecil sekalipun merupakan sesuatu yang akan menjadi besar. Semoga.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar (2001) Membangun Kota Berbudaya Literat. Media Indonesia. Jakarta, Sabtu 6 Januari 2001.

Baynham, Mike. (1995) Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman.

Cooper, J.D. (1993) Literacy: Helping Children Construct Meaning. Boston Toronto: Hougton Miffin Company.

Costa, A. L. (1985) Development Mind Research Book for Teaching Thinking. Alexandria Firginia: The Association for Supervision and Curriculum Development.

Davis, Phil (1996) Information Literacy: From Theory and Research to Developing an Instructional Model. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/literacy/.html. [4 Februari 2001].

Dixon-Krauss, Lisbeth (2000) A. Mediation Model for Dynamic Literacy Instruction. Tersedia: http/www.psych.hanover.edu/vygotsky/ Kraus.html. [17 Desember 2000].

Di Yanni, Robert dan Pat C. Hoy (1995) The Scriber Handbook for Writing. Boston: Allya & Bacon.

Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. (1974) The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Evans, Linda (1994). Information Literacy. Ocotillo Report ’94. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/ literacy/ assembly.html. [4 Februari 2001].

Goleman, Daniel (1997) Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Joyce, Bruce dan Marsha Weil. (1986) Models of Teaching. Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs.

Ranard, A. Donald dan Margo Pfleger (1993). Language and Literacy Education for Southeast Asian Refugees. Dalam Eric Digest [On Line] Vol. EDO-LE-93-06, September 1993; 5 halaman. Tersedia: http://edu.NCLE-CAL/html [02 Februari 2001].

Silberman, Mel (1996) Active Learning. 101 Strategies Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon.

09 Oktober, 2009

Bagaimana Mengevaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia?

Oleh Suherli Kusmana

1. Pendahuluan
Salah satu kegiatan evaluasi dalam pendidikan adalah evaluasi pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan seorang guru paling tidak untuk mengetahui (1) keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan; (2) kemampuan dan daya serap peserta didik terhadap materi yang telah dibelajarkan; dan (3) informasi yang sangat berharga sebagai balikan (feedback) bagi guru dalam memperbaiki kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Untuk dapat melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan benar, terlebih dahulu guru harus memahami terminologi evaluasi, pengukuran, dan penilaian. Pengukuran (measurement) adalah kegiatan membandingkan sesuatu dengan suatu formula atau skala tertentu yang sesuai dan bersifat kuantitatif. Skala yang digunakan dari suatu pengukuran adalah nominal, ordinal, interval, atau rasio.
Penilaian (grading) adalah suatu proses pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari suatu pengukuran dan bersifat kualitatif (Alderson, 1992). Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penilaian adalah penafsiran skor dari suatu pengukuran untuk memutuskan sesuatu.
Sementara itu, evaluasi pembelajaran adalah kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian dalam suatu proses pendidikan yang melingkupi komponen input, proses, maupun output pendidikan (Hughes, 1989; Alderson,1992). Evaluasi dalam khasanah pendidikan di Indonesia menjadi identik dengan penilaian dan sering disebut juga dengan asesmen (assessment) yang berarti pengambilan keputusan berdasarkan pada suatu kegiatan pengukuran terlebih dahulu.
Keberhasilan pembelajaran merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari suatu upaya guru dalam berusaha membelajarkan peserta didik, sedangkan peserta didik berupaya menguasai kompetensi yang telah dibelajarkan. Upaya pendidik dan peserta didik ini akan diketahui dari kondisi keberhasilan pembelajaran, sehingga akan diperoleh informasi seberapa efektif dan efisien kegiatan pembelajaran telah dilakukan bersama antara pendidik dengan peserta didik.
Kemampuan dan daya serap peserta didik merupakan suatu kondisi yang dimiliki peserta didik dalam menguasai seperangkat materi atau seperangkat kompetensi yang dengan sengaja dibelajarkan. Kondisi ini dapat diketahui dari evaluasi terhadap upaya pembelajaran yang sedang atau telah dilakukan guru. Evaluasi yang dianjurkan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2006 tentang Standar Isi adalah penilaian otentik (authentic asessment).
Dari suatu evaluasi pembelajaran akan diperoleh informasi yang sangat berharga, sebagai balikan (feedback) atau backwash dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru. Dari data hasil penilaian akan diperoleh informasi bagian materi atau kompetensi yang pada umumnya belum dikuasai oleh peserta didik. Dari data yang ada juga dapat diketahui informasi tentang kehandalan metode, teknik atau media yang digunakan dalam pembelajaran. Apabila data-data tersebut diberi makna oleh guru maka akan dapat memperbaiki kegiatan pembelajaran yang akan dilakukannya. Selain itu, informasi ini berarti pula bagi peserta didik dalam merespon kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Namun, kondisi di atas seringkali dipandang bahwa dari suatu evaluasi pembelajaran hanya akan memperoleh informasi tentang nilai. Dari itu, kemudian peserta didik tercipta dalam suatu fenomena yang tidak akademis. Peserta didik akan memandang bahwa nilai sebagai sesuatu yang sangat penting. Pada saat Ujian Nasional pun akhirnya tercipta suatu fenomena yang mengerikan, terjalin kerjasama yang kurang sehat antara guru dengan peserta didik agar nilai UN-nya lebih baik. Ketakutan yang sangat “serius” ini terjadi karena evaluasi hanya dipandang dari satu aspek, hanya nilai. Marilah kita ubah citra evaluasi pembelajaran hanya untuk nilai dengan menerapkan inovasi dalam mengevaluasi kompetensi peserta didik.
Penilaian otentik adalah proses asesmen yang melibatkan beberapa bentuk pengukuran kinerja yang mencerminkan belajar siswa, prestasi, motivasi, dan sikap yang sesuai dengan materi pembelajaran (Suurtamm, 2004: 497-513). Penilaian otentik mengukur kemampuan siswa secara akurat tentang kondisi seseorang yang telah belajar, sehingga metode atau teknik evaluasi harus mampu memeriksa perkembangan kemampuannya. Penilaian otentik harus dapat menyajikan tantangan dunia nyata sehingga peserta didik dituntut menggunakan kompetensi dan pengetahuan yang relevan.
Penilaian otentik dilakukan oleh guru dalam bentuk penilaian kelas. Penilaian ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa pada kompetensi yang ditetapkan. Penilaian ini bersifat internal dan merupakan bagian dari pembelajaran. Penilaian otentik juga sebagai bahan untuk peningkatan mutu hasil belajar. Penilaian ini dilakukan dengan berorientasi pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar, dan dilakukan melalui berbagai cara. Penilaian otentik dapat dilakukan melalui penilaian kinerja (hasil karya), portofolio (kumpulan kerja siswa), penugasan (projek), performansi (unjuk kerja), dan penilaian diri.

2. Teknik Evaluasi Pembelajaran
Teknik evaluasi yang digunakan dalam pendidikan terdiri atas teknik tes dan teknik nontes. Pada umumnya teknik nontes yang dapat digunakan dalam evaluasi pendidikan adalah wawancara (interview), pengamatan (observasi), skala bertingkat (rating scale), daftar cocok (checklist), kuisoner (kuis), riwayat hidup, dan penilaian otentik (autenthic assessment). Teknik tes dapat berbentuk lisan maupun tulisan, bergantung pada respon (jawaban) yang diberikan oleh peserta didik. Jika peserta didik memberikan jawaban secara tertulis sekalipun tes (soal) disampaikan dengan lisan (dikte), tes tersebut termasuk ke dalam bentuk tes tulisan.
Dalam evaluasi pembelajaran dikenal jenis tes objektif dan subjektif. Jenis tes objektif yang digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif, jenjang Pengetahuan (K1), Pemahaman (2), Penerapan (K3), Analisis (K4), Hipotesis (K5), dan Evaluasi (K6), sedangkan soal-soal subjektif hanya digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif tingkat tinggi, yaitu jenjang analisis (K4), hipotesis (K5), evaluasi (K6), dan kreasi (K7) dalam Taksonomi Bloom (Bloom, 1997). Adapun jenis-jenis tes tersebut adalah sebagai berikut.
a. Soal-soal Memilih
1) Pilihan Dua Alternatif
(a) Benar-Salah (B-S)
(b) Benar-Salah Beralasan (BSB)
2) Pilihan Ganda (memilih satu jawaban yang benar)
(a) Pilihan Ganda Biasa (PGB)
(b) Pilihan Ganda Kompleks (PGK)
(c) Pilihan Ganda Analisis Kasus (PGAK)
(d) Pilihan Ganda Sebab-Akibat (PGSA)
3) Menjodohkan (menggabungkan pernyataan bagian kiri dengan kanan)

b. Soal-soal Melengkapi
1) Isian Singkat (mengisi dalam bentuk kata/frasa)
2) Isian Panjang (mengisi dalam bentuk pernyataan singkat/klausa)
3) Isian Klosur (merumpang bagian tertentu agar dilengkapi)

c. Jawaban Singkat (jawaban diungkapkan singkat dalam bentuk kata/frasa)
d. Jawaban Terbatas (jawaban dibatasi oleh lingkup materi)

