Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

13 Desember, 2010

Mengenal Keterampilan Membaca


oleh Suherli Kusmana
Kegiatan membaca telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia modern. Berdasarkan perkembangan teknologi dan informatika maka pada Abad 21 ini diprediksi akan terjadi suatu gelombang informasi teknologi dan pengetahuan umum yang tersaji melalui buku, surat kabar, majalah, barang cetakan lainnya, dan berbagai media elektronik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat modern memang akan selalu dibombardir oleh berbagai jenis bacaan. Bahan bacaan tersebut telah dirasakan mulai sangat mudah untuk diperoleh. Kondisi ini akan menumbuhkan kesadaran masyarakat modern untuk senantiasa meningkatkan aktivitas membaca agar menjadi pembaca yang efektif dengan menggunakan strategi membaca dalam memahami bahan bacaan secara efisien.
Dalam pandangan lingusitik, kegiatan membaca merupakan kegiatan memaknai lambang-lambang bunyi atau lambang ortografi dalam berbahasa. Pemaknaan lambang tertulis ini akan dapat diwujudkan jika seseorang terlebih dahulu memahami lambang bunyi dan makna bentuk kata dalam suatu untaian kalimat. Pemahaman terhadap lambang-lambang ini tidak terbentuk dengan tiba-tiba, melainkan dilakukan melalui proses belajar.
Dalam menguraikan pengertian membaca secara komprehensif, kita dapat memahami berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu dari pandangan ahli kognitif, ahli sosial, dan pandangan inteksi antara bacaan dengan pengetahuan (text-driven and knowledge-driven operation). Pengertian membaca dari ketiga pandangan ini dapat membantu kita dalam memahami aktivitas membaca. Marilah kita bahas satu per satu!
Menurut padangan ahli kognitif atau ahli teori Gestalt Field dinyatakan bahwa seorang pembaca adalah seperti sebuah komputer, ia memiliki pusat pemrosesan data yang terletak di dalam otaknya (Bernhardt, 1991: 8). Informasi yang diperoleh dari bacaan merupakan input yang diolah oleh otak melalui beberapa tahapan dengan menggunakan hipotesis kausalitas, misalnya “jika…maka…”.
Pemahaman bacaan akan diperoleh apabila hipotesis itu telah dapat dijawab pembaca. Dalam pandangan ini, pembaca dianggap sebagai seorang pemecah permasalahan (problem solver) yang membangun hubungan antara objek dengan makna di kepalanya yang merupakan wujud (internal representation) dari masalah yang sedang dihadapi. Setiap orang dipastikan memiliki internal representation yang berbeda, sekalipun masalah yang dihadapinya sama. Menurut Bernhardt bahwa representasi internal ini merupakan output dari pusat pemrosesan itu. Output tersebut bukan merupakan duplikasi dari inputnya, melainkan intrapersonal conceptualisation atau pemahaman yang unik dari masing-masing individu pembaca. Pemahaman unik ini yang sangat bergantung pada pengalaman dan orientasi pembaca tentang sesuatu hal.
Dalam pandangan ahli sosiologi, kegiatan membaca merupakan kegiatan yang memiliki fungsi sosial. Kegiatan membaca merupakan bagian dari budaya dan sekaligus membangun budaya. Sebuah teks bacaan adalah artefak sosial dan budaya yang memiliki nilai dan norma tertentu. Setiap masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang unik dan berbeda dengan masyarakat lainnya. Seorang pembaca yang efektif tidak hanya memerhatikan aspek kebahasaan untuk memahami keseluruhan makna yang dibacanya, tetapi juga menggunakan pengetahuannya tentang konteks bacaan, yaitu masyarakat dan budaya tempat teks itu dibuat.
Kegiatan membaca merupakan perpaduan antara pemahaman bentuk dan makna. Ada dua cara memahami bacaan, yaitu memahami bacaan dengan menganalisis teks dan memahami bacaan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki pembaca. Biasanya pembaca memadukan kedua cara ini dalam proses pemahamannya. Kegiatan membaca dengan memadukan dua cara ini dinamakan proses membaca yang bersifat “multidimensional and multivariate.” Sebagaimana diketahui bahwa teks itu ada yang terlihat (seen texts) seperti yang terbaca oleh pembaca, dan teks ‘tersembunyi’ (unseen texts) yang merupakan maksud penulis yang biasanya mengandung nilai sosial dan budaya. Oleh karena itu, Bernhardt (1991:73) mengingatkan bahwa dalam membaca tidak cukup memerhatikan kata, kalimat, dan paragraf saja, melainkan juga harus memerhatikan nilai sosial dan budaya. Apabila kedua unsur itu diabaikan maka tidak akan terjadi proses membaca yang benar.
Berdasarkan pandangan tentang interaksi antara teks dengan pembaca, diketahui bahwa selain aspek morfologi dan sintaksis, terdapat struktur teks yang memengaruhi pemahaman seseorang pada bacaan. Dalam pandangannya, hal tersebut dinamakan “rhetorical organisation of texts”. Aspek tersebut cukup penting dalam memahami teks karena di dalam pengorganisasian teks inilah dapat diketahui gagasan dan argumentasi dari penulisnya. Pemahaman yang dimaksud termasuk juga persepsi penulis pada sesuatu hal yang tergambar dari penyusunan gagasan dalam teks.
Bernhardt (1991) menyebutkan ada enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem sebagai upaya pencarian makna, dan pengenalan sintaksis. Ketiga faktor ini berhubungan dengan keberadaan teks yang tersaji sebagai bacaan. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu persepsi pembaca pada isi teks (intratextual perception), metakognisi pembaca (metacognition), dan pengetahuan yang bertemali pada pembaca (prior knowledge). Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan terdapat pada pembaca. Oleh karena itu, dalam mengetahui pemahaman terhadap suatu bacaan selain diperlukan ketepatan dalam memahami unsur linguistik yang berhubungan dengan teks, juga diperlukan pemahaman yang berhubungan dengan pengalaman pembaca.
Ahli pendidikan menyatakan bahwa kegiatan membaca seseorang itu berkaitan erat dengan tujuan dan alasan melakukan kegiatan membaca. Pada umumnya, kegiatan membaca dilakukan untuk kesenangan, minat atau hoby, studi, pengisi waktu senggang, atau menghilangkan kebosanan. Kegiatan membaca dilakukan mungkin karena alasan untuk mengambil bagian dalam masyarakat, atau membaca untuk kegiatan belajar. Untuk pembaca pemula, perhatian lebih diarahkan pada kegiatan membaca sesuai dengan minat atau membaca untuk belajar.
Kegiatan membaca merupakan bagian dari keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan tersebut adalah (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Keempat keterampilan berbahasa ini memiliki hubungan yang hierarkis. Keterampilan membaca yang dimiliki seseorang bertolak dari keterampilan menyimak dan berbicara. Keterampilan membaca dibangun oleh kerangka pemahaman aspek kebahasaan yang diperolehnya dari aktivitas menyimak yang dilakukan. Kadar kemampuan ini dibangun pula oleh aktrivitasnya dalam berbicara, sehingga fondasi awal tersebut bertemali secara erat dalam membentuk keterampilan membaca seseorang.

19 November, 2010

Merancang Penelitian Pendidikan



Suherli Kusmana

A. Pendahulu
Pada umumnya setiap akademisi telah mengalami kegiatan penelitian. Kegiatan ini merupakan pengejawantahan peran seorang ilmuwan dalam pengembangan keilmuan. Seorang sarjana dipersyaratkan menulis karangan ilmiah hasil penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi. Seorang magister dianugrahi gelar jika ia telah menuntaskan kegiatan penelitian yang disusun dalam laporan penelitian yang dinamakan tesis. Seorang doktor berhak menyandang gelar tersebut jika telah mempertahankan teori baru berdasarkan hasil penelitian yang selanjutnya dilaporkan dalam bentuk disertasi. Seorang dosen, ketika akan mengusulkan kenaikan jabatan akademik ia harus melakukan kegiatan penelitian yang dibuktikan dengan laporan kegiatan penelitian. Seorang dosen dengan kepakarannya selalu melakukan kegiatan penelitian yang didanai oleh pemerintah pusat, daerah, atau instansi lain dalam rangka mengambil keputusan atau kebijakan terhadap fenomena yang sedang terjadi atau berkembang. Seorang guru dewasa yang akan naik pangkat ke Golongan IV ia harus menulis karangan ilmiah sebagai hasil laporan kegiatan penelitian. Seorang guru profesional selalu melakukan kegiatan refleksi pembelajaran yang dilakukannya dengan melakukan kegiatan penelitian tindakan di dalam kelas. Dari hal tersebut tergambar bahwa kegiatan penelitian merupakan aktivitas yang sangat akrab dengan seorang akademisi.
Dengan melihat kenyataan tersebut maka ihwal penelitian bagi akademisi merupakan aktivitas yang sangat intim karena sering dilakukan. Penelitian adalah kegiatan biasa yang dilakukan seorang akademisi, dosen, guru, pakar, atau peneliti dalam mengembangkan keilmuan. Kegiatan penelitian pada hakikatnya adalah mengembangkan ilmu, baik ilmu dasar maupun ilmu terapan. Dengan demikian pemahaman tentang metodologi penelitian merupakan “santapan” keseharian seorang peneliti.
Penelitian tentang pendidikan dan pembelajaran banyak dilakukan oleh para akademisi lulusan Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK). Namun demikian, penelitian yang berkaitan dengan pengembangan bidang studi pun sangat berkonstribusi terhadap pengembangan ilmu pendidikan dan pembelajaran. Misalnya, di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dikembangkan penelitian bidang linguistik, bahasa, keterampilan berbahasa, atau bidang sastra.