Teknik-teknik evaluasi sebagaimana di atas seringkali memiliki kelemahan, sekalipun teknik ini dapat mengukur indikator dan prediktor performa akademis. Para penyusun tes cenderung mengukur tentang hal-hal yang harus dikuasai bukan sesuatu yang telah dikuasai siswa. Penyusunan soal cenderung bukan tentang masalah nyata, tetapi sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan guru dalam menggunakan teknik tes tertulis agar dapat meminimalisasi kelemahan-kelemahan tersebut.
Beberapa teknik nontes yang dapat dipilih guru untuk mengases kemampuan siswa secara aktual adalah penilaian otentik. Berikut ini akan dibahas penilaian portofolio (kumpulan kerja siswa), penugasan (projek), dan performansi (unjuk kerja).

2.1 Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio adalah kegiatan mengases kemampuan siswa dalam mengumpulkan hasil kerja, pemikiran, minat, upaya, dan harapan siswa yang berhubungan dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Portofolio atau kumpulan kerja siswa dapat membantu siswa dalam mengimplementasikan pengetahuan dan pemahamannya dalam suatu kegiatan nyata. Kumpulan kerja ini dapat mengingatkan siswa tentang perkembangan dirinya.
Penilaian portofolio sangat bermanfaat karena penilaian jenis ini (1) merupakan bukti otentik dari kemampuan siswa; (2) menggambarkan kemampuan siswa secara utuh; (3) menggambarkan pengalaman siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran; (4) kumpulan hasil pekerjaan siswa dalam belajar yang telah dikelompokkan; (5) menakar kemampuan secara mandiri; (6) merupakan bentuk kerja sama antara guru dengan siswa.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menerapkan asesmen portofolio adalah:
1) Pengumpulan
Siswa mengumpulkan hasil kerja sebagai bukti pertumbuhan dan kemajuan belajarnya. Pengumpulan koleksi ini disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau standar kompetensi yang dikembangkan. Tentu saja tidak semua standar kompetensi dapat diases melalui portofolio, oleh karena itu perlu kejelasan kompetensi yang dikembangkan siswa secara mandiri.

2) Pengorganisasian
Siswa mengorganisasikan berbagai hasil kerja mereka berdasarkan pengelompokan standar kompetensi yang dikembangkan atau berdasarkan aspek-aspek yang perlu dinilai atau diketahui dari siswa sebagai hasil kerja siswa. Pengelompokan ini dapat membantu guru dalam menentukan penilaian terhadap kinerja siswa.

3) Merefleksi
Siswa melakukan refleksi terhadap bahan-bahan yang telah dikoleksi, dikumpulkan, dan dikelompokan. Siswa harus mempu menjawab manfaat dari pengumpulan portofolio itu bagi pengembangan kompetensi dirinya. Siswa juga harus dapat memberikan penilaian pada kualitas karya yang telah dikumpulkan, sehingga mengetahui kekuatan dan kelemahan serta bagaimana seharusnya memperbaiki karya tersebut.

4) Mempresentasikan
Siswa memajangkan atau menyajikan hasil kerjanya agar diketahui yang lain. Pemajangan dilakukan di tempat-tempat yang sudah disediakan. Pemajangan juga dapat dilakukan melalui display artefak, baik dalam bentuk folder dinamis maupun dalam bentuk gabungan karya.

2.2 Penilaian Projek
Penilaian projek merupakan bentuk asesmen yang menugaskan siswa untuk menyelesaikan suatu kegiatan dalam kurun waktu tertentu. Tugas tersebut dapat berupa investigasi, pengumpulan data, kemampuan menilai sesuatu atau kegiatan tertentu, atau kemampuan mengorganisasikan. Penilaian projek dapat dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa, baik individu maupun kelompok dalam melakukan dan memberikan pengalaman pada suatu topik atau kompetensi tertentu melalui aktivitas berbahasa atau bersastra.
Penilaian projek atau penugasan dapat difokuskan pada dua bagian, yaitu aktivitas siswa selama proses berlangsung dan pada hasil akhir dari kegiatan tersebut. Aspek yang diases dari bagian proses adalah (1) kegiatan perencanaan dan pengelolaan; (2) kerjasama dalam kelompok; (3) kegiatan mandiri; dan (4) kemampuan memecahkan masalah.
Sementara itu, aspek yang diases jika penilaian projek memfokuskan pada bagian hasil akhir adalah (1) kemampuan mengumpulkan data atau materi yang ditugaskan; (2) kemampuan menafsirkan dan mengevaluasi data atau materi; dan (3) kemampuan menyajikan atau mendisplay hasil pengumpulan data dan penafsirannya. Dalam menentukan kualitas kegiatan yang dilakukan, baik pada proses maupun pada hasil akhir siswa dapat mengases secara mandiri. Hasil asesmen siswa ini kemudian divalidasi oleh guru ketika mengases.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penilaian projek ini adalah:
(1) Guru menetapkan kompetensi dasar yang perlu diases melalui penilaian projek;
(2) Guru menetapkan projek yang harus dikerjakan siswa secara mandiri dan yang harus dikerjakan secara berkelompok;
(3) Guru menentukan kompetensi dasar yang harus diases selama kegiatan berlangsung (proses) atau diases hanya pada hasil akhir;
(4) Siswa merencanakan dan melakukan kegiatan projek selama kurun waktu yang ditentukan. Sewaktu-waktu guru dapat mengecek projek yang dikerjakan oleh siswa sebagai bentuk monitoring dan evaluasi.
(5) Selama atau setelah kegiatan projek dikerjakan, guru mengajak siswa untuk menakar diri (mengases secara mandiri) proses atau hasil akhir (produk) yang dikerjakan.
(6) Guru memvalidasi atau menilai ulang proses atau produk dari kegiatan yang dilakukan siswa. Nilai guru merupakan pembanding dari asesmen mandiri yang dilakukan siswa.

2.3 Penilaian Performansi
Penilaian performansi merupakan asesmen yang menuntut siswa untuk melakukan unjuk kerja atau perbuatan. Penilaian jenis ini mengukur kemampuan siswa berbahasa atau bersastra, baik secara lisan maupun tulisan sesuai dengan konteks berkomunikasi. Penilaian performansi dapat dilakukan guru, baik pada saat atau setelah kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Dalam melaksanakan penilaian performansi, guru dapat menggunakan format atau pedoman penilaian dalam bentuk pengamatan (observasi), skala bertingkat (rating scale), daftar cocok (checklist), atau format isian yang terbagi atas kategori prilaku. Untuk mendapatkan data kuantitatif dari penilaian performansi ini maka setiap kualitas kategori dapat diberi skor yang sesuai.
Penilaian performansi digunakan untuk mengukur kompetensi yang menuntut siswa berpikir tingkat tinggi. Performansi yang dinilai harus bermakna bagi siswa dalam kehidupannya. Performansi yang dinilai berdasarkan suatu kriteria dari indikator kompetensi yang dikukur dan harus diberitahukan kepada siswa. Oleh karena itu, siswa dapat melatih diri untuk mewujudkan indikator yang telah disampaikan dan dapat pula menilai diri berdasarkan kriteria yang sudah diketahuinya.
Penilaian performansi dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa secara nyata. Guru dapat memilih dan memilah kompetensi dasar yang dapat diases dengan menggunakan jenis penilaian performansi. Terdapat beberapa kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dari siswa yang hanya dapat diases melalui kegiatan nyata sehingga guru dapat merancang penilaian jenis ini sejak awal berdasarkan analisis terhadap komptensi dasar tersebut.
Langkah-langkah yang ditempuh guru dalam melaksanakan penilaian performansi ini adalah:
(1) Mengidentifikasi aspek-aspek penting dari kompetensi yang harus dinilai;
(2) Menyusun kriteria sebagai deskriptor dari kemampuan yang diukur;
(3) Mengurutkan kemampuan yang akan diukur berdasarkan aspek-aspek yang penentu kemampuan tersebut;
(4) Menentukan kualitas setiap kriteria dari aspek yang diamati.