B.Karakteristik Penelitian
Karakteristik penelitian pendidikan meliputi: objektivitas, akurasi, dapat diverifikasi, menjelaskan (eksplanasi), empiris, logis dan kondisional (McMillan, 2001: 11). Karakteristik tersebut menjadi konvensi bahkan telah menjadi budaya bagi para peneliti bidang pendidkkan.
Objektivitas dalam penelitian pendidikan itu tampak dalam prosedur dan ciri khas penelitian ini. Objektif berarti tidak bias dan terbuka (open-minded) terhadap perubahan fenomena serta jauh dari sifat subjektif. Keobjektifan juga tampak dalam pengumpulan data dan tahapan analisis untuk mengungkapkan interpretasi yang beralasan. Objektivitas tampak dalam kualitas data yang dihasilkan dengan prosedur yang dapat dikontrol dari bias data.
Akurasi penelitian pendidikan tampak dalam menggunakan dan menerapkan istilah-istilah ilmiah. Keakuratan ditunjukkan pada penggunaan bahasa penelitian teknis yang merujuk pada studi ilmiah. Prosedur teknis yang digunakan dalam penelitian pendidikan di antaranya dalam penggunaan validitas dan reliabilitas pengukuran, desain penelitian, sampel acak, dan signifikansi pengolahan data.
Verifikasi dalam penelitian pendidikan merupakan bentuk kontrol terhadap hasil penelitian. Penelitian pendidikan dapat dikonfirmasi melalui penelitian ulang atau penelitian dengan cara yang berbeda. Misalnya, dilakukan penelitian sejenis dengan kelompok sampel yang berbeda, dengan latar yang berbeda, atau dengan menggunakan landasan teoretis berbeda. Penggunaan latar ini dalam penelitian kualitatif merupakan “kasus” yang dapat menghasilkan interpretasi secara mendalam sebagai bentuk verifikasi.
Eksplanasi dalam penelitian pendidikan dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena yang sangat luas dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran kemudian direduksi ke dalam pernyataan-pernyataan yang sederhana. Seorang peneliti pendidikan harus mampu mereduksi realitas yang sangat kompleks menjadi pernyataan yang sederhana. Eksplanasi ini harus dapat diinvestigasi ulang sebagai wujud verifikasi dari suatu penelitian.
Empiris merujuk pada sebuah penyajian kenyataan. Penelitian pendidikan bersifat empiris artinya penelitian ini menjadikan data empiris sebagai pembimbing bagi peneliti untuk mengungkapkan hasil penelitian, bukan pada pandangan diri dan perasaan yang bersumber dari gagasan pribadi atau karena penguasaan materi yang diteliti. Dengan demikian, ciri empiris dalam penelitian pendidikan harus menyisihkan pandangan dan kepercayaan sekilas seorang peneliti.
Logis dalam penelitian itu merujuk panarikan simpulan yang memuat alasan-alasan logis. Pengungkapan alasan merupakan proses berpikir, menerapkan aturan berpikir logis. Dengan demikian, kelogisan itu meliputi penarikan suatu pernyataan yang bersifat umum ke dalam simpulan bersifat khusus (deduktif) atau sebaliknya, dari pernyataan-pernyataan khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan umum (induktif). Dalam penarikan simpulan deduktif, jika premis-premis benar maka konklusinya pun akan benar, sehingga tidak mungkin ada konklusi baru yang muncul secara tiba-tiba. Dalam penarikan simpulan induktif, seorang peneliti melakukan observasi terhadap kasus-kasus khusus kemudian memformulasi konklusi secara umum.
Kondisional dalam penelitian pendididkan merujuk pada suatu kondisi absolutisasi. Dalam pendidikan tidak ada yang absolut sehingga semuanya bergantung pada berbagai kemungkinan. Hal ini sejalan dengan karakteristik ilmu sosial yang sangat bergantung pada suatu kondisi. Oleh karena itu, dalam penelitian pendidikan penggambaran simpulan yang kondisional merupakan masalah utama. Baik penelitian kualitatif maupun kuantitatif, setiap pernyataan yang diungkapkan sebagai simpulan harus memiliki implikasi pada suatu kondisi yang eksplisit.

C.Proses Penelitian Pendidikan
Dalam penelitian terdapat serangkaian proses penelitian. Proses ini pada umumnya sudah merupakan suatu tahapan baku yang harus dilalui seorang peneliti. Demikian pula dalam penelitian pendidikan, seorang peneliti akan melakukan tahapan: memilih masalah; meninjau ulang (review) kepustakaan yang mendukung masalah; menetapkan masalah khusus, pertanyaan penelitian, atau hipotesis; menetapkan desain dan metodologi penelitian; mengumpulkan data; menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian; menginterpretasi hasil atau temuan dan menyusun pernyataan simpulan.
Langkah pertama, memilih masalah. Kegiatan memilih masalah harus dimulai dari kerisauan peneliti pada suatu fenomena pendidikan. Masalah dalam dunia pendidikan merupakan suatu yang harus dicari penyebabnya, pembuatnya, pelatarnya bahkan dampak dari masalah tersebut serta cara mengatasi masalah tersebut.
Kedua, peneliti melakukan tinjauan ulang (review) kepustakaan yang relevan dengan masalah. Tinjauan kepustakaan ini dimaksudkan untuk mencari solusi teoretis yang dianggap dapat mengatasi masalah, yang selanjutnya perlu dibuktikan melalui penelitian. Pada umumnya, untuk melakukan penelitian harus didahului dengan kajian kepustakaan secara mendalam yang bertemali dengan masalah yang akan diteliti. Namun, terdapat pula jenis penelitian yang kajian pustakanya bersifat tentatif, yang nantinya dilengkapi kembali berdasarkan data-data yang terkumpul.
Ketiga, menetapkan rumusan masalah. Berdasarkan uraian teoretis, selanjutnya peneliti harus menetapkan masalah yang lebih spesifik. Ungkapan rumusan masalah ini dapat disajikan dengan pertanyaan penelitian atau dapat pula diungkapkan berbentuk hipotesis. Namun demikian, langkah ini bergantung pada jenis pendekatan penelitian yang dipilih, apakah kualitatif atau kuantitatif. Jika penelitian kualitatif maka permasalahan atau pertanyaan penelitian merupakan bantuan pendahulu (preliminary guide)untuk menjadi bagian dari kemajuan penelitian.
Keempat, menetapkan desain dan metodologi penelitian. Pada tahap ini peneliti harus menetapkan desain penelitian yang dipilih bergantung pada dari siapa data dikumpulkan, bagaimana memilih subjek atau responden penelitian, dan bagaimana data akan dikumpulkan. Peneliti perlu menetapkan metode penelitian yang akan digunakan, selanjutnya menetapkan desain penelitian. Desain-desain yang dapat dipilih dalam penelitian pendidikan dengan metode kuantitaif di antaranya eksperimen (eksperimen murni, kuasi eksperimen, subjek-tunggal), noneksperimen (deskriptif, komparatif, korelasional, survey, dan ex post facto). Sementara itu, dapat pula dipilih metode kualitatif di antaranya model temuan interaktif (etnografi, fenomenologi, studi kasus, uji-teori, studi kebijakan) atau model temuan non-interaktif (analisis istilah, investigasi historis, dan analisis dokumen).
Kelima, mengumpulkan data. Pada tahap ini seorang peneliti harus memutuskan instrumen yang akan digunakan untuk mengumpulkan data. Seorang peneliti harus yakin bahwa instrumen yang digunakan “tajam” dan dapat mengumpulkan data yang diperlukan. Oleh karena itu, pada tahap ini peneliti harus memvalidasi instrumen, yaitu dengan cara menguji validitas reliabilitas instrumen. Cara menguji validitas instrumen dapat dilakukan dengan meminta pertimbangan ahli (expert judgement) atau dengan mengukur kadar validitas dan reliabilitas melalui uji coba instrumen di luar lokasi riset. Hasil uji validasi ini diungkapkan di bagian metodologi.
Keenam, menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian. Setelah tahap pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah menganalisis data. Pada umumnya, sampai dengan tahap lima kegiatan penelitian berlangsung lancar, namun pada tahap keenam terjadi kemandegan. Hal ini dapat terjadi karena peneliti tidak tahu bagaimana “memasak” data menjadi sajian “makanan” yang dapat disantap oleh pihak lain. Oleh karena itu, seorang peneliti harus mempersiapkan “menu” pengolahan data. Jika penelitian kuantitaif maka harus disiapkan menu uji statistik parametrik atau non-parametrik. Dalam penelitian kualitatif digunakan menu deskriptif yang menyajikan pernyataan-pernyataan atau data khusus sebagai dasar konklusi. Namun, keduanya selalu diakhiri dengan sajian hasil penelitian (display data) sebagai “makanan tersaji” untuk memudahkan pihak lain memahami temuan penelitian.
Ketujuh, menginterpretasi hasil atau temuan penelitian dan menyusun pernyataan simpulan. Tahap menginterpretasi merupakan pemberian makna terhadap sajian hasil penelitian (display data) berupa pernyataan atas sajian itu, seperti pemberian nama kepada “makanan tersaji” atau pemberian konstum dan identitas diri dari hasil penelitian. Dari pemberian makna atas sajian hasil penelitian ini, selanjutnya peneliti menyusun pernyataan simpulan. Pernyataan ini selaras dengan rumusan masalah atau pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian, baik dari segi substansi, jumlah, maupun isinya. Penyusunan simpulan seringkali dilengkapi dengan rekomendasi atau saran yang merujuk pula pada simpulan yang telah diungkapkan.

D.Penutup
Demikian paparan tentang merancang penelitian pendidikan. Kegiatan penelitian merupakan aktivitas rutin seorang akademisi. Oleh karena itu, karakteristik penelitian merupakan karakteristik individu seorang akademisi. Dengan cara memahami langkah-langkah penelitian dalam pendidikan diharapkan seorang peneliti akan dapat mengembangkan kemampuan penelitiannya.

Kepustakaan
Creswell, john W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitive and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
McMillan, James H. dan Sally Schumacher. 2001. Reseach in Education. Fifth Edition. New York United State: Longman Publisher.
Hatch, Evelyn dan Anne Lazaraton. 2001. The Research Manual: Design and Statistics for Applied Linguistics. New York: Newbury House Publisher.

25 Oktober, 2010

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Cerdas dan Berkualitas


Suherli Kusmana


A. Pendahuluan
Topik tentang pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih merupakan isu yang sangat menarik. Berbagai pandangan tentang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa disajikan dalam forum ilmiah para guru dan dosen. Dalam forum ini diangkat beberapa pengalaman dan hasil-hasil penelitian tentang cara meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia.
Pada tahun 1990-an persoalan pembelajaran bahasa Indonesia selalu diarahkan pada kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan diberlakukan secara nasional. Sejak tahun 2006, kurikulum dikembangkan oleh sekolah-sekolah sehingga tidak ada kurikulum yang berlaku secara nasional. Pemerintah hanya menerbitkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, selanjutnya SI dan SKL dikembangkan oleh sekolah menjadi Kurikulum Sekolah (diberi istilah KTSP). Kurikulum sekolah ini selanjutnya dikembangkan ke dalam silabus pembelajaran. Dari silabus kemudian dikembangkanlah perencanaan pembelajaran berdasarkan Kompetensi Dasar yang harus dibelajarkan.
Guru memiliki kewajiban untuk mempersiapkan program pembelajaran. Oleh karena kurikulum itu dikembangkan oleh sekolah, maka guru tidak mungkin menyiapkan RPP dengan mencontoh (mengkopi) dari RPP guru Bahasa Indonesia dari sekolah lain. Guru dituntut untuk kreatif dalam menyusun program perencanaan pembelajaran. Bahkan seharusnya penyusunan RPP dilakukan berdasarkan refleksi atas kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan guru.
Kebiasaan salah yang sering dilakukan para guru adalah mengembangkan silabus menjadi RPP, dengan menggunakan urutan bahan yang terdapat di dalam buku paket atau buku teks pelajaran. Pengembangan buku teks pelajaran dilakukan penulis berdasarkan penafsiran terhadap Standar Isi yang meliputi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
Banyak pihak yang masih mengkhawatirkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, siswa SMA di Amerika, Belanda, dan Prancis diwajibkan membaca 30 buku sastra. Demikian pula di negara-negara Asia, seperti di Jepang para siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra, di Brunai diwajibkan membaca 7 buku sastra, dan di Singapura diwajibkan membaca 6 buku sastra. Oleh karena punya keinginan untuk meningkatkan kemampuan membaca bagi para siswa di negara kita, maka dalam Standar Isi ditetapkan target jumlah bacaan sastra dan nonsastra yang harus dibaca. Siswa lulusan SD/MI harus sudah membaca 9 buku; lulusan SMP/MTs harus telah membaca 15 buku; dan lulusan SMA/MA harus telah membaca 15 buku sastra atau nonsastra. Jadi jika seluruh tingkatan digabung, maka siswa lulusan SMA akan telah membaca 39 buku sastra dan nonsastra. Namun, dalam kenyataan di sekolah-sekolah hal ini masih diabaikan para guru.
Kualitas pembelajaran yang dilakukan guru masih belum menyentuh permasalahan yang esensial. Penekanan standar kompetensi di dalam Standar Isi dengan hanya mengarahkan pada empat kompetensi berbahasa (Mendengarkan, Berbicara, Membaca, dan Menulis) masih belum dipahami pendidik. Kenyataan ini masih ditemukan ketika pendidik membelajarkan siswa untuk membaca dengan standar kompetensi “Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif” dengan kompetensi dasar “Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif”. Di dalam kelas guru malah menerangkan kedua jenis paragraf tersebut, baik melalui teknik ceramah maupun tanya jawab. Selanjutnya, siswa berlatih menuliskan kedua jenis paragraf tersebut. Sampai dengan akhir pembelajaran, siswa tidak dilatih membaca paragraf demi paragraf untuk menemukan perbedaan kedua paragraf tersebut.
Pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang diujian-negarakan. Penyusunan soal UN diselenggarakan oleh BSNP dan Puspendik Depdiknas dengan mengundang para guru terpilih untuk menyusun soal sesuai dengan SI dan SKL dengan arahan dari ahli. Setiap soal diseleksi sangat ketat dengan kajian dari berbagai pihak ini dimaksudkan agar soal valid dan reliabel. Oleh karena pertimbangan pembagian kewenangan, maka tidak seluruh kompetensi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di-UN-kan, karena harus memberi porsi untuk Ujian Sekolah dalam mengukur kompetensi mendengarkan dan berbicara. Soal UN lebih diarahkan untuk mengukur kompetensi membaca dan menulis. Namun kenyataannya, para pendidik pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK atau MA/MAK selalu saja dihantui ketakutan jika siswanya tidak dapat menjawab soal dengan baik. Tidak sedikit di antara mereka kemudian melakukan berbagai upaya “nakal” untuk menghilangkan ketakutan itu, bahkan “terorganisasi dengan rapi”.
Persoalan lain tentang kondisi sumber daya tenaga pendidik yang belum adaptif dan visioner. Pada beberapa sekolah, masih terdapat pendidik yang menggunakan teknik ceramah untuk membelajarkan siswa belajar berbahasa atau bersastra. Mereka beranggapan bahwa jika tidak menerangkan maka tidak termasuk mengajar. Padahal guru bahasa Indonesia bukan harus mengajarkan “bahasa atau sastra” tetapi membuat siswa belajar menggunakan bahasa atau sastra dalam konteks kehidupannya. Dari hal ini, diharapkan siswa memiliki pengalaman berharga dalam berbahasa di dunia nyata, bukan dunia sekolah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.” Dengan demikian, jika guru mengajari siswa berpidato dengan menerangkan pengertian pidato, jenis-jenis pidato, dan cara berpidato maka siswa hanya beroleh 20% saja dari materi yang diajarkan. Berbeda halnya jika membelajarakan mereka untuk mengalami berpidato, ia harus mampu mengungkapkan dan melakukan kegiatan berpidato sehingga perolehan materi akan mencapai 90% dari yang dibelajarkan guru.

B. Berbagai Pemikiran tentang Pembelajaran Berbahasa
Dalam rangka mengatasi permasalahan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah muncullah berbagai pemikiran dan gagasan, baik disampaikan dalam ceramah-ceramah terbatas maupun dalam forum ilmiah seperti Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia. Dalam buku ini disajikan berbagai pemikiran tentang pembelajaran Bahasa Indonesia.
Ibnu Wahyudi (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) memandang bahwa pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam perspektif komunikasi modern. Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah memerlukan kesungguhan yang ekstra karena dalam berkomunikasi verbal, baik lisan maupun tulisan, sangat sering kita melakukan keteledoran, ketidakcermatan, kemanasukaan, dan semacamnya, yang dapat mengakibatkan tergerusnya pesan menjadi tidak lagi lengkap atau utuh. Di sisi lain Ibnu Wahyudi menyadari bahwa guru tidak boleh menyerah ketika di era komunikasi modern seperti dewasa ini, yang menuntut cara berkomunikasi tulis itu harus menyesuaikan diri dengan media yang dipakai, seperti sms, facebook, chatting, tweeter, dan lainnya lagi.
Dalam hal pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, Ibnu Wahyudi menyatakan bahwa pembelajaran yang menuntut kecerdasan olah-kata masih belum banyak dikembangkan. Penyebab belum ditumbuhkannya urgensi kecerdasan olah-kata dalam pembelajaran karena kurang jelasnya tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, di sisi lain sangat mungkin disebabkan oleh kendala yang sangat teknis, seperti terbatasnya sumber atau contoh bacaan.
Sementara itu, Yeti Heryati (Universitas Islam Negeri Bandung) menyodorkan konsep penerapan Active Learning dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Yeti Heryati menganut prinsip belajar konstruktivistik yang lebih mengoptimalkan aktivitas siswa dalam belajar. Siswa tidak dipandang sebagai bejana kosong yang siap melakukan transmisi keilmuan. Menurut teori konstruktivis, prinsip yang paling penting dalam proses pembelajaran adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa aktif memproses pengetahuan dan keterampilan secara mandiri. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru memfasilitasi siswa untuk dapat mempermudah proses tersebut, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajari siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Sekaitan dengan memberi kesempatan kepada siswa aktif dalam pembelajaran dan guru melakukan perubahan paradigma pembelajaran, Isah Cahyani (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung) menyodorkan pemikiran tentang pengembangan jatidiri siswa melalui pendidikan keberwacanaan. Pengembangan jatidiri ini banyak manfaat, di antaranya membantu siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi; memiliki nilai balik (rate of return) setelah siswa menyelesaikan studi; memiliki multi-fungsi bagi siswa dalam mengembangkan potensi diri. Pendidikan keberwacanaan dilakukan guru dengan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan dunia kerja dan kehidupan di luar sekolah.
Dalam pendidikan keberwacanaan ini, guru mengubah paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang terpusat pada guru ke pembelajaran yang terpusat pada siswa. Pendekatan pembelajaran yang berbasis mengajar (guru yang aktif) diubah ke dalam bentuk siswa membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri dari berbagai variasi informasi melalui suatu interaksi dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya, Yeti Mulyati (Universitas Pendidikan Indonesia) melengkapi pemikiran di atas yang menyatakan bahwa pendidikan keberwacanaan atau pendidikan literasi diarahkan pada pemecahan masalah dalam kehidupan. Para siswa dibekali kemampuan literasi (keberwacanaan) agar kemampuan literasi yang dimilikinya itu dapat berimbas terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dengan demikian, mereka dapat memfungsikan keterampilannya itu untuk kepentingan life skills di dalam kehidupan sesungguhnya di masyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia yang diarahkan pada upaya membangun budaya literasi terutama pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas peserta didik menggunakan bahan ajar dalam berkehidupan. Peserta didik belajar berbahasa atau bersastra untuk dunia nyata, bukan dunia sekolah.
Lebih jauh, Yeti Mulyati menyodorkan ancangan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan literasi berbasis pemecahan masalah. Kemasan pembelajaran itu dapat dilakukan secara integratif, baik integrasi ke dalam dengan mengintegrasikan beberapa kompetensi dasar dalam lingkup bidang studi itu sendiri, maupun integrasi keluar melalui pendekatan lintas bidang studi. Pembelajaran bahasa Indonesia secara komunikatif-integratif yang berwarnakan problem based-learning bukan saja dapat mendongkrak penguasaan empat aspek keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis), melainkan juga secara tidak langsung dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis-kreatif siswa.
Di sisi lain, Asep Nurjamin (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Garut) masih mengurai tentang problematika pembelajaran Bahasa Indonesia. Ia mengungkapkan pemikiran tentang perlunya penguatan kelembagaan institusi dalam pembinaan Bahasa Indonesia. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kemampuan untuk “memaksa” para siswa untuk menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Sekolah tidak boleh kalah dengan model-model penggunaan bahasa yang ditawarkan masyarakat, baik melalui tuturan langsung, melalui media cetak atau elektronik walaupun model penggunaan bahasa yang ditawarkan lingkungan itu secara kuantitatif jauh lebih besar daripada model yang disediakan sekolah.
Hal yang lebih penting lagi dikembangkan di sekolah adalah kejelasan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran ini adalah membuat para siswa terampil menggunakan bahasa, baik keterampilan reseptif maupun keterampilan produktif. Keterampilan reseptif yang meliputi keterampilan menyimak dan membaca, sedangkan keterampilan produktif yang meliputi keterampilan berbicara dan keterampilan menulis. Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah harus fokus pada pengembangan keterampilan berbahasa ini.
Dadang S. Anshori (Universitas Pendidikan Indonesia) menyoroti peran bahasa jurnalistik dalam pengembangan Pembelajaran Bahasa Indonesia. Ia melakukan penelitian terhadap buku teks yang digunakan dalam pembelajaran. Dari kajian yang dilakukannya, Dadang S.Anshori menemukan penggunaan bahasa jurnalisitik yang cukup dominan di dalam buku teks pelajaran. Para penulis buku teks pelajaran banyak memanfaatkan penggunaan bahasa jurnalisitik untuk kepentingan pembelajaran. Para penulis buku memanfaatkan media massa selain untuk kepentingan informasi juga untuk contoh penyajian wacana atau sumber pengetahuan. Penulis buku teks bahasa Indonesia banyak mengambil wacana dari media massa (koran, tabloid, majalah, internet) sebagai contoh teks, bahan latihan, atau sumber pengetahuan.
Teks yang bersumber dari media massa cetak dalam buku teks mata pelajaran bahasa Indonesia ada yang ditulis utuh (apa adanya), ada yang sudah mendapatkan penyuntingan seperlunya dari penulis buku, dan ada pula yang dirangkum ide dan gagasannya. Keragaman jenis wacana tersebut sangat bergantung pada kreativitas penulis buku ajar tersebut. Penulis buku yang kreatif tentu tidak akan mengambil teks koran secara utuh, kecuali untuk kepentingan contoh (latihan). Bahasa koran bagaimanapun belum sepenuhnya layak untuk dikatakan bahasa akademik (bahasa pedagogis).
Berdasarkan penelitian Anshori (2003) tentang sumber teks (wacana) buku pelajaran Bahasa Indonesia SMA menunjukkan bahwa sebanyak 41,67% sumber bacaan siswa kelas X berasal dari koran dan majalah. Untuk buku teks siswa kelas XI sebanyak 79,12% berasal dari koran dan majalah. Buku teks siswa kelas XII mengambil materi sebanyak 52,94% dari koran dan majalah. Data ini menunjukkan intensitas pemakaian bahasa koran sebagai sumber pembelajaran di sekolah di Indonesia. Hal ini berarti dinamika pemberitaan dalam bahasa jurnalistik, secara tidak langsung menjadi bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia di ruang kelas.
Sejalan dengan pemanfaatan sumber bahan pembelajaran, Lina Meilinawati (Universitas Pajajaran Bandung) malah melihat penggunaan Lagu Popular Indonesia sebagai media pembelajaran berpikir logis dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Pada dasarnya pembelajaran Bahasa Indonesia juga pembelaran berpikir. Di sekolah-sekolah di Indonesia belum dikembangkan materi khusus pelajaran berpikir, sementara di negeri jiran merupakan mata pelajaran khusus. Untuk itu, kiranya sangat tepat jika di negeri kita kemampuan berpikir dimasukkan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, sebab berbahasa berarti berpikir.
Lina Meilinawati menyatakan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia dapat menggunakan teks sebagai peristiwa komunikasi jika memenuhi tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu adalah keutuhan (koherensi), kesatuan (kohesi), kejelasan maksud pengirim (intentionality), keberterimaan (acceptability), memberi informasi (imformativity), situasi pengujaran (situationality), dan intertualitas (intextuality). Apabila lagu popular Indonesia memiliki karakteristik ini maka dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran berpikir, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Pembelajaran akan semakin dinamis dan menarik dilakukan.
Dalam mencermati teks sebagai media pembelajaran Bahasa Indonesia, Syafrina Noorman (Universitas Pendidikan Indonesia) menyodorkan tentang teks dengan isu kontroversial. Penggunaan media teks dengan isu yang kontroversial ini dapat digunakan sebagai alat untuk melatih kemahiran berpikir. Kemahiran berpikir kritis merupakan kebutuhan mendasar di alam yang sangat terbuka dan cair seperti sekarang. Sebagai gambaran, informasi yang deras, batas yang mengabur berpotensi memunculkan beraneka masalah sosial yang jika tidak disikapi secara arif dan cerdas dapat memicu pertentangan, keresahan dan, bukan mustahil, kerusuhan. Bersikap dan berpikir krtitis menjadi sebuah kebutuhan agar dapat memilah dan memilih informasi yang tepat serta dapat menentukan batas untuk menentukan keberpihakan atau posisi terhadap suatu informasi.