3. Prinsip Dasar Evaluasi Pembelajaran
Prinsip dasar evaluasi dalam pendidikan adalah (1) berorientasi pada tujuan; (2) berkesinambungan; (3) menyeluruh; (4) berimbang; (5) terencana; (6) adil; (7) objektif; dan (8) memenuhi kriteria validitas, reliabilitas, dan praktibilitas.
Prinsip berorientasi pada tujuan berarti bahwa guru harus memahami tujuan pembelajaran. Tujuan pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar siswa memiliki kemampuan berikut.
1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara
3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan
4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Prinsip berkesinambungan berarti bahwa asesmen tidak hanya dilakukan satu kali saja, melainkan dilakukan secara berkesinambungan dengan memanfaatkan berbagai jenis evaluasi. Oleh karena itu, evaluasi bukan merupakan bagian terpisah dari pembelajaran, melainkan suatu kesatuan. Dengan demikian, evaluasi dapat dilakukan secara berkesinambungan. Guru melakukan evaluasi pada setiap satu satuan pelajaran. Dengan demikian, evaluasi bukan hanya Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).
Prinsip menyeluruh berarti bahwa bahan asesmen meliputi seluruh bagian bahan ajar yang dibelajarkan. Apabila bahan ajar itu banyak, misalnya meliputi bahan satu semester atau satu tahun maka dilakukan keterwakilan bahan tersebut untuk dievaluasi melalui penyusunan kisi-kisi.
Prinsip berimbang berarti bahwa bahan asesmen itu harus berimbang antara bahan yang satu dengan yang lain. Berimbang antara kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis baik bidang bahasa maupun sastra. Berimbang antara asesmen yang sulit dengan yang mudah.
Prinsip terencana berarti bahwa kegiatan asesmen harus direncanakan. Perencanaan itu meliputi (1) perumusan tujuan evaluasi; (2) penentuan aspek-aspek yang akan diukur; (3) penentuan teknik dan waktu pelaksanaan evaluasi; (4) penguji-cobaan instrumen evaluasi. Asesmen harus direncanakan tidak dilakukan secara tiba-tiba atau serta merta.
Prinsip adil dan objektif berarti bahwa asesmen yang dilakukan guru harus berlaku secara umum, tidak ada pengecualian kedalaman materi yang diukur. Objektif berarti bahwa proses dan hasil asesmen diolah secara objektif berdasarkan suatu kriteria pengolahan skor. Hasil pengukuran biasanya berupa skor, sehingga untuk menentukan nilai harus diolah dengan kriteria Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Penilaian Acuan Norma (PAN).


4. Pengembangan Instrumen Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran berorientasi pada kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Apabila kita cermati, ruang lingkup materi pelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Standar Isi terdiri atas standar kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, pengembangan instrumen evaluasi pembelajaran didasarkan pada keempat kompetensi tersebut.

4.1 Standar Kompetensi Menyimak
Kompetensi menyimak dalam pelajaran Bahasa Indonesia diases melalui instrumen yang dapat mengukur kemampuan siswa mendengarkan tuturan lisan, baik disampaikan melalui tuturan langsung maupun dalam bentuk rekaman. Kemampuan yang diukur di antaranya kemampuan menemukan suatu hal dari tuturan lisan yang didengarkan.
Kemampuan lain yang diukur, misalnya kemampuan siswa menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan tuturan lisan yang didengarkan. Dengan demikian, asesmen kompetensi menyimak harus melibatkan siswa menggunakan indra pendengaran, kemudian dapat diukur melalui kemampuan lisan (menjawab) atau tulisan (menuliskan) sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan siswa dalam mendengarkan. Oleh karena itu, asesmen kompetensi menyimak diarahkan pada aktivitas nyata dalam menyimak atau mendengarkan tuturan lisan.

4.2 Standar Kompetensi Berbicara
Kompetensi berbicara diases melalui instrumen yang dapat mengukur kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa secara lisan. Kemampuan yang ingin diketahui dari kompetensi ini adalah kemampuan siswa mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan berbicara. Dalam mengases kemampuan berbicara, seorang guru dapat mengetahui kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa, misalnya pilihan kata (diksi), kalimat efektif, kalimat yang jelas, bahasa yang santun, bahasa yang baik dan benar, bahasa yang lugas, etika berwawancara, dan prinsip diskusi.
Kemampuan lain dalam berbicara yang diases di antaranya kemampuan menggunakan artikulasi yang tepat, intonasi yang jelas, menggunakan gerak-gerik dan mimik sesuai dengan watak tokoh, dan lafal, dan ekspresi yang tepat. Dengan demikian asesmen kompetensi berbicara dimaksudkan mengukur kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa dan parabahasa dalam berkomunikasi.

4.3 Standar Kompetensi Membaca
Kompetensi membaca diases melalui instrumen yang dapat mengukur kemampuan siswa dalam memahami berbagai ragam teks (bacaan) tertulis yang diungkapkan melalui lisan atau tulisan. Kemampuan yang diukur itu meliputi kemampuan siswa dalam memahami, mengidentifikasi, menganalisis, menemukan, menyimpulkan, membedakan, dan sebagainya dari bacaan yang dibaca baik berupa teks nonfiksi maupun fiksi. Kemampuan membaca yang diukur adalah membaca cepat, membaca dalam hati, membaca ekstensif, membaca intensif, dan membaca nyaring, membaca memindai, membaca indah, dan sebagainya.
Selain itu, mengukur pula kemampuan siswa dalam membaca dan membacakan teks dengan intonasi yang tepat serta artikulasi dan volume suara yang jelas. Kemampuan siswa yang diukur dalam bidang kebahasaan adalah pemahaman terhadap bentuk-bentuk kata serta penguasaan terhadap makna kata. Dalam hal membacakan puisi, kemampuan yang diukur itu selain lafal, nada, tekanan, dan intonasi yang tepat, juga diukur kemampuan memahami, menganalisis, menemukan, dan sebagainya dari puisi yang dibacakan. Berdasarkan hal ini, maka kemampuan yang diukur itu kemampuan merefleksikan bacaan, baik untuk kepentingan dirinya maupun orang lain berdasarkan suatu teks yang dibaca.


4.4 Standar Kompetensi Menulis
Kompetensi menulis diases melalui instrumen yang dapat mengukur kemampuan siswa dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan secara tertulis. Dalam mengases kemampuan menulis, seorang guru dapat mengetahui kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa, misalnya menuliskan pilihan kata (diksi), kalimat efektif, kalimat bervariasi, kalimat langsung dan tak langsung, bahasa yang baku, bahasa yang baik dan benar, bahasa yang efektif, bahasa yang singkat, padat, jelas, bahasa yang santun dan sebagainya.
Selain itu, kemampuan yang diukur dari siswa adalah kemampuan memahami bacaan dan bentuk-bentuk sastra yang diungkapkan secara tertulis. Ungkapan tertulis ini dapat dilakukan siswa jika memahami bentuk-bentuk paragraf naratif, ekspositif, argumentatif, deskriptif, persuasif, surat dinas, karya tulis ilmiah, teks pidato, puisi, pantun, cerpen, resensi, dan sebagainya. Pemahaman terhadap bentuk bacaan itu serta penguasaan unsur bahasa dapat berwujud kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan secara tertulis. Dengan demikian, dalam mengukur kemampuan menulis perlu mencermati aspek-aspek tersebut.