C. Gagasan tentang Pembelajaran Bersastra
Maman Suryaman (Universitas Negeri Yogyakarta) mengungkapkan kerisauannya tentang pembelajaran Bahasa Indonesia yang hanya diarahkan pada pengembangan kognitif. Padahal, kecerdasan manusia secara operasional dapat digambarkan ke dalam tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus berkembang. Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia harus tumbuh. Melalui pengembangan afektif, kapasitas sikap manusia harus mulia. Namun, di dalam kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran lebih diarahkan pada pencerdasan yang bersifat kognitif. Pada tataran ini pun, kecerdasan intelektual yang bersifat kognitif masih terbatas pada pengembangan kemampuan menghafal atau transfer pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan soal-soal ujian. Pengembangan kognitif yang lainnya masih diabaikan, misalnya, dalam hal pengembangan kognitif untuk meningkatkan daya kritis.
Sastra merupakan cerminan keadaan sosial budaya bangsa yang harus diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131) sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial-budaya dari keadaan yang terpuruk dan ’terjajah’ ke keadaan yang mandiri dan merdeka. Sastra harus mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual. Sastra juga sastra dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa. Oleh karena itu, disodorkanlah pemikiran tentang pembelajaran sastra berkarakter dan mencerdaskan.
Dalam meningkatkan kaulitas pembelajaran bersastra di sekolah-sekolah Puji Santosa (Pusat Bahasa Kemdiknas Jakarta) menyodorkan pembelajaran sastra yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran bersastra di sekolah harus dapat menyenangkan, kreatif, dan inovatif bagi siswa dan guru. Pembelajaran bersastra yang dapat menyenangkan harus mengandung unsur hiburan dan tidak membosankan. Dengan adanya daya kreatif dan kreativitas itu siswa dan guru dapat melakukan kegiatan sehari-hari penuh vitalitas hidup, bersemangat, tidak mengenal kata putus asa, bahkan tampak lebih berseri, penuh rasa optimis. Daya kreatif siswa dan guru dapat menimbulkan daya inovatif, yakni kemampuan untuk diperdayakan dengan cara selalu mencari hal-hal yang baru, berbeda dari yang sudah ada, segar, dan cemerlang.
Sejalan dengan peningkatan pembelajaran bersastra, khususnya dalam memehami puisi Kuswara (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sebelas April Sumedang) menyodorkan alternatif melalui pendekatan Semiotika. Ia menyatakan bahwa selama ini di sekolah pendekatan yang biasa digunakan untuk mengkaji puisi adalah pendekatan struktural. Jenis pendekatan ini sulit untuk diterapkan dalam kegiatan kajian puisi-puisi kontemporer karena penyair tidak menggunakan kata seperti dalam penggunaan bahasa sehari-hari, terutama dalam hal makna kata tersebut. Namun, bukan berarti pengalaman bersastra yang telah ada tidak dapat digunakan sama sekali. Kata dalam puisi kontemporer tetaplah kata yang digunakan dalam kegiatan komunikasi manusia. Perbedaannya hanya bahwa tidak semua kata yang terdapat dalam puisi kontemporer dapat dijelaskan maknanya sebab kata-kata tersebut hanya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan musikalisasi dalam puisi tersebut. Oleh karena itu pendekatan semiotika merupakan alternatif dalam meningkatkan kemampuan bersastra, khususnya dalam memahami puisi-puisi kontemporer.
Dalam upaya meningkatkan pembelajaran bersastra, Dede Endang (Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon) menyodorkan konsep pembelajaran sastra yang apresiatif, ekspresif, dan kontekstual. Berdasarkan penelitian terhadap guru-guru, dengan sampel guru SD di Cirebon diketahui bahwa mereka mengajarkan sastra tidak mendalam. Mereka mengandalkan buku pegangan siswa yang ada di sekolah, baik berupa buku paket, maupun buku yang dibeli dari penerbit swasta. Pada umumnya (89%) para guru tidak menggembangkan bahan ajar yang dibuat sendiri, melainkan menggunakan buku teks pelajaran yang diterbitkan penerbit swasta.
Dalam proses belajar mengajar, khususnya pembelajaran bersastra para guru banyak yang memanfaatkan buku teks pelajaran sebagai pedoman pengajarannya. Anggapan mereka, buku pelajaran sudah memberi kepraktisan dalam proses belajar mengajar. Siswa sebagai pembelajar dapat mengerjakan latihan dan tugas yang ada di buku. Dengan demikian, pembelajaran bersastra menjadi tidak menarik. Oleh karena itu, Dede Endang mendorong agar para guru dapat mengembangkan modul pembelajaran bersastra yang dibuat sendiri. Pengembangan modul yang dikembangkan oleh guru sendiri akan lebih sesuai dengan kemampuan dan kepribadian siswa daripada buku teks pelajaran yang disusun dengan tidak mempertimbangkan aspek tersebut.
Berbeda dengan pemikiran pembelajaran bersastra di atas, disodorkan oleh Sumiyadi (Universitas Pendidikan Indonesia) tentang model pembelajaran Advance Organizer. Model ini cocok digunakan dalam perkuliahan bersatra di perguruan tinggi. Model Advance Organizer adalah teknik pengajaran yang dilakukan guru dengan cara membuat kerangka pelajaran dan mengorientasikan siswa pada materi sebelum materi itu diajarkan. Guru menggunakan advance organizer pada saat memulai satu pelajaran untuk membantu siswa melihat “gambaran besar” dari apa yang akan dipelajari dan bagaimana makna dari informasi yang terkait. Dengan demikian, advance organizer dapat dianggap sebagai hook (kail/cantelan), jangkar, scaffolding (perancah/kerangka pendukung) intelektual bagi meteri pembelajaran selanjutnya sehingga mampu “melukiskan dengan jelas, tepat, dan eksplisit persamaan dan perbedaan antara ide-ide yang ada dalam sebuah hal baru yang sedang dipelajari, di satu pihak, dan konsep-konsep terkait yang sudah ada dalam struktur kognitif, di pihak lain (Arends, 2008:265).
Pada dasarnya pada setiap manusia telah terbangun struktur kognitif tentang pengetahuan yang diasosiasi dan diakomodasi oleh siswa sendiri dalam belajar ke dalam skematanya. Model advance organizer dapat dianggap sebagai pembelajaran terhadap siswa dalam mengolah dan memproses informasi atau kemampuan yang dibelajarkan kepadanya.

D. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa
Pemikiran tentang pembelajaran berbahasa diarahkan pada peningkatan kemampuan siswa berliterasi. Aktivitas pendidik dalam kelas ketika melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis literasi lebih ringan, yaitu (1) mengarahkan aktivitas peserta didik; (2) memilih dan menyiapkan bahan pembelajaran; (3) memerika hasil kerja peserta didik; (4) mengarahkan sistem berkomunikasi keilmuan; (5) berkoordinasi dalam menyiapkan latar kelas untuk kegiatan berbahasa.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran menulis, Siti Maryam (Universitas Suryakancana Cianjur) mengusulkan pembelajaran kreativitas berbahasa, terutama dalam menulis esai di sekolah. Esai merupakan jenis tulisan populer yang memberi kesempatan kepada penulisnya untuk mengutarakan pikiran, perasaan, imajinasi, dan mungkin intuisinya dengan menggunakan bahasa yang kreatif. Melalui esai, berbagai kehendak, inspirasi, dan inovasi untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dapat difasilitasi. Untuk membangun interaksi komunikasi yang kondusif, esai hendaknya disusun dengan memperhatikan aspek kreativitas berbahasa sehingga esai merupakan produk penggunaan bahasa sesuai dengan tuntutan fungsi komunikasi masyarakat Indonesia.
Pembelajaran kreativitas berbahasa dalam menulis esai dapat memberikan pengalaman kepada siswa untuk mengepresikan pikiran, perasaan, keinginan, harapan, dan imajinasinya terhadap berbagai masalah kehidupan. Pengalaman tersebut dapat menyadarkan dirinya sebagai anggota masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kualitas kehidupan.
Sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan menulis, Khaerudin Kurniawan (Universitas Pendidikan Indonesia) menyodorkan pendekatan kolaboratif dalam pembelajaran membaca dan menulis, khususnya di perguruan tinggi. Keterampilan membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau keduanya mendapat tempat dan porsi yang layak dalam kurikulum pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di perguruan tinggi. Namun demikian, sekalipun membaca dan menulis telah mendapat porsi yang lebih besar, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam melakukan aktivitas dan tradisi membaca dan menulis setelah perkuliahan belum menunjukkan hasil yang memadai. Untuk itulah, Khaerudin menyodorkan pendekatan kolaboratif digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis.
Dalam pengembangan silabus pembelajaran, Jaja (Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon) menganjurkan dilakukan dengan menggunakan konsep kolaborasi. Penyusunan silabus dengan berkolaborasi sering dijadikan solusi untuk memecahkan berbagai masalah penyediaan silabus berkualitas. Istilah koborasi diartikannya sebagai pekerjaan intelektual yang dikerjakan bersama-sama atau mengerjakan sesuatu bersama-sama, sebelum memiliki kemandirian dalam mengembangkannya.
Di akhir tulisan, Bode Riswandi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya) menyatakan tentang kondisi guru pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah terhadap pembelajaran bersastra. Pada umumnya sastra dipandang sebagai suatu yang mudah disampaikan. Namun, untuk menangkap fenomena bersastra itu tidaklah mudah, diperlukan gairah intuitif dan kepekaan sastra. Oleh karena itu, diperlukan media yang mampu mengantarkan seseorang sampai pada taraf ‘menjadi’. Pada kasus ini, sastra jadi media konkret yang telah berbicara dari zaman ke zaman. Dalam berbagai genre sastra (Puisi, Prosa, dan Drama) seluruh persoalan yang telah dikemukakan di atas merupakan bahan bakar yang mewadahi kekuatan pola pikir dan imanjinasi kreatornya. Seorang guru Bahasa Indonesia yang harus membelajarkan siswa berbahasa dan bersastra memerlukan pengembangan diri dalam menyenangi tugas profesinya dan bahkan memiliki aktivitas bersastra sebagai pengalaman bagi pembelajaran yang akan dilakukannya.

E. Simpulan
Berdasarkan berbagai kupasan tentang pembelajaran Bahasa Indonesia yang meliputi pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra sangat perlu dilakukan dengan cerdas dan kreatif. Guru sebaiknya menggunakan berbagai kemampuannya untuk terus meningkatkan profesionalisasi dalam bidangnya. Bahkan, guru memiliki kreativitas untuk dapat menyajikan situasi belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan bersastra siswa.
Dalam meningkatkan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, maka tumpuan harapan berada di pundak guru. Dalam pembelajaran, seorang guru harus cerdas dan kreatif agar dapat menghasilkan siswa yang cerdas dan kreatif juga. Semakin cerdas dan kreatif guru dalam mengajar maka semakin bagus proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan.
Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dengan memerhatikan esensi dari “belajar” berbahasa atau bersastra Indonesia. Siswa belajar bahasa Indonesia itu meliputi keseluruhan kompetensi berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis bukan hanya mendengarkan tentang bahasa atau tentang sastra. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru adalah membaca bahan atau tulisan ini, memahaminya, kemudian menerapkannya dalam pembelajaran. Semoga.



Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar (2001) Membangun Kota Berbudaya Literat. Media Indonesia. Jakarta, Sabtu 6 Januari 2001.
Baynham, Mike. (1995) Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman.
Cooper, J.D. (1993) Literacy: Helping Children Construct Meaning. Boston Toronto: Hougton Miffin Company.
Costa, A. L. (1985) Development Mind Research Book for Teaching Thinking. Alexandria Firginia: The Association for Supervision and Curriculum Development.
Davis, Phil (1996) Information Literacy: From Theory and Research to Developing an Instructional Model. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/literacy/.html. [4 Februari 2001].
Dixon-Krauss, Lisbeth (2000) A. Mediation Model for Dynamic Literacy Instruction. Tersedia: http/www.psych.hanover.edu/vygotsky/ Kraus.html. [17 Desember 2000].
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. (1974) The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Evans, Linda (1994). Information Literacy. Ocotillo Report ’94. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/ literacy/ assembly.html. [4 Februari 2001].
Goleman, Daniel (1997) Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Joyce, Bruce dan Marsha Weil. (1986) Models of Teaching. Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs.

24 Oktober, 2010

Eksistensi Bahasa Indonesia


Suherli Kusmana

Tanggal 28 Oktober merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal itu, dikukuhkan Sumpah Pemuda yang mengakui tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu, yaitu Indonesia. Ikrar politik organisasi kepemudaan pada masa itu telah mampu memacu semangat seluruh elemen rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang bersatu dan berjuang untuk merdeka. Demikian pula pada masa kini, tanggal 28 Oktober selalu menjadi perekat nasionalisme, komitmen, dan perjuangan untuk tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Rongrongan terhadap tanah air dan bangsa dapat dideteksi dengan mudah. Namun, rongrongan terhadap bahasa Indonesia tidak terasa karena ia menyusup melalui pengguna bahasa dalam berkomunikasi. Eksistensi tanah air dan bangsa menjadi tanggungjawab semua pihak dengan TNI sebagai garda paling depan untuk mempertahankannya. Namun, untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia hampir tidak ada yang menghiraukannya. Kecuali, para guru Bahasa Indonesia yang dengan berat ia berjuang paling depan dalam melakukan pembinaan bahasa Indonesia melalui pembelajaran di kelas. Para pemerhati bahasa Indonesia melalui ketajaman penanya pun seringkali membantu melakukan pembinaan bahasa Indonesia melalui tulisan yang cerdas.
Dalam dasawarsa ini, bahasa Indonesia diuji kekuatannya dengan gempuran eksistensi dari bidang-bidang lain, seperti teknologi, bisnis, properti, dan pertunjukan. Bahasa pada dasarnya sangat bergantung pada pengguna, jika pengguna mampu memakai bahasa secara cerdas maka penggunaan bahasa pun positif. Pengguna bahasa memiliki keberagaman latar belakang penguasaan, pemahaman, dan kepentingan sehingga sulit sekali menyatukan keberagaman tersebut. Eksistensi bahasa Indonesia diperlemah oleh penggunanya sendiri.
Dalam bidang binis, seringkali penggunaan bahasa Indonesia menjadi nomor dua. Untuk menunjukkan suatu aktivitas kantor saja harus menggunakan Open dan Closed, misalnya. Padahal pelanggannya orang Indonesia yang telah mengerti kata Buka dan Tutup. Dalam bisnis digunakan istilah soft launching yang mungkin lebih dipahami bangsa Indonesia jika menggunakan istilah perkenalan awal. Bahkan, tukang jahit saja menjadi ikut-ikutan dengan menamai dirinya dengan Maju Makmur Tailor yang maksudnya Penjahit Maju Makmur.
Bidang komunikasi dan informasi yang sangat deras menyerbu pengguna bahasa Indonesia. Pengguna harus menggunakan kata downloud dan uploud yang padanannya sudah disediakan dengan unduh dan unggah untuk masing-masing kata tersebut. Bidang proferti pun mulai kembali menjejali pengguna bahasa dengan istilah yang tidak nasionalis. Penggunaan istilah asing untuk nama-nama perumahan cukup mengganggu penggunaan bahasa Indonesia. Misalnya, di daerah saja digunakan Buana TownRegency padahal lokasi perumahan itu di desa, atau Bandung Garden View, pahadal akan lebih familier jika menggunakan Pesona Bandung atau Taman Pesona Bandung.
Pemerintah, melalui Menteri Perumahan Rakyat sudah mendorong agar penamaan kawasan perumahan menggunakan kearifan berbahasa. Namun, kebijakan itu hanya bertahan beberapa tahun, para pengembang menamai rumah yang dikembangkan dengan cerdas dan arif.
Bidang pertunjukan dan hiburan pun ikut memosisikan bahasa Indonesia sebagai pihak yang termarginalkan di negerinya sendiri. Penggunaan bahasa para pelaku cerita dalam sebuah sinetron menggunakan bahasa yang tidak benar. Skenario sinetron masih banyak menggunakan contoh penggunaan bahasa yang kurang tertib. Dalam bidang pendikan pun, bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sudah mulai digeser kedudukannya oleh bahasa Inggris di sekolah-sekolah RSBI atau SBI. Di sekolah dengan standar internasional ini penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran mulai digeser oleh bahasa Inggris.
Eksistensi bahasa Indonesia diuji secara bertubi-tubi dari berbagai bidang. Serbuan yang demikian deras harus dihadapi oleh pengguna bahasa Indonesia. Pengguna yang memiliki kemampuan, pemahaman, dan nasionalis akan dapat mempertahankan eksistensi ini. Namun, jika tidak dibantu oleh berbagai pihak dimungkinkan akan rapuh juga di kemudian hari. Bangsa yang berpendidikan sepatutnya mampu mempertahankan eksistensi bahasanya. Namun demikian, kiranya perlu dibantu berbagai pihak untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia yang telah dicetuskan pada 28 Oktober 1928.
Pertama, untuk membantu eksistensi Bahasa Indonesia lekat di penggunanya diperlukan kebijakan strategis pemerintah Republik Indonesia dalam membina Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pusat Bahasa yang telah ditetapkan pemerintah sebagai Badan Bahasa harus diberi porsi dan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Lembaga ini diberi keleluasaan lebih seperti Menteri Keamanan dan Pertahanan, sebab jika bahasa Indonesia lemah maka ia tidak akan mampu menjadi bahasa pembersatu atau bahasa keilmuan.
Kedua, untuk mendukung program pemerintah pusat yang dilakukan oleh Badan Bahasa tampaknya pemerintah daerah harus mampu menjadi penopang. Pemerintah daerah merupakan pemerintahan yang lebih dekat dengan para pengguna bahasa, sehingga perlu ada kebijakan daerah ihwal perizinan. Misalnya, pemerintah daerah memberikan izin kepada pengembang, pelaku bisnis, atau bidang lain jika ia menggunakan istilah-istilah, nama perumahan, atau nama hotel, unit bisnis waralaba dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pemerintah daerah sepatutnya mendorong nasionalisme penggunaan bahasa, sebagai bentuk kecendekiaan pemakai bahasa di daerah.
Ketiga, sangat diperlukan kearifan dari pengguna bahasa. Bahasa menunjukkan identitas diri. Apabila pengguna bahasa tidak cermat dalam menggunakan bahasanya maka ia juga ceroboh dalam bertindak. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi merupakan alternatif final yang harus dilakukan pengguna bahasa. Semakin tinggi kesetiaan pengguna bahasa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan resmi berbahasa maka akan semakin kuat eksistensi bahasa Indonesia di antara gempuran berbagai bidang terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam berkehidupan sehari-hari.

12 Juli, 2010

Penilaian Otentik


Oleh: Suherli Kusmana

1.Pendahuluan
Salah satu kegiatan evaluasi dalam pendidikan adalah evaluasi pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan seorang guru paling tidak untuk mengetahui (1) keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan; (2) kemampuan dan daya serap peserta didik terhadap materi yang telah dibelajarkan; dan (3) informasi yang sangat berharga sebagai balikan (feedback) bagi guru dalam memperbaiki kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Untuk dapat melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan benar, terlebih dahulu guru harus memahami terminologi evaluasi, pengukuran, dan penilaian. Pengukuran (measurement) adalah kegiatan membandingkan sesuatu dengan suatu formula atau skala tertentu yang sesuai dan bersifat kuantitatif. Skala yang digunakan dari suatu pengukuran adalah nominal, ordinal, interval, atau rasio. Penilaian (grading) adalah suatu proses pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari suatu pengukuran dan bersifat kualitatif (Alderson, 1992). Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penilaian adalah penafsiran skor dari suatu pengukuran untuk memutuskan sesuatu.
Sementara itu, evaluasi pembelajaran adalah kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian dalam suatu proses pendidikan yang melingkupi komponen input, proses, maupun output pendidikan (Hughes, 1989; Alderson,1992). Evaluasi dalam khasanah pendidikan di Indonesia menjadi identik dengan penilaian dan sering disebut juga dengan asesmen (assessment) yang berarti pengambilan keputusan berdasarkan pada suatu kegiatan pengukuran terlebih dahulu. Evaluasi pada umumnya hanya dipahami sebagai kegiatan penilaian, padahal untuk melakukan penilaian seorang guru harus melakukan pengukuran.
Keberhasilan pembelajaran merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari suatu upaya guru dalam berusaha membelajarkan peserta didik, sedangkan peserta didik berupaya menguasai kompetensi yang telah dibelajarkan. Upaya pendidik dan peserta didik ini akan diketahui dari kondisi keberhasilan pembelajaran, sehingga akan diperoleh informasi seberapa efektif dan efisien kegiatan pembelajaran telah dilakukan bersama antara pendidik dengan peserta didik.
Kemampuan dan daya serap peserta didik merupakan suatu kondisi yang dimiliki peserta didik dalam menguasai seperangkat materi atau seperangkat kompetensi yang dengan sengaja dan sadar dibelajarkan. Kondisi ini dapat diketahui dari evaluasi terhadap upaya pembelajaran yang sedang atau telah dilakukan guru.
Dari suatu evaluasi pembelajaran akan diperoleh informasi yang sangat berharga, sebagai balikan (feedback) atau backwash dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru. Dari data hasil penilaian akan diperoleh informasi bagian materi atau kompetensi yang pada umumnya belum dikuasai oleh peserta didik. Dari data yang ada juga dapat diketahui informasi tentang kehandalan metode, teknik atau media yang digunakan dalam pembelajaran. Apabila data-data tersebut diberi makna oleh guru maka akan dapat memperbaiki kegiatan pembelajaran yang akan dilakukannya. Selain itu, informasi ini berarti pula bagi peserta didik dalam merespon kegiatan pembelajaran yang diikutinya.
Namun, kondisi di atas seringkali dipandang bahwa dari suatu evaluasi pembelajaran hanya akan memperoleh informasi tentang nilai. Dari itu, kemudian peserta didik tercipta dalam suatu fenomena yang tidak akademis. Peserta didik akan memandang bahwa nilai sebagai sesuatu yang sangat penting. Pada saat Ujian Nasional pun akhirnya tercipta suatu fenomena yang mengerikan, terjalin kerjasama yang kurang sehat antara guru dengan peserta didik agar nilai UN-nya lebih baik. Ketakutan yang sangat “serius” ini terjadi karena evaluasi hanya dipandang dari satu aspek, hanya nilai. Marilah kita ubah citra evaluasi pembelajaran hanya untuk nilai dengan menerapkan inovasi dalam mengevaluasi kompetensi peserta didik.
Sejalan dengan hal di atas, inovasi dalam evaluasi pembelajaran pun telah banyak dilakukan. Di antaranya, berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2006 tentang Standar Isi bahwa evaluasi yang dianjurkan adalah penilaian otentik (authentic asessment). Penilaian otentik diharapkan dapat mengubah citra penilaian hanya untuk “nilai”.
Penilaian otentik adalah proses asesmen yang melibatkan beberapa bentuk pengukuran kinerja yang mencerminkan belajar siswa, prestasi, motivasi, dan sikap yang sesuai dengan materi pembelajaran (Suurtamm, 2004: 497-513). Penilaian otentik mengukur kemampuan siswa secara akurat tentang kondisi seseorang yang telah belajar, sehingga metode dan teknik evaluasi harus mampu memeriksa perkembangan kemampuannya. Penilaian otentik harus dapat menyajikan tantangan dunia nyata, sehingga peserta didik dituntut menggunakan kompetensi dan pengetahuan yang relevan.
Penilaian otentik dilakukan oleh guru dalam bentuk penilaian kelas. Penilaian ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa pada kompetensi yang ditetapkan. Penilaian ini bersifat internal dan merupakan bagian dari pembelajaran. Penilaian otentik juga sebagai bahan untuk peningkatan mutu hasil belajar. Penilaian ini dilakukan dengan berorientasi pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar, dan dilakukan melalui berbagai cara. Dewasa ini penilaian otentik sedang banyak dikembangkan terutama pada sekolah-sekolah yang telah menetapkan Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) atau Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).

2. Teknik Evaluasi Pembelajaran
Teknik evaluasi yang digunakan dalam pendidikan terdiri atas teknik tes dan teknik nontes. Pada umumnya teknik nontes yang dapat digunakan dalam evaluasi pendidikan adalah wawancara (interview), pengamatan (observasi), skala bertingkat (rating scale), daftar cocok (checklist), kuisoner (kuis), riwayat hidup, dan penilaian otentik (autenthic assessment). Teknik tes dapat berbentuk lisan maupun tulisan, bergantung pada respon (jawaban) yang diberikan oleh peserta didik. Jika peserta didik memberikan jawaban secara tertulis sekalipun tes (soal) disampaikan dengan lisan (dikte), tes tersebut termasuk ke dalam bentuk tes tulisan.
Dalam evaluasi pembelajaran dikenal jenis tes objektif dan subjektif. Jenis tes objektif yang digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif, jenjang Pengetahuan (K1), Pemahaman (2), Penerapan (K3), Analisis (K4), Hipotesis (K5), dan Evaluasi (K6), sedangkan soal-soal subjektif hanya digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif tingkat tinggi, yaitu jenjang analisis (K4), hipotesis (K5), evaluasi (K6), dan kreasi (K7) dalam Taksonomi Bloom (Bloom, 1997). Adapun jenis-jenis tes tersebut adalah sebagai berikut.
a. Soal-soal Subjektif Esai
1) Esai Bebas (mengukur pendapat/pandangan thd sesuatu yang problematis)
2) Esai Berstruktur (esai yang diurut ke dalam beberapa bagian)
3) Esai Terbatas (esai yang problematis tetapi dibatasi oleh pokok persoalan)

b. Soal-soal Objektif Memilih
1) Pilihan Dua Alternatif
(a) Benar-Salah (B-S)
(b) Benar-Salah Beralasan (BSB)
2) Pilihan Ganda (memilih satu jawaban yang benar)
(a) Pilihan Ganda Biasa (PGB)
(b) Pilihan Ganda Kompleks (PGK)
(c) Pilihan Ganda Analisis Kasus (PGAK)
(d) Pilihan Ganda Sebab-Akibat (PGSA)

c. Soal-soal Objektif Menjodohkan
(Menjodohkan dua bagian, kanan dan kiri atau atas dan bawah yang sesuai atau serasi antara soal dengan jawaban)
d. Soal-soal Objektif Melengkapi
1) Isian Singkat (mengisi dalam bentuk kata/frasa)
2) Isian Panjang (mengisi dalam bentuk pernyataan singkat/klausa)
3) Isian Klosur (merumpang bagian tertentu agar dilengkapi)
(a) Klosur Teratur (bagian yang dirumpang tetap, misalnya kata ke-5 dan kelipatannya);
(b) Klosur Tidak Teratur (bagian yang dirumpang bukan berdasarkan urutan kata, namun berdasarakan kesamaan karakteristik bentuk kata, makna kata, atau kesamaan lainnya)
e. Soal-soal Objektif Menjawab
1) Jawaban Singkat (jawaban diungkapkan singkat dalam bentuk kata/frasa)
2) Jawaban Terbatas (jawaban dibatasi oleh lingkup materi)

Teknik-teknik evaluasi sebagaimana di atas seringkali memiliki kelemahan, sekalipun teknik ini dapat mengukur indikator dan prediktor performa akademis. Para penyusun tes cenderung mengukur tentang hal-hal yang harus dikuasai bukan sesuatu yang telah dikuasai siswa. Penyusunan soal cenderung bukan tentang masalah nyata, tetapi sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan guru dalam menggunakan teknik tes tertulis agar dapat meminimalisasi kelemahan-kelemahan tersebut.
Teknik nontes yang dapat dipilih guru untuk mengukur kemampuan peserta didik secara aktual adalah penilaian otentik (authentic assessment). Penilaian otentik dapat dilakukan melalui penilaian (1) unjuk kerja (performance); (2) penugasan (project); (3) kinerja (hasil karya/product); (4) portofolio (kumpulan kerja siswa); (5) penilaian diri (self assessment); dan (6) penilaian sikap. Berikut ini akan dibahas bentuk-bentuk penilaian otentik dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

2.1 Penilaian Unjuk Kerja (Performance)
Penilaian unjuk kerja dinamakan pula penilaian performansi, yaitu merupakan asesmen yang menuntut siswa untuk melakukan unjuk kerja atau perbuatan. Penilaian jenis ini mengukur kemampuan siswa berbahasa atau bersastra, baik secara lisan maupun tulisan sesuai dengan konteks berkomunikasi. Penilaian performansi dapat dilakukan guru, baik pada saat atau setelah kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Dalam melaksanakan penilaian performansi, guru dapat menggunakan format atau pedoman penilaian dalam bentuk pengamatan (observasi), skala bertingkat (rating scale), daftar cocok (checklist), atau format isian yang terbagi atas kategori prilaku. Untuk mendapatkan data kuantitatif dari penilaian performansi ini maka setiap kualitas kategori dapat diberi skor yang sesuai.
Penilaian performansi digunakan untuk mengukur kompetensi yang menuntut siswa berpikir tingkat tinggi. Performansi yang dinilai harus bermakna bagi siswa dalam kehidupannya. Performansi yang dinilai berdasarkan suatu kriteria dari indikator kompetensi yang dikukur dan harus diberitahukan kepada siswa. Oleh karena itu, siswa dapat melatih diri untuk mewujudkan indikator yang telah disampaikan dan dapat pula menilai diri berdasarkan kriteria yang sudah diketahuinya.
Penilaian performansi dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa secara nyata. Guru dapat memilih dan memilah kompetensi dasar yang dapat diases dengan menggunakan jenis penilaian performansi. Terdapat beberapa kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dari siswa yang hanya dapat diases melalui kegiatan nyata sehingga guru dapat merancang penilaian jenis ini sejak awal berdasarkan analisis terhadap komptensi dasar tersebut.
Langkah-langkah yang ditempuh guru dalam melaksanakan penilaian performansi ini adalah:
(1) Mengidentifikasi aspek-aspek penting dari kompetensi yang harus dinilai;
(2) Menyusun kriteria sebagai deskriptor dari kemampuan yang diukur;
(3) Mengurutkan kemampuan yang akan diukur berdasarkan aspek-aspek yang penentu kemampuan tersebut;
(4) Menentukan kualitas setiap kriteria dari aspek yang diamati.
2.2 Penilaian Penugasan (Project)
Penilaian penugasan atau penilaian projek merupakan bentuk asesmen yang menugaskan siswa untuk menyelesaikan suatu kegiatan dalam kurun waktu tertentu. Tugas tersebut dapat berupa investigasi, pengumpulan data, kemampuan menilai sesuatu atau kegiatan tertentu, atau kemampuan mengorganisasikan. Penilaian projek dapat dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa, baik individu maupun kelompok dalam melakukan dan memberikan pengalaman pada suatu topik atau kompetensi tertentu melalui aktivitas berbahasa atau bersastra.
Penilaian projek atau penugasan dapat difokuskan pada dua bagian, yaitu aktivitas siswa selama proses berlangsung dan pada hasil akhir dari kegiatan tersebut. Aspek yang diases dari bagian proses adalah (1) kegiatan perencanaan dan pengelolaan; (2) kerjasama dalam kelompok; (3) kegiatan mandiri; dan (4) kemampuan memecahkan masalah.
Sementara itu, aspek yang diases jika penilaian projek memfokuskan pada bagian hasil akhir adalah (1) kemampuan mengumpulkan data atau materi yang ditugaskan; (2) kemampuan menafsirkan dan mengevaluasi data atau materi; dan (3) kemampuan menyajikan atau mendisplay hasil pengumpulan data dan penafsirannya. Dalam menentukan kualitas kegiatan yang dilakukan, baik pada proses maupun pada hasil akhir siswa dapat mengases secara mandiri. Hasil asesmen siswa ini kemudian divalidasi oleh guru ketika mengases.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penilaian projek ini adalah:
(1) Guru menetapkan kompetensi dasar yang perlu diases melalui penilaian projek;
(2) Guru menetapkan projek yang harus dikerjakan siswa secara mandiri dan yang harus dikerjakan secara berkelompok;
(3) Guru menentukan kompetensi dasar yang harus diases selama kegiatan berlangsung (proses) atau diases hanya pada hasil akhir;
(4) Siswa merencanakan dan melakukan kegiatan projek selama kurun waktu yang ditentukan. Sewaktu-waktu guru dapat mengecek projek yang dikerjakan oleh siswa sebagai bentuk monitoring dan evaluasi.
(5) Selama atau setelah kegiatan projek dikerjakan, guru mengajak siswa untuk menakar diri (mengases secara mandiri) proses atau hasil akhir (produk) yang dikerjakan.
(6) Guru memvalidasi atau menilai ulang proses atau produk dari kegiatan yang dilakukan siswa. Nilai guru merupakan pembanding dari asesmen mandiri yang dilakukan siswa.
2.3 Penilaian Kinerja (Hasil Karya/Product)
Penilaian kinerja atau penilaian hasil karya adalah jenis penilaian otentik yang menitikberatkan pada kemampuan peserta didik dalam membuat suatu produk. Penilaian ini dinamakan pula penilaian produk, namun penilaian yang dilakukan bukan hanya pada hasil akhir, namun juga menilai proses menghasilkan produk tersebut. Produk yang dihasilkan dari penilaian ini adalah karya teknologi atau seni.
Dalam pelajaran Bahasa Indonesia kompetensi siswa yang diukur untuk menghasilkan produk dalam bersastra misalnya berupa naskah puisi, naskah cerpen, naskah novel, naskah drama, dan sejenisnya. Selain itu, produk seni pertunjukan drama atau pentas drama pun termasuk ke dalam kinerja siswa. Kemampuan siswa dalam berbahasa misalnya berupa karangan ilmiah dan laporan suatu kegiatan.
Penilaian yang dilakukan guru meliputi kemampuan persiapan dan proses menghasilkan produk. Penilaian itu meliputi kemampuan merencanakan, menggali, mengembangkan gagasan, dan mendesain hasil karya. Selain itu, penilaian dilakukan juga terhadap produk atau karya peserta didik yang meliputi teknik pengembangan produk, dan proses hasil penyuntingan. Guru dapat pula mengembangkan penilaian terhadap nilai-nilai lain, seperti nilai estetis dan didaktis.
2.4 Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio adalah kegiatan mengases kemampuan siswa dalam mengumpulkan hasil kerja, pemikiran, minat, upaya, dan harapan siswa yang berhubungan dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Portofolio atau kumpulan kerja siswa dapat membantu siswa dalam mengimplementasikan pengetahuan dan pemahamannya dalam suatu kegiatan nyata. Kumpulan kerja ini dapat mengingatkan siswa tentang perkembangan dirinya.
Penilaian portofolio sangat bermanfaat karena penilaian jenis ini (1) merupakan bukti otentik dari kemampuan siswa; (2) menggambarkan kemampuan siswa secara utuh; (3) menggambarkan pengalaman siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran; (4) kumpulan hasil pekerjaan siswa dalam belajar yang telah dikelompokkan; (5) menakar kemampuan secara mandiri; (6) merupakan bentuk kerja sama antara guru dengan siswa.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menerapkan asesmen portofolio adalah:
1) Pengumpulan
Siswa mengumpulkan hasil kerja sebagai bukti pertumbuhan dan kemajuan belajarnya. Pengumpulan koleksi ini disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau standar kompetensi yang dikembangkan. Tentu saja tidak semua standar kompetensi dapat diases melalui portofolio, oleh karena itu perlu kejelasan kompetensi yang dikembangkan siswa secara mandiri.