5. Penetapan Kriteria dan Tindak Lanjut Penilaian
Sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor 22/2006 tentang Standar Isi maka setiap sekolah harus mengembangkan Kurikulum Sekolah. Dalam mengembangkan kurikulum ini sekolah mengikutsertakan semua guru dan komite sekolah. Salah satu pengembangan kurikulum tersebut, sekolah harus menentapkan Kriteria Ketuntansan Minimal (KKM). Penetapan KKM ini akan menjadi standar patokan bagi guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran.
Penetapan KKM dilakukan untuk setiap mata pelajaran. Berdasarakan ketentuan, KKM merupakan ketuntasan belajar ideal. Oleh karena itu, penetapan dilakukan dengan memberi skor setiap indikator antara 0-100% dengan batas kriteria ideal minimal penguasaan sebesar 75%. Namun demikian, sekolah dapat menentukan KKM khusus di sekolah tersebut berdasarkan (1) kemampuan rata-rata peserta didik, (2) kompleksitas materi; dan (3) SDM tenaga pendidik.
Sekolah dapat menetapkan KKM di bawah batas kriteria ideal (di bawah 75%), tetapi secara bertahap harus dapat mencapai kriteria ketuntasan ideal. Tahap-tahap ini direncanakan dalam bentuk rencana strategis di sekolah tersebut.
Berdasarkan ketentuan dalam Standar Isi, maka KKM digunakan sebagai bahan saringan penguasaan siswa pada komptensi dasar yang dibelajarkan. Tindak lanjut dari suatu pengukuran ini, seorang guru harus mengambil keputusan sebagai suatu rangkaian asesmen. Keputusan yang dimaksud adalah menetapkan siswa mencapai KKM atau belum.
Apabila siswa telah mencapai KKM maka ditindaklanjuti dengan “program pengayaan”, sedangkan jika siswa belum mencapai KKM maka ia harus mengikuti “program remedial”. Kedua program tidnaklanjut ini masih sangat jarang dilakukan guru. Remedial biasanya hanya tes ulang, padahal seharusnya remedial dilakukan pembelajaran ulang, khususnya pada penguasaan materi yang dianggap masih kurang. Demikian pula dengan program pengayaan, biasanya pengayaan hanya dilakukan guru kepada siswa kelas IX (untuk SMP/MTs) atau XII (SMA/SMK atau MA/MAK) yang akan menghadapi Ujian Nasional.
Program remedial dilakukan kepada siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan belajar. Remedial dapat dilaksanakan setiap saat, baik pada jam efektif maupun di luar jam efektif. Penilaian kegiatan remedial dapat dilakukan dengan teknik tes maupun teknik nontes.
Program pengayaan dilakukan terhadap siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar (KKM). Pengayaan dapat berbentuk tugas-tugas individual yang bertujuan untuk mengoptimalkan pencapaian hasil belajar siswa. Kegiatan pengayaan dapat dilaksanakan setiap saat, baik pada jam efektif maupun di luar jam efektif. Hasil penilaian kegiatan pengayaan dapat menambah nilai siswa pada mata pelajaran yang bersangkutan.
Demikianlah sepintas hal-hal yang harus dilakukan oleh guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran dan tindaklanjut dari kegiatan tersebut. Berbagai pemikiran positif tentang upaya meningkatkan kualitas penilaian pembelajaran merupakan salah satu kinerja seorang guru profesional.


Daftar Pustaka

Adam, 1984. Measurement and Evaluation in Education, Psychology, and Guidance. New Delhi: Cambridge University Press.
Alderson, J. Charles. 1992. The Nature of Evaluating. New York; Cambridge University Press.
Arikunto, Suharsimi.1984. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara
Bloom, Benjamin S. 1997. Taxonomy of Educational Objectives. London: Longman Publishing.
Hughes, Arthur. 1989. Testing for Language Teacher. New York: Cambridge University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarya: BPPE
Suurtamm, Christine "Developing Authentic Assessment: Case Studies of Secondary School Mathematics Teacher's Experiences." Canadian Journal of Science, Mathematics & Technology Education. 4.4 (2004): 497-513.

21 Agustus, 2009

KTI sebagai Komunikasi Keilmuan

Oleh: Suherli Kusmana
Setiap manusia memiliki kemampuan untuk berkarya. Manusia memiliki potensi fisik untuk melakukan kemampuan tersebut. Separuh kemampuan itu berupa kemampuan memahami dan menyimpan data, sedangkan separuh lainnya adalah kemampuan mengolah dan menghasilkan data. Kemampuan menghasilkan data ini erat kaitannya dengan berkarya.
Selain kemampuan berkarya, manusia juga memiliki kemampuan berkomunikasi. Kegiatan berkomunikasi dapat dilakukan secara lisan dan tulisan. Berkomunikasi yang dilakukan secara lisan akan terbatas oleh ruang dan waktu. Pada saat seseorang sedang berkomunikasi secara lisan maka komunikasi tersebut hanya berlaku bagi orang yang berada dalam satu ruangan dan dapat mendengar segala yang disampaikan. Berkomunikasi secara lisan dibatasi pula oleh waktu, ketika pembicaraan selesai maka selesai pula kegiatan komunikasi itu.
Kegiatan berkomunikasi dengan tulisan dapat menembus ruang dan waktu. Berkomunikasi melalui tulisan tidak dibatasi oleh kehadiran pembaca dalam suatu ruangan. Berkomunikasi lewat tulisan tidak harus dalam waktu tulisan itu dibuat, namun dapat dilakukan pembaca pada waktu yang berbeda, mungkin sehari berikutnya, sebulan yang akan datang, atau setahun yang akan datang. Bahkan mungkin sepuluh tahun yang akan datang tulisan masih dapat berfungsi sebagai media komunikasi.
Kegiatan berkomunikasi melalui tulisan akan terjalin interaksi antara penulis dengan pembaca hanya melalui tulisan. Pembaca mencoba memahami maksud penulis melalui tulisan yang tampak secara grafika dalam naskah atau buku. Dari sederet kata dan kalimat tersebut terdapat makna komunikasi yang dijalin penulis yang dipersembahkan kepada sidang pembaca.
Berdasarkan hal di atas, pada dasarnya setiap manusia memiliki kemampuan untuk berkarya sebagai kegiatan berkomunikasi tertulis. Setiap karya tulis yang dihasilkan seseorang tidak dengan serta merta dinamakan karya ilmiah, karena karya tulis ilmiah memiliki kekhususan. Beberapa kekhususan tersebut, di antaranya mengupas dan mempermasalahkan pengetahuan; menerapkan kebenaran ilmiah dan disajikan dengan metode ilmiah; serta menggunakan bentuk dan bahasa ilmiah. Dengan demikian, setiap karya tulis yang memiliki kekhususan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya tulis ilmiah.
Salah satu media komunikasi tertulis adalah karangan atau karena berbentuk tulisan maka dinamakan karya tulis. Setiap gagasan seseorang yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dinamakan karya tulis. Namun, tidak semua karya tulis dinamakan karya tulis ilmiah. Karya tulis ilmiah seharusnya memiliki tiga kekhususan sebagai sebuah karya tulis, sebagaimana dalam bagan di atas. Karya tulis merupakan bentuk karya tertulis berisi gagasan sehingga seringkali dinamakan karangan.
Banyak sekali bentuk-bentuk karangan yang dapat dijumpai dalam naskah tertulis, salah satu di antaranya adalah karangan ilmu pengetahuan. Namun, karangan ilmu pengetahuan itu terbagi ke dalam karangan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan karangan nonilmiah (Brotowidjojo, 1993:3). Klasifikasi ini berdasarkan pada gagasan yang disajikan, sistematika, dan metode penyajian karangan tersebut.
Karya tulis atau karangan ilmiah menyajikan gagasan atau argumen keilmuan berdasarkan fakta. Gagasan keilmuan itu harus dapat dipercaya dan diterima kebenarannya, sehingga perlu kriteria penyajian secara benar. Gagasan dalam karya ilmiah seharusnya disajikan dengan tidak membuat pihak lain atau sidang pembaca ragu untuk menerimanya. Penerimaan sidang pembaca terhadap komunikasi tertulis yang ilmiah didasarkan pada pemenuhan indikator sebuah karangan ilmiah.
Penyajian karya tulis ilmiah harus dilakukan secara logis. Karya tulis yang ilmiah berarti karangan yang menyajikan argumen dengan menggunakan logika berpikir secara benar. Apabila penyajian karangan ilmiah menggunakan logika yang benar maka argumen ilmu pengetahuan tersebut akan diterima pula oleh akal atau logika orang yang berpikir ilmiah. Apabila karya tulis ilmiah menyajikan argumen secara objektif, bukan argumen yang pribadi, maka akan dipahami pula oleh pembaca sebagai sebuah kebenaran. Inilah yang dinamakan kebenaran ilmiah, yaitu sebuah kebenaran yang dapat diterima oleh setiap orang berdasarkan logika dan suatu penalaran.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa karya tulis ilmiah itu berupa karya atau produk dari komunikasi ilmiah secara tertulis. Seseorang yang berkomunikasi secara tertulis namun tidak disusun secara ilmiah belum dapat dinyatakan sebagai komunikasi ilmiah. Demikian pula, jika seseorang berkomunikasi secara tertulis yang disusun dengan pola penulisan ilmiah namun materi yang dikomunikasikan tidak ilmiah maka tidak termasuk karya tulis ilmiah. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karya tulis ilmiah itu adalah karangan yang berisi gagasan ilmiah yang disajikan secara ilmiah serta menggunakan bentuk dan bahasa ilmiah.