2) Pengorganisasian
Siswa mengorganisasikan berbagai hasil kerja mereka berdasarkan pengelompokan standar kompetensi yang dikembangkan atau berdasarkan aspek-aspek yang perlu dinilai atau diketahui dari siswa sebagai hasil kerja siswa. Pengelompokan ini dapat membantu guru dalam menentukan penilaian terhadap kinerja siswa.

3) Merefleksi
Siswa melakukan refleksi terhadap bahan-bahan yang telah dikoleksi, dikumpulkan, dan dikelompokan. Siswa harus mempu menjawab manfaat dari pengumpulan portofolio itu bagi pengembangan kompetensi dirinya. Siswa juga harus dapat memberikan penilaian pada kualitas karya yang telah dikumpulkan, sehingga mengetahui kekuatan dan kelemahan serta bagaimana seharusnya memperbaiki karya tersebut.

4) Mempresentasikan
Siswa memajangkan atau menyajikan hasil kerjanya agar diketahui yang lain. Pemajangan dilakukan di tempat-tempat yang sudah disediakan. Pemajangan juga dapat dilakukan melalui display artefak, baik dalam bentuk folder dinamis maupun dalam bentuk gabungan karya.

27 Maret, 2010

Tata Naskah Pidato Kenegaraan


Oleh: Suherli Kusmana

A.Pengantar
Pidato kenegaraan merupakan media komunikasi resmi seorang negarawan atau pejabat Negara di hadapan publik. Pidato ini merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin dengan sasaran yang sangat luas. Komunikasi negarawan ini ditujukan kepada semua komponen, bukan hanya pada khalayak sasaran yang hadir pada suatu acara, melainkan juga kepada semua pihak yang tidak secara langsung menghadiri acara tersebut. Pidato kenegaraan dilakukan secara formal, sehingga memerlukan teks tertulis yang menggunakan bahasa baku.
Mungkin kita masih ingat, ketika Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) berpidato mengungkapkan sikap presiden terhadap penetapan pimpinan Komisi Pemberantasan Kurupsi (KPK) pada tanggal 23 November 2009. Pada saat itu, hampir sebagian besar rakyat Indonesia menunggu-munggu pidato tersebut. Bahkan, di beberapa tempat dilakukan “Nonton Bareng Pidato Presiden”, karena sikap presiden sangat ditunggu-tunggu. Demikian pula ketika Presiden SBY berpidato pada tanggal 4 Maret 2010 dalam menanggapi hasil Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dengan kasus Bank Century, banyak pihak yang menunggu pidato itu. Selain itu, banyak pihak yang berdecak kagum pada pidato tersebut dan di berbagai media dibahas ihwal pidato tersebut.
Pidato kenegaraan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya. Seiring dengan perkembangan media komunikasi, pidato ini dapat dipancarluaskan secara langsung melalui media massa elektronik dan disampaikan secara cepat melalui media cetak. Komunikasi ini makin bertambah efektif, karena aksesibilitas masyarakat yang memiliki kepedulian pada kepentingan bangsa dan negara sangat mudah dilakukan melalui media teknologi. Melalui kegiatan berpidato ini telah semakin mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya.
Seorang pemimpin yang berpidato dapat dianggap sebagai representasi dari suara rakyat dalam menyikapi berbagai fenomena yang terjadi. Pesan dalam pidato yang disampaikan merupakan kecenderungan objektif dari sikap rakyat pada umumnya karena pemimpin mewakili suara mereka. Suara dan sikap rakyat tersebut dapat tercermin melalui wakil-wakil mereka atau berbagai sarana lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan objektif.
Pidato kenegaraan merupakan sikap politik kenegaraan terhadap suatu fenomena yang berhubungan dengan bernegara dan berbangsa. Komunikasi yang disampaikan juga merupakan sikap pemerintah dalam menghadapi suatu persoalan utama yang sedang berkembang di masyarakat. Dari komunikasi ini berdampak pada aspek-aspek lain yang sangat signifikan, misalnya perkembangan perekonomian, kebijakan hubungan luar negeri, atau dinamika politik dalam negeri.
Pidato kenegaraan merupakan bukti sejarah perkembangan suatu masyarakat. Dalam pidato ini tertuang perspektif negara, pemerintahan, atau pemimpin terhadap perkembangan suatu masyarakat yang dipimpinnya. Pidato ini dapat direkam secara visual dan audial sehingga dapat menjadikannya sebagai bukti sejarah. Generasi mendatang dapat mengetahui sejarah yang terjadi pada suatu kurun waktu dari naskah pidato yang terdokumentasi.
Berdasarkan paparan di atas, makna pidato kenegaraan demikian penting sehingga perlu dirancang dalam bentuk naskah pidato yang benar, prima, dan multifungsi. Rancangan naskah pidato kenegaraan, selain harus memerhatikan norma resmi kenegaraan juga menggunakan media (baik bahasa Indonesia maupun Inggris) secara benar. Naskah pidato kenegaraan harus dirancang dengan bahasa yang lugas, objektif, cermat, dan cendekia agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran yang dilakukan oleh khalayak pendengar. Selain harus memerhatikan norma komunikasi kenegaraan, naskah pidato juga harus mengangkat data terkini (update) yang dikomunikasikan kepada khalayak sasaran.

B. Struktur Naskah Pidato
Penggunaan bahasa dalam naskah pidato kenegaraan merupakan ragam baku. Penggunaan ragam baku ini karena sifat naskah pidato bersifat resmi (dalam konteks formal). Bahasa yang digunakan dalam naskah pidato itu bersifat resmi dan termasuk ke dalam bahasa standar. Ragam baku digunakan untuk (1) berkomunikasi yang bersifat resmi, (2) berkomunikasi dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, (3) berbicara di muka umum, (4) berbicara dengan orang-orang yang dihormati, dan menguraikan ilmu pengetahuan dan menulis karya ilmiah (Suwito,1983:159; Kridalaksana, 1985:3).
Bahasa ragam baku itu memiliki sifat (1) kemantapan dinamis, (2) kecendekiaan, dan (3) penyeragaman (Alwi et.all, 1998:13-14; Moeliono, 1981:91-96; Arifin, 2000:19). Kemantapan dinamis berarti bahwa ragam baku memiliki kaidah yang tetap. Meskipun tetap namun bukan berarti tidak mengalami perubahan. Ragam baku tidak dapat berubah setiap saat. Sifat cendekia merupakan ragam baku karena ragam baku mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan dapat dipahami oleh akal. Selain itu, ragam baku berarti menggunakan kaidah yang seragam dalam memaknai bahasa komunikasi sehingga tidak terjadi penafsiran berbeda. Ragam baku berfungsi sebagai (1) pemersatu, (2) pemberi kekhasan, (3) pembawa kewibawaan, dan (4) kerangka acuan
Naskah pidato kenegaraan memiliki struktur naskah yang sama dengan struktur naskah lainnya, yakni bagian (a) pendahulu, (b) isi, dan (c) penutup. Ketiga unsur struktur tersebut disusun secara padu sehingga terbentuk sebuah wacana yang koheren dan kohesif.

1. Bagian Pendahulu
Bagian pendahulu merupakan bagian pembuka. Dalam naskah pidato kenegaraan bagian ini biasanya disajikan salam, penghormatan kepada yang hadir, dan pengantar topik. Perhatikan contoh berikut ini.
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,

Para Tamu, Undangan, baik dari dalam maupun luar negeri yang saya hormati,
Para Pimpinan dan Penggiat Koperasi di seluruh Indonesia yang saya banggakan,

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya cintai,
Hari ini kita bersyukur karena bersama-sama memperingati Hari Koperasi ke-61 Tahun 2008. Atas nama negara dan pemerintah, saya mengucapkan Selamat Hari Koperasi kepada semua Anggota dan Keluarga Besar Koperasi, semoga Koperasi di Indonesia terus berkembang dan semakin berdaya. Saya juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Keluarga Besar Koperasi atas peran dan kontribusinya dalam memajukan ekonomi kerakyatan kita.
(Pidato Presiden RI pada acara puncak Peringatan Hari Koperasi ke-61 Tahun 2008 di Stadion Utama Gelora Bung Karno 12 Juli 2008)
2. Bagian Isi
Bagian isi merupakan bagian inti dari suatu naskah pidato. Pada bagian ini pejabat negara yang berpidato mengungkapkan maksud pidatonya. Bagian isi naskah pidato berupa tanggapan atau respon pemerintah terhadap kegiatan yang sedang berlangsung dan topik yang sedang berkembang. Perhatikanlah kutipan berikut ini!

Saya menilai koperasi serta usaha kecil dan menengah adalah yang paling efektif di dalam mengurangi kemiskinan, yang paling tepat di dalam meningkatkan penghasilan rakyat, dan dapat dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja di negeri kita ini. Peran koperasi dalam mengatasi dan memberikan jalan keluar pada krisis pangan dan energi sangat nyata.

Koperasi di seluruh Indonesia yang saya saksikan pada tahun-tahun terakhir ini telah melakukan kegiatan konkret untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mengembangkan energi alternatif. Ini adalah usaha yang sangat tepat. Negara maju juga melakukan kegiatan seperti ini. Mari terus kita galakkan dan kita kembangkan upaya yang sangat mulia dari koperasi kita untuk mengatasi permasalahan pangan dan energi di negara kita.

3. Bagian Penutup
Bagian penutup merupakan bagian akhir dari suatu naskah pidato kenegaraan. Pada bagian ini disajikan ungkapan penguatan atau penegasan kembali terhadap topik yang disampaikan disertai salam penutup. Perhatikanlah kutipan berikut ini!