31 Juli, 2009

Pendidikan Karakter Profesi Guru

Oleh: Suherli Kusmana

1. Pendahuluan
Profesi guru saat ini mulai menarik perhatian banyak pihak. Berdasarkan kewenangan dalam otonomi daerah, pembinaan profesi ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, sehingga profesi guru kerap menjadi perhatian bagi birokrasi lain karena selain jumlahnya sangat banyak, juga karena kesejahteraannya sedang dinaikkan. Bagi para perencana anggaran di tingkat kabupaten/kota profesi guru menjadi perhatian, terutama jika guru yang disertifikasi telah menjadi guru profesional, maka harus dianggarkan gajinya dua kali lipat dari sebelumnya. Bagi profesi lain, guru dipandang sebagai profesi yang sedang dimanja pemerintah. Kecenderungan calon mahasiswa baru untuk bidang pendidikan dan keguruan pun hampir di setiap perguruan tinggi keguruan mengalami peningkatan. Artinya profesi guru telah menjadi pusat perhatian pihak lain.
Profesi guru menjadi harapan banyak pihak dalam mengatasi perubahan di masyarakat saat ini. Banyak pihak yang merasa bahwa bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat dramatis, baik dalam kepemilikan karakter maupun budaya sebagai jati diri bangsa. Budimansyah (2009) menyatakan terjadi perubahan masyarakat terutama “munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi berubah menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, berbuat sadis, kejam, dan biadab”. Guru diharapkan mampu menanamkan kembali karakter bangsa yang sudah semakin berubah melalui pendidikan. Profesi guru menjadi harapan semua pihak, ketika perhatian pendidik informal sedang bergeser pada myopia politik sebagai sebuah lompatan.
Dalam aspek budaya pun, bangsa kita sudah mulai kehilangan nilai-nilai dan kecintaan pada seni tradisional. Tidak heran jika kemudian beberapa karya seni adiluhung di-HAKI-kan oleh bangsa lain. Padahal, seni budaya dapat mengajari kita tentang kejujuran dan rasa malu. Bangsa kita diajari oleh seni untuk jujur pada dirinya dan juga kepada orang lain. Bangsa kita harus diajari untuk memiliki rasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti memanipulasi data atau melakukan berbagai cara untuk menguntungkan kelompok atau golongannya. Untuk itu, diperlukan penanaman kembali rasa cinta pada seni dan budaya melalui pendidikan. Tentu saja, profesi guru pula yang menjadi harapan.
Demikian besar harapan pihak lain kepada profesi guru untuk mengembalikan dan memantapkan kembali karakter bangsa Indonesia. Dengan demikian, tentu saja guru harus menjadi contoh atau teladan terlebih dahulu bagi yang lain. Guru harus memantapkan kompetensi kepribadian sebagai seorang guru profesional. Sangat wajar jika guru secara otodidak mendidik diri untuk memantapkan karakter sebagai guru profesional.

2. Kebijakan Pendidikan
Apabila kita mencermati kembali fungsi pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari hal tersebut tergambar bahwa fungsi pendidikan tidak semata-mata mengembangkan kemampuan, namun juga dimaksudkan untuk membentuk watak dan peradaban suatu bangsa yang bermartabat. Pendidikan berfungsi sebagai pembentuk watak atau karakter bangsa yang bermartabat atau sebagai bangsa yang memiliki budaya.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi tata nilai dari suatu peradaban modern. Bangsa bermartabat adalah bangsa yang menjujung tinggi kebenaran, kejujuran, kesantunan, keramahtamahan, keberagaman, dan ketaatan pada aturan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan harus berfungsi membentuk bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan bangsa yang dapat hidup di dunia modern.
Sementara itu, tujuan pendidikan kita adalah “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan ini merupakan arah bagi semua penyelenggara dan pelaksana pendidikan dalam lingkup sistem pendidikan nasional. Manusia berahlak mulia adalah manusia yang memiliki ahlak atau perilaku yang baik dan terpuji sesuai dengan norma dan tata kehidupan masyarakat berbudaya.
Salah satu kebijakan Departemen Pendidikan Nasional adalah “Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing”. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi permasalahan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau mungkin sebaliknya, disinsentif karena tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Untuk keperluan tersebut ditempuh program pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik dikembangkan baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Pendidikan profesi bagi calon guru dilakukan bersamaan dengan penerimaan sebagai calon pegawai negeri sipil, sedangkan pendidikan profesi bagi yang sudah menjadi guru ditempuh bagi guru-guru yang belum memenuhi syarat profesional berdasarkan penilaian portofolio.
Kebijakan Depdiknas dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing tersebut menyatakan bahwa standar profesi guru merupakan dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. Kinerja guru akan terus diukur berdasarkan standar profesi guru sehingga akan diperoleh guru yang layak mendapatkan insentif atau guru yang disintensif. Idealnya penentu profesionalisasi guru adalah lembaga atau organisasi profesi, namun karena untuk memenuhi ketentuan penjaminan mutu maka saat ini menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan profesi guru atau Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan yang telah memenuhi ketentuan.

3. Guru Profesional
Guru profesional adalah guru yang memiliki empat kompetensi profesi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Indikator keempat kompetensi ini berjumlah 24 kemampuan ideal seorang guru profesional. Kompetensi pedagogik terdapat 10 indikator; kompetensi kepribadian terdapat 5 indikator; kompetensi sosial terdiri atas 4 indikator; dan kompetensi profesional terdiri atas 5 indikator.

Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas-tugas pendidikan dan keguruan. Kompetensi ini terdiri atas:
1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4) Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran
10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran

Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi utama bagi seorang pendidik. Dalam mendidik, seorang guru harus menguasai karakteristik peserta didik sehingga proses pendidikan yang dilakukan tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Karakteristik peserta didik itu meliputi fisik, psikhis, soial, dan budaya tempat tinggal peserta didik. Kompetensi pedagogik merupakan komptensi karakter seorang guru.

Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi personal seorang guru. Kompetensi ini merupakan sosok kepribadian seorang guru yang berkarakter sebagai orang Indonesia serta pribadi yang ideal dari orang yang menjadi teladan di masyarakat. Guru merupakan pribadi yang dapat menjadi contoh bagi yang lain. Kompetensi kepribadian guru itu terdiri atas:
1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa
4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kompetensi guru dalam berhubungan dengan pihak lain. Dalam lingkungan masyarakat, biasanya guru menjadi contoh bagi profesi lain dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang baik. Kompetensi sosial ini terdiri atas:
1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berhubungan dengan bidang akademik. Kompetensi ini terdiri atas:
1) Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Keempat kompetensi profesi guru ini merupakan indikator bagi seorang guru profesional. Implementasi dari keempat komptensi ini dapat terwujud dalam aktivitas sehari-hari seorang guru, baik ketika ia sedang bertugas mendidik siswa dalam kelas maupun ketika ia berada di lingkungan masyarakat. Kompetensi profesi guru ini melekat dengan pribadi guru sehingga akan selalu merupakan karakter sebagai seorang pendidik yang berada di lingkungan masyarakat.

4. Pendidikan Berbasis Karakter
Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan instrumen untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa Indonesia, termasuk karakter seorang guru Indonesia. Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan guru berbasis pada pembangunan karakter bangsa. Tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
Pendidikan karakter lebih mengarah pada peningkatan kepribadian yang akan tertanam secara mendalam dalam diri. Pada masa orde lama pernah diungkapkan bahwa untuk mengatasi lunturnya idealisme bangsa diperlukan character building, yang disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Character building ini dilakukan melalui lembaga pendidikan melalui mata pelajaran khusus atau memasukkan konsep nation character pada setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter lebih mengedepankan kemampuan emosional dan spiritual yang dalam kompetensi profesi pendidik termasuk ke dalam kompetensi kepribadian.
Kebijakan dalam sistem pendidikan disusun dengan pandangan ideal tentang sesuatu hal. Kebijakan sertifikasi profesional guru sejatinya dimasudkan untuk meningkatkan kualitas pendidik. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kebijakan ini malah justru dikaburkan oleh pandangan sempit bahwa “sertifikasi guru merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan guru”. Dari hal ini, muncul kelompok-kelompok pragmatisme di kalangan para guru, dan menyisihkan kelompok idealisme. Pandangan idealisme dipojokkan pada sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan zaman, padahal kelompok idealime ini merupakan agen pembaharu di lingkungan komunitas guru.
Gagasan character building sebagai upaya menciptakan guru-guru ideal patut mendapat dukungan semua pihak. Apabila idealisme telah melekat pada pribadi guru, maka ia akan mampu memperbaiki fenomena masyarakat kita yang telah mulai meninggalkan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang menjadi pemikiran ideal seorang guru ketika ia merasa resah dengan fenomena masyarakat saat ini merupakan landasan bagi pengembangan character building. Pengembangan pendidikan budi pekerti ini seharusnya dibangun terlebih dahulu melalui sebuah kesadaran kolegial setiap guru bahwa ia harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Seorang guru ideal ia harus mampu mendidik dirinya (otodidak) untuk selalu menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Konsep kejujuran dan berahlak mulia yang ditanamkan kepada peserta didik, seharusnya telah terlebih dahulu tertanam dalam diri pendidik. Bagaimana jadinya, jika pendidik mengarahkan peserta didik untuk bertindak dan berkata jujur, sedangkan ia tidak memberi contoh untuk bertindak jujur? Guru harus menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam bertindak dan berkata jujur serta berahlak mulia.
Guru harus menjadi contoh bagi murid dalam mengelola qolbu. Oleh karena itu, ia harus melakukan self actualisation tentang pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Dalam mengaktualisasikan hal tersebut, guru akan membangun dirinya untuk memiliki pribadi yang tidak mudah marah, mampu mengontrol emosi, dan dapat memberikan pertimbangan secara komprehensif dalam pengambilan keputusan. Setiap tindakan dan perbuatan guru selalu dilakukan dengan mengontrol emosi secara objektif, sehingga pribadi guru menjadi berwibawa di hadapan murid dan masyarakat. Guru menjadi peribadi yang “digugu dan ditiru” oleh murid dan masyarakat.
Dalam hal melaksanakan tugas pokok sebagai pendidik guru selalu menunjukkan etos kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Seorang guru akan berusaha memantapkan dirinya untuk menjalankan profesi guru secara ikhlas dan tidak mengeluhkan tugasnya. Pada diri guru harus ditanamkan keyakinan bahwa pekerjaan guru merupakan pekerjaan mulia. Ketika di dunia beroleh imbalan dari pemerintah atau dari yayasan, dan mudah-mudahan di akhirat menjadi amal baik yang selalu mengalir jika ilmu yang diberikan kepada murid bermanfaat. Profesi guru harus menjadi profesi yang dapat dibanggakan karena keyakinan di atas. Oleh karena itu, setiap guru harus dapat membangun diri (self building) terutama dalam menunjukkan etas kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Sifat ini akan berhubungan dengan kebanggan dan kepercayaan diri menjadi seorang guru. Menjadi guru adalah pekerjaan mulia dan beribadah.
Seorang guru profesional akan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Ia tidak akan mudah tergoyahkan oleh kepentingan sesaat, karena profesi ini selalu dihayati dan dinikmati sebagai fitrah dari sang pencipta. Kode etik profesi guru merupakan pegangan dalam menjalankan profesi keguruan dan akan selalu tertanam dalam diri guru ideal. Oleh karena itu, pandangan yang meremehkan profesi guru atau menjatuhkan profesi guru akan mendapatkan reaksi dari pada guru yang telah memiliki karakter sebagai guru profesional.
Berdasarkan uraian ini, tampaknya pendidikan karakter bagi seorang guru merupakan pandangan ideal. Dalam mengimplementasikan hal ini dapat ditempuh melalui proses otodidak guru yang dilakukan dengan berintospeksi. Dalam suatu organisasi informal seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pun dapat dilakukan pendidikan dan latihan berbasis karakter untuk memantapkan kompetensi kepribadian seorang guru. Program yang sangat ideal ditempuh melalui program In House Training (IHT) bagi para guru yang dapat diselenggarakan melalui UPTD Peningkatan Profesi Pendidik atau melalui Badan Kepegawaian Daerah di tingkat kabupaten/kota. Melalui pendidikan karakter ini diharapkan para guru semakin mantap kepribadiannya dan ia dapat menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam memantapkan karakter bangsa Indonesia.

5. Simpulan
Perubahan masyarakat yang mendorong adanya perubahan karakter bangsa Indonesia merupakan kekhawatiran semua pihak. Profesi guru merupakan harapan satu-satunya untuk memperbaiki perubahan negatif tersebut. Namun demikian, profesi guru harus menjadi contoh dan teladan terlebih dahulu bagi masyarakat yang sedang mengalami degradasi. Guru harus merupakan profesi terdepan dalam mempertahankan kelompok idealisme daripada pragmatisme. Guru merupakan harapan semua pihak untuk mendidik dan mengarahkan masyarakat Indonesia untuk kembali ke jatidiri bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Dalam mengemban tugas sebagai agen pembaharu, guru harus menjadi teladan bagi peserta didik maupun masyarakat. Guru dapat mengikuti atau menerapkan pendidikan dan pelatihan berbasis karakter. Guru seharusnya dapat membangun karakter diri sebagai pribadi yang diidamkan melalui proses pelatihan diri.
Pendidikan berbasis karakter dapat dilakukan dengan memantapkan kompetensi kepribadian guru. Pendidikan ini dapat dilakukan secara otodidak atau dilakukan secara terprogram sebagai bentuk penyegaran pada guru. Pendidikan karakter bagi guru merupakan upaya yang dapat ditempuh dalam rangka mempersiapkan agen pembaharu untuk memperbaiki kepribadian bangsa yang sedang mengalami pergeseran dan perubahan.
Daftar Pustaka

Depdiknas (2003) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Dokumentasi Depdiknas.
Depdiknas (2005) Undang-undang Guru dan Dosen. Bandung: Adicita Karya Nusa.
Depdiknas (2007) Pedoman Penilaian Guru dalam Jabatan. Jakarta: Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Budimansyah, D. (2007). “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.
Raka, I.I.D.G. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Bandung: Majelis Guru Besar ITB.
Sukarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Supriadi, Dedi (1998) Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Bandung: Adicita Karya Nusa.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

08 Juli, 2009

Aktivitas Membaca dan Beragam Profesi

Oleh: Suherli Kusmana
Membaca merupakan kebutuhan manusia. Pada umumnya, aktivitas membaca dapat dilakukan seseorang yang mendapatkan pendidikan membaca di suatu lembaga pendidikan. Aktivitas ini dapat membuka tabir masa silam, memahami dan menelaah sesuatu yang terjadi pada masa kini, bahkan melalui aktivitas membaca seseorang dapat memprediksi suatu kondisi yang akan terjadi. Dalam perkembangan terkini, kegiatan membaca sering dijadikan sebagai dasar untuk melakukan suatu aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari membaca.
Seorang pelajar yang ingin sukses akan selalu membaca. Ia membaca buku teks pelajaran untuk beroleh pemahaman dari yang dijelaskan guru. Selain itu, pelajar akan membaca buku-buku pengayaan atau buku referensi untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan wawasan yang lebih mendalam tentang suatu bahasan yang dipelajarinya. Ketika seorang pelajar, misalnya siswa atau mahasiswa, ingin mendapatkan kejelasan tentang pembahasan materi yang dikupas oleh guru atau dosen, ia akan berusaha mencari tahu melalui kegiatan membaca.
Seorang petani akan menjadi petani yang sukses jika ia memahami makna bertani dan berbisnis. Melalui kegiatan membaca, ia akan berusaha memahami teknik efektif dalam mengembangkan hasil pertaniannya. Melalui membaca pula ia akan mengembangkan pertanian yang berorientasi pada aktivitas bisnis. Seorang petani yang ingin sukses, ia akan membaca penerapan agribisnis dalam kegiatan pertaniasn yang sedang dilakukannya.
Nelayan pun memerlukan kegiatan membaca. Apabila ia ingin menjadi nelayan yang sukses maka akan membaca hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik ikan, laut, angin, dan arus. Ia perlu membaca informasi yang berhubungan dengan penghidupannya agar bermanfaat untuk aktivitas yang sedang ditekuni. Informasi tentang alat-alat tangkap, kemampuan mesin perahu, serta informasi cara menggunakan alat tangkap yang efektif akan sangat membantunya memperbaiki penghidupan nelayan.
Seorang buruh perlu membaca. Ia harus memahami pekerjaan yang dilakukannya berdasarkan informasi dan data dari bacaan karena tidak mungkin ia terus bertanya kepada pihak lain selama ia bekerja. Ia harus membaca hal-hal teknis dari pekerjaannya dan mengenal berbagai karakteristik alat bantu yang mendukung dan meringankan pekerjaannya. Ia juga harus dapat membaca agar dapat mengetahui informasi-informasi penting yang terjadi di dunia kerjanya yang disampaikan melalui pengumuman tertulis.
Seorang politisi perlu membaca. Ia harus membaca berbagai aturan atau dasar hukum yang mengatur aktivitasnya dalam menjalankan tugas seorang politisi. Ia harus banyak membaca sebagai dasar dalam memberikan pertimbangan ketika menetapkan suatu kebijakan. Ia harus membaca informasi yang berhubungan dengan fenomena masyarakat sehingga penetapan suatu kebijakan tidak merugikan rakyat. Semakin banyak ia membaca maka semakin matang ia dalam menjalankan peran sebagai politisi.
Seorang guru perlu membaca. Ia membaca tentang bahan yang akan dibelajarkan kepada siswa. Guru juga akan membaca berbagai strategi, metode, atau teknik yang akan digunakan dalam pembelajaran. Ia melakukan kegiatan membaca untuk mendapatkan informasi penting yang mendukung tugas pokok dirinya. Ia juga membaca informasi lain yang dapat dijadikan sebagai konteks dalam pembelajaran yang dilakukan. Guru yang banyak membaca akan mendapatkan informasi yang luas dan ia akan dapat melakukan kegiatan pembelajaran secara mendalam.
Seorang penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, atau pengacara perlu membaca. Perkembangan produk hukum sangat pesat terjadi, bahkan kadang-kadang suatu produk hukum baru sedang disosialisasikan namun telah terjadi revisi karena keputusan mahkamah konstitusi. Pergantian dan perkembangan aturan sangat cepat diperlukan kemampuan dan kebiasaan membaca. Pemahaman terhadap substansi aturan atau produk hukum terbaru akan membantu pelaksanaan tugas pokoknya dalam menegakkan aturan. Kekurangan dalam membaca produk hukum ini akan memungkinkan penafsiran aturan tidak sesuai dengan landasan filosofisnya atau pengambilan keputusan tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat penting baru para penegak hukum.
Seorang ibu rumah tangga akan membaca cara memasak dan mengurus rumah yang baik. Ia membaca majalah atau tabloid yang mengupas tentang memasak dengan berbagai resep. Dengan membaca resep memasak, ia yakin masakan yang dibuatnya akan disukai suami dan anak-anak. Ia juga membaca cara merawat rumah, mulai dari bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan hingga pada panduan teknis. Ia dapat melakukan kegiatan sebagai ibu rumah tangga dengan baik karena ia membaca.
Seorang kiyai perlu membaca. Sebagai bahan petuah, pendidikan, dan pengajaran ia harus membaca kitab, tafsir, atau membaca referensi-referensi lain. Pemahaman seorang kiyai tentang sesuatu hal akan sangat luas jika ia terbiasa membaca untuk menggali informasi. Ia perlu membaca untuk mengetahui perkembangan dunia saat ini agar bahan petuahnya sesuai dengan kondisi terkini yang dihubungkan dengan dasar hukum agama.
Seorang bintang film perlu membaca naskah skenario untuk mengetahui karakter dari yang diperankannya. Ia harus memahami bagaimana ia berperan dalam film atau sinetron yang diperaninya dengan membaca. Untuk dapat menjalani peran dengan maksimal ia harus membaca skenario sampai dengan selesai. Ia akan berusaha membaca rangkaian jalan cerita yang dimaksudkan film atau sinetron tersebut. Ia membaca infromasi-informasi lain yang mendukung atau berhubungan dengan karakter tokoh yang diperankannya.
Berdasarkan ungkapan di atas, kita dapat mengetahui bahwa di zaman modern ini semua profesi dan peran memerlukan kegiatan membaca. Aktivitas ini membantunya untuk meraih sesuatu hal yang lebih baik, baik untuk kepentingan pekerjaannya maupun untuk kepentingan diri. Demikian besar makna membaca bagi kehidupan kita, sehingga seseorang akan mengalami kesulitan menjalani kehidupan zaman modern jika ia kurang membaca. Dengan demikian, benarlah peribahasa yang menyatakan bahwa "Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya". Hal ini berarti bahwa ilmu yang berlimpah di gudang itu harus dibuka dengan kunci, yaitu membaca. Marilah kita mendulang ilmu dengan membaca.
(Bagian Pertama)

18 Juni, 2009

Manajemen Strategik dalam Mengelola Satuan Pendidikan


Oleh: Suherli Kusmana

A. Pendahuluan
Dunia pendidikan sedang menjadi pusat perhatian semua komponen bangsa ini. Berdasarkan keyakinan bangsa yang hebat ini bahwa pendidikan dapat mengubah masa depan bangsa, maka sejak reformasi dilakukan berbagai perubahan mendasar dalam pengelolaan pendidikan. Perubahan mendasar dilakukan dengan mengubah konstitusi, Undang-undang Sistem Pendidikan Nomor 02/1989 menjadi Nomor 20/2003, diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta secara teknis dituangkan ke dalam peraturan menteri pendidikan tentang delapan standar pengelolaan pendidikan.
Dalam UUSPN, diungkapkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada pasal 3 yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UUSPN 20/2003). Berdasarkan fungsi ini maka pada tahun 2005 Depdiknas menetapkan Rencana Strategik Depdiknas. Pada Renstra ini diungkapkan bahwa visi depdiknas adalah “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat bahwa pada tahun 2025 dapat menghasilkan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”.
Dari Visi Depdiknas di atas dapat kita maknai bahwa Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari “masyarakat berkembang” menuju “masyarakat maju”. Pembentukan masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi kemanusiannya kurang berkembang menuju masyarakat maju dan berkembang yang mengaktualisasikan potensi kemanusiannya secara optimal. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berbasis pengetahuan.
Perubahan mendasar tersebut berada pada perubahan pengelolaan pendidikan, dari pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik. Pengelolaan pendidikan dengan berorientasi pada “kepuasan pelanggan” dengan mengedepankan mutu pendidikan. Namun perubahan pengelolaan tersebut sampai dengan saat ini masih dirasakan kurang holistik, karena pengelolaan yang selama ini dilakukan bertahun-tahun telah menjadi suatu kebiasaan, sehingga ketika diharapkan berubah masih saja yang terjadi perubahan sepenggal-sepenggal. Salah satu alternatif yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah mereset pengelolaan pendidikan dengan menerapkan manajemen strategik.

B. Kebijakan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah. Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.


C. Kebijakan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di beberapa negara maju menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat karakteristik positif dalam menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan atau pemerataan.
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat, desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah) sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai.
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.
Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat, pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding father yaitu pemerintah.

D. Manajemen Strategik
Sebagaimana diungkapkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan (sekolah/ madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat) berbasis pada potensi stakeholder di sekitar sekolah. Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Badan Hukum Pendidikan yang akan diterapkan untuk setiap satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dilakukan seperti halnya pengelolaan pesantren, diserahkan kepada pemangku kepentingan. Pemerintah tidak ikut campur lagi mengurusi hal teknis, sehingga kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu hanya difasilitasi dengan kebijakan otonomisasi, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan (ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.

1) Upaya Peningkatan Mutu sebagai Dasar Manajemen Strategik
Program peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu rencana strategik harus ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dimaksudkan untuk perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa.
Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan, berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan.
Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.

2) Menerapkan Manajemen Strategik Kontemporer
Dalam melaksanakan manajemen strategik, saat ini telah berkembang dari suatu manajemen strategik yang tradisional ke arah suatu sistem manajemen bersifat kontemporer. Sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem manajemen tradisional. Sistem manajemen tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat efisiensi keuangan, sedangkan sistem manajemen kontemporer mencakup 4 (empat) perspektif yaitu mencakup perspektif efisiensi keuangan, proses layanan internal, kepuasan pelanggan, dan pertumbuhan layanan jasa.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu:
(1) Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan;
(2) Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan;
(3) Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan;
(4) Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan misi sekolah;
Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan.
Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.

E. Simpulan
Manajemen strategik merupakan salah satu implementasi dari Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Manajemen strategik pada satuan pendidikan merupakan pengelolaan pendidikan yang dipimpin oleh kepala sekolah sebagai manajer dan leader di satuan pendidikan. Manajemen strategik merupakan model pengelolaan pendidikan modern yang harus diterapkan oleh setiap satuan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan;
Manajemen strategik merupakan pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada quality assurance sebagai jaminan kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal dalam pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan mutu. Manajemen strategik direncanakan oleh satuan pendidikan dengan selalu menganalisis pada potensi kekuatan dan kekurangan serta analisis pada lingkungan sebagai peluang dan tantangan.

(Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di Cilacap Jawa Tengah pada tanggal 14 Juni 2009)

30 Mei, 2009

Kelompok Idealisme vs Pragmatisme

Oleh: Suherli Kusmana

        Perubahan merupakan karakteristik keinginan individu untuk maju. Perubahan merupakan fitrah manusia dan sunnah dalam beribadah. Perubahan selalu menjanjikan sesatu yang baru. Perubahan juga merupakan sebuah keinginan bagi setiap orang. Perubahan merupakan modal bagi institusi yang ingin selalu dinamis dan meraih masa depan yang lebih baik. Perubahan adalah sebuah pemikiran rasional dan ideal.
     Dalam mengungkapkan kata “perubahan” memang sangat mudah. Mengungkapkan keinginan untuk berubah pun sangat mudah. Menawarkan makna perubahan dalam suatu kompetisi pemilihan pimpinan pun sangat mudah. Bergabung dan berkumpul dalam suatu kelompok untuk melakukan perubahan pun sangat mudah. Bahkan, mengungkapkan keinginan perubahan dengan mendorong seseorang untuk berkompetisi dalam suatu pemilihan pun sangat mudah, namun harus berhati-hati menyamakan maknanya.
        Pada kondisi seperti sekarang, perubahan telah berkembang seiring dengan kepentingan manusia. Perkembangan makna kata “perubahan” itu secara umum seiring dengan karakter dan sifat manusia. Oleh karena itu, perubahan dalam diri manusia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu perubahan kaum bersifat idealis-rasionalis dan pragmatis-subjektif.
        Kelompok idealis-rasionalis merupakan kelompok yang menginginkan sebuah perubahan karena berpemikiran jernih, tulus, dan berpangkal pada keimanan dan keyakinan. Mereka berkeinginan untuk memajukan kelompok atau institusi. Mereka meyakini bahwa perubahan institusi merupakan salah satu upaya untuk menuju masa depan yang lebih baik agar dapat dinikmati oleh semua pihak dan generasi yang akan datang. Mereka menancapkan makna perubahan itu untuk kelompok, institusi, dan masa depan.
         Kelompok pragmatis-subjektif merupakan kelompok yang menginginkan perubahan juga. Namun, perubahan yang mereka serukan berbeda dengan yang dimaknai kelompok pertama. Kelompok ini memaknai perubahan secara hipokrit, pamrih, seperti tulus padahal berhati dengki, berbeda antara mulut dengan hati, dan berpangkal pada kebencian dan iri hati. Perubahan yang mereka inginkan adalah perubahan dirinya, baik jabatan, pendapatan, dan kenikmatan sesaat lainnya. Perubahan yang mereka inginkan itu perubahan penghasilan, bukan perubahan dalam menuju masa depan.
        Kelompok pragmatisme ini mudah diidentifikasi. Mereka sering berkata atau bercerita bohong karena ia ingin menutupi kelemahannya. Mereka itu biasanya memiliki ketidakmampuan dalam mengatasi kesulitan kebutuhan hidup. Mereka biasanya takut kehilangan jabatan, kedudukan, dan kenikmatan lain yang selama ini telah dinikmati. Mereka tidak memiliki keyakinan akan beroleh perubahan penghasilan jika mereka benar, jujur, rasional, dan ideal. Namun, karakteristik tersebut dapat tampak secara eksplisit dan dapat pula tampak secara implisit dari sikap, gerak-gerik, perilaku, dan kesediaan untuk berkorban untuk kepentingan kelompok.
          Kelompok idealis mudah didentifikasi dan kelihatan. Mereka bekata jelas dan apa adanya, sekalipun pahit. Mereka akan mengukuhkan dirinya berpandangan perubahan secara nyata, eksplisit, dan tidak takut jika penghidupan berkurang. Sementara itu, kelompok pragmatis tidak kelihatan. Mereka halus sekali menyusup dalam sendi-sendi kelompok. Mereka bersemboyan harmonisasi untuk menutupi keberpihakannya. Hati mereka terbelah antara idealis dan pragmatis. Pandangan dan pendapatnya berada di simpang jalan. Mereka akan mengira kita tidak mengetahuinya, padahal keberadaan mereka sangat "terang benderang". 
        Kedua kelompok tersebut saat ini ada di sekitar kita. Khusus untuk kaum idealisme, saya berharap agar berhati-hatilah dengan kelompok pragmatisme. Mereka, kelompok pragmatisme menginginkan perubahan tetapi tidak tulus. Perubahan yang mereka inginkan hanya untuk dirinya. Perubahan yang menguntungkan kepentingan dirinya, sedikit untuk kepentingan kelompok dan minus untuk kepentiingan institusi. Marilah kita berdoa saja agar mereka "kembali ke jalan yang benar!". Amin. 

 

03 Mei, 2009

Bagaimana Mengembangkan Kurikulum Sekolah?


Oleh: Suherli Kusmana

Berdasarkan pengamatan penulis pada sekolah-sekolah yang dikunjungi mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Bali, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, dan beberapa tempat lainnya masih belum optimal mengembangkan kurikulum sekolah, sebagai bentuk penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada umumnya sekolah-sekolah masih belum dapat memberdayakan potensi yang dimilikinya. Padahal pemberdayaan sekolah dimaksudkan untuk memberikan otonomi yang lebih luas dalam memecahkan masalah oleh warga sekolah itu sendiri (Fattah, 2004: 8). Sekolah seharusnya memiliki otonomi, kemandirian, dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Salah satu kewenangan sekolah adalah mengembangkan kurikulum. Pada umumnya, kurikulum yang digunakan di setiap sekolah sama dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang ditetapkan pemerintah sebagai kerangka dasar atau standar minimal. Dengan demikian, kurikulum mereka adalah kurikulum minimal atau berada di “garis kritis”. Kondisi ini merupakan pengaruh dari kebiasaan manajemen pra-reformasi yang sentralistik. Dahulu, setiap sekolah telah terbiasa menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional, sedangkan saat ini sekolah diberi kewenangan mengembangkan kurikulum secara mandiri. Pengembangan kurikulum secara mandiri ini tetap berdasarkan pada rambu-rambu yang ditetapkan dalam pengembangan kurikulum. Untuk mendorong hal ini, dinas pendidikan harus berperan sebagai penyelia pengembangan kurikulum sekolah, bukan malah mengatur dan mengharuskan kurikulum yang seragam.
Pada tahun 2006 diluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tentang Standar Isi dan Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, serta Nomor 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Ketiga peraturan menteri tersebut sebagai hasil kerja tim independen, yaitu Badan Standardisasi Nasional Pendidikan yang merupakan tindak lanjut dari kebijakan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Nomor 19 Tahun 2005. Implikasi dari hal itu, maka pemerintah tidak lagi menyusun kurikulum yang harus berlaku secara nasional, sehingga pengembangan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab sekolah bersama-sama Komite Sekolah. Kurikulum sekolah boleh berbeda antara satu sekolah dengan yang lain, namun harus memuat SI dan SKL yang ditetapkan pemerintah.
Penyusunan kurikulum sekolah merupakan salah satu otonomi sekolah. Pemerintah hanya mengembangkan kerangka dasar, yang tertuang dalam KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. KTSP ini selanjutnya harus dikembangkan menjadi kurikulum sekolah, misalnya dengan nama sekolah, contoh Kurikulum SMP Negeri 7 Ciamis. Sekolah dapat menambah atau mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dasar yang terdapat dalam SI, namun tidak boleh mengurangi. Penambahan atau pengembangan ini disesuaikan dengan potensi daerah dan karakteristik sosial budaya masyarakat Indonesia yang beragam.
Prinsip-prinsip yang harus dianut dalam mengembangkan kurikulum sekolah adalah (1) berpusat pada peserta didik; (2) beragam dan terpadu; (3) adaptif pada perkembangan ipteks; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; (7) berkeseimbangan antara kebutuhan pusat dan daerah (BSNP, 2006). Pengembangan kurikulum sekolah ini dilakukan oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah atau nara sumber potensial di daerah.
Kurikulum sekolah yang dikembangkan berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum sekolah yang dikembangkan harus memerhatikan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Kurikulum sekolah dikembangkan secara beragam dan terpadu, berarti harus memerhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum harus dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis. Semangat dan isi kurikulum seharusnya mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum yang dikembangkan harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Dengan demikian, dalam mengembangkan kurikulum sekolah harus melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
Kurikulum dikembangkan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Di dalam substansi kurikulum tercakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar jenjang pendidikan.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan konsep belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum harus mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
Berdasarkan ketentuan pengembangan kurikulum di atas, marilah kita mulai menata kualitas pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Untuk itu, marilah memulai upaya ini dengan mengembangkan kurikulum sekolah secara benar! Mudah-mudahan pengembangan kurikulum secara benar ini dapat mengangkat “mutiara terpendam” sebagai potensi daerah yang selama ini terabaikan.