Akhirnya kepada Keluarga Besar Koperasi, saya ucapkan selamat berjuang, Jayalah koperasi Indonesia. Mari kita tingkatkan kemandirian bangsa melalui koperasi. Kalau koperasi bisa, Indonesia juga bisa maju. Dirgahayu koperasi.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

C. Tahap Penyusunan Naskah
Dalam berbagai kesempatan Presiden SBY berpidato mendapat pujian dari berbagai pihak. Rakyat bahkan bangga karena mereka memiliki Presiden yang sangat menguasai permasalahan, menyampaikan gagasan demi gagasan secara baik, lancar, dan sangat menguasai masalah. Tentu saja, penilaian tersebut merupakan kebanggaan bagi tim penyusun naskah pidato dan penyedia IT yang membantunya dengan telepromter sehingga pelaksaan pidato Presiden sangat membanggakan.
Apabila dicermati secara saksama, terdapat lima tahapan dalam penyusunan naskah pidato itu, yaitu (1) inventio, (2) dispositio, (3) elocutio, (4) memoria, dan (5) pronunciatio (Rakhmat, 1982:6).

1. Inventio
Tahap inventio berarti tahap penemuan dan pencarian bahan pembicaraan atau bahan-bahan untuk naskah berpidato. Bahan dapat dikumpulkan setelah topik yang hendak disampaikan ditentukan. Pengumpulan bahan dilakukan dengan mengupayakan berbagai sumber yang dapat mendukung topik, mulai dari sumber media cetak hingga media elektronik. Upaya pencarian ini bahkan dilakukan oleh tim penyusun dengan menghubungi pihak-pihak yang berkeperluan.

2. Dispositio
Setelah bahan dikumpulkan tahap berikutnya adalah dispositio. Tahap dispositio berarti tahap penyusunan dan pengorganisasian bahan sesuai dengan keadaan sasaran pidato, kondisi atau suasana, dan kepribadian.

3. Elocutio
Tahap elocutio atau lexis merupakan tahap pengungkapan gagasan dengan gaya bahasa yang tepat. Pada tahap ini berbagai hal yang terkait dengan ketentuan pembuatan naskah pidato perlu mendapat perhatian.

4. Memoria
Setelah tahap elocutio dilalui seorang yang akan berpidato perlu mengingat-ingat berbagai hal yang ada di dalam naskah pidato. Hal ini dilakukan agar dalam penyampaian topik tidak ragu atau salah dalam pemenggalan gagasan. Saat ini tahap memoria telah dapat dibantu oleh keberadaan teknologi telepromter.

5. Pronunciatio
Tahap yang terakhir dalam rangkaian penyusunan naskah pidato adalah tahap penyampaian atau penyajian topik yang hendak disampaikan. Pada tahap ini orang yang berpidato menyampaikan topik melalui kegiatan lisan (pronunciatio). Hal yang perlu mendapat pertimbangan adalah pelafalan, mimik, dan gestur. Ketiga aspek ini akan mendukung makna yang dibangun oleh gagasan demi gagasan dalam naskah pidato.



D. Tata Tulis Naskah Pidato
Penulisan naskah pidato kenegaraan berhubungan dengan berbagai aspek kebahasaan. Aspek yang berhubungan dengan tata tulis ini adalah pengunaan dan pemilihan bentuk kata, penggunaan kalimat efektif, serta pemilihan paragraf yang berpadu. Untuk mendapatkan gambaran tentang tata tulis naskah tersebut, berikut ini disajikan kaidah aspek tersebut.

1. Penggunaan Tanda Baca
Dalam penyusunan naskah pidato, tanda baca yang sangat diperlukan. Tanda baca itu akan membantu pembaca naskah pidato dalam menjeda, pemenggalan kata, dan mengatur kesenyapan bahasa yang disampaikan. Keberadaan tanda baca koma dan titik sangat berarti bagi yang membaca pidato. Tanda baca koma digunakan untuk jeda pendek, sedangkan tanda baca titik digunakan untuk jeda panjang. Tanda baca koma digunakan untuk memisahkan pemenggalan frasa, sedangkan tanda baca titik berguna untuk pemenggalan kalimat.
Tanda baca titik digunakan sebagai penanda akhir dari kalimat berita. Perhatikanlah coontoh berikut!

(a) Pada tahun 2005 telah diselesaikan dan dioperasikan jembatan layang Kiara Condong, Jembatan Pasupati Bandung, Jembatan layang Bogor Raya, dan Tanjung Barat di wilayah Jabotabek, serta jalan tol Cikampek-Padalarang sepanjang 47 km.
(b) Dengan mandat yang saya terima Iangsung dari saudara, saya bertekad bukan saja untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, melainkan juga menjadi Presiden Rakyat Indonesia, seluruh rakyat Indonesia.
(c) Dalam pembinaan dan pengembangan bangsa menuju kesetaraan dengan bangsa lain, kita memerlukan pengorbanan dan upaya peningkatan kinerja yang bersungguh-sungguh.

Tanda baca koma dalam penyusunan naskah pidato dapat digunakan untuk keperluan berikut:
(a)Pemisah antara satu kalimat (klausa) dengan kalimat (kalusa) lain yang dihubungkan menjadi satu kalimat.
Contoh
Jika bilangan itu dibagi sepuluh, jumlahnya akan berkurang.
Ketika Pemerintah Indonesia membangun batas-batas wilayah, tentara Malaysia menggangunya.

(b) Penanda kata keterangan yang posisinya diletakan di muka. Tanda baca koma memisahkan kata keterangan itu dari induk kalimat.
Contoh
Suatu hari, kita akan menyaksikan bangsa ini lebih maju daripada yang telah dicapai sekarang.
Di perdesaan, televisi pada umumnya hanya digunakan sebagai media hiburan bagi pemiliknya.
(c) Penanda kata sambung awal kalimat. Tanda baca koma digunakan setelah kata sambung antarkalimat.
Contoh
(a) Akan tetapi, ...
(b) Akhirnya, ...
(c) Akibatnya, ...
(d) Sekalipun demikian, ...
(e) Berkaitan dengan hal itu, ...
(f) Dalam hubungan ini, ...
(g) Dalam konteks ini, ...
(h) Meskipun begitu, …
(i) Meskipun demikian, ...
(j) Oleh karena itu, …
(k) Pada dasarnya, …
(l) Sehubungan dengan hal itu, …
(m) Selain itu,…
(n) Sementara itu, …

(d) Tanda baca koma digunakan sebagai penanda dua buah klausa yang dihubungkan. Untuk itu, tanda baca koma digunakan sebelum kata sambung intrakalimat.
Contoh
1. ... , namun ...
2. ... , padahal ...
3. ... , sedangkan ...
4. ... , tetapi ...

(e) Tanda baca koma digunakan sebelum kata sambung di dalam kalimat (intrakalimat) sebagai bentuk pengandai atau rincian.
Contoh
1. ... , seperti ...
2. ... , yaitu/yakni ...
3. ... , misalnya ...
f) Tanda baca koma digunakan sebelum kata keterangan yang menghubungkan pernyataan di dalam kalimat (intrakalimat).
Contoh
1. ... , ternyata, ...
2. ..., antara lain,...
3. ... , tadinya, ...

Penggunaan ejaan lainnya yang penting diperhatikan oleh penyusun naskah pidato adalah penulisan huruf kapital. Memang secara umum tidak mengubah makna keseluruhan kalimat, namun ketidakcermatan dalam menggunakan penulisan huruf kapital dapat mengganggu pembaca. Oleh karena itu, seorang penulis naskah pidato harus mahir dalam menerapkan penulisan huruf yang benar dan penggunaan tanda baca yang tepat. Untuk itulah, sebaiknya setiap penulis naskah pidato memiliki buku Pedoman Pembentukan Istilah dan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Dengan penguasaan aspek kebahasaan tersebut, kesalahan-kesalahan teknis dapat dihindari.
2. Pemilihan Bentuk Kata
Dalam menyusun naskah pidato, terutama dalam memilih bentuk kata maka terdapat hal yang harus diperhatikan yaitu penggunaan unsur serapan dan penggunaan diksi. Sebagaimana dipahami bahwa pidato kenegaraan merupakan pidato resmi maka bahasa yang dipilih adalah bahasa baku dengan diksi yang tepat. Penggunaan kosakata asing, sedapat mungkin dicari kata serapan dalam bahasa Indonesia, sebab penggunaan bahasa yang dilakukan oleh pejabat negara akan menjadi contoh bagi warga negaranya. Demikian pula ketika menggunakan pilihan kata (diksi) diperlukan kecermatan dalam menyesuaikan dengan konteks kalimat.
Berdasarkan taraf integrasinya unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle dan bottom up. Unsur-unsur tersebut dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Contoh:
aerodinamics à aerodinamika
classification à klasifikasi
accessory à aksesori
charisma à karisma
technique à teknik

Pilihan kata disebut juga diksi. Kesalahan dalam menggunakan diksi akan menghasilkan kalimat tidak efektif. Apabila para penulis merasa ragu dalam memilih kata secara tepat dalam mengungkapkan suatu maksud, sebaiknya memanfaatkan kamus. Pada kamus disajikan makna leksikal kata tersebut berikut pengembangan bentuknya. Dari kamus dapat diketahui pula bentuk baku dan tidak baku dari suatu kata yang digunakan.
Berikut ini disajikan beberapa pilihan kata dengan bentuk baku dan tidak baku yang sering dijumpai dalam suatu naskah atau tulisan.
Contoh Bentuk Kata:
BENTUK TIDAK BAKU BENTUK BAKU
subyek subjek
merubah mengubah
mengkoordinir mengkoordinasikan
pedesaan perdesaan
penglepasan pelepasan
bila jika
membikin membuat
Bentuk kata yang baku dan tidak baku lainnya dapat dilihat secara lengkap dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia.
3. Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu dipahami pembaca sesuai dengan maksud penulisnya. Sebaliknya, kalimat yang sulit dipahami atau salah terpahami oleh pembacanya termasuk kalimat yang kurang efektif. Kalimat yang efektif memiliki ciri struktur yang kompak, paralel, hemat, cermat, padu, dan logis.

a) Kalimat Berstruktur Kompak
Setiap kalimat minimal terdiri atas unsur pokok dan sebutan (yang menerangkan pokok) atau unsur subjek dan predikat. Kalimat yang baik adalah kalimat yang menggunakan subjek dan predikat secara benar dan kompak. Kekurangkompakan dan ketidakjelasan subjek dapat terjadi jika digunakan kata depan di depan subjek. Misalnya penggunaan dalam, untuk, bagi, di, pada, sebagai, tentang, dan, karena sebelum subjek kalimat tersebut.

Contoh kalimat tidak efektif:

Bagi semua siswa harus memahami uraian berikut ini.
Dalam pembahasan ini menyajikan contoh nyata.
Sebagai contoh dari uraian di atas adalah perkalian di bawah ini.

Selain itu, kalimat yang berstruktur kompak adalah kalimat yang hanya menggunakan satu subjek. Penggunaan subjek ganda akan membuat kalimat tersebut tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:

Penjumlahan angka itu hasilnya dibagi kelipatan dua.
Cairan itu unsur-unsur kimianya tidak menyatu.

Dalam bahasa Indonesia dikenal kata penghubung intrakalimat, seperti dan, atau, sehingga, sedangkan, karena, yaitu, hingga, tetapi. Penggunaan kata penghubung ini hanya dilakukan di tengah kalimat. Apabila digunakan pada awal kalimat maka kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Pemberontakan PKI sangat menyakitkan. Sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.

Buaya termasuk ke dalam jenis reftil. Sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.

Penggunaan kata sedangkan pada awal kalimat sebagai penghubung antarkalimat kurang tepat, karena kata tersebut seharusnya berfungsi sebagai penghubung intrakalimat. Demikian pula kata penghubung lain, seperti contoh di atas akan membuat penggunaan kalimat yang dibuatnya itu menjadi kurang tepat.

b) Kalimat Paralel
Kalimat yang efektif adalah kalimat yang tersusun secara paralel. Keparalelan itu tampak pada jenis kata yang digunakan sebagai suatu yang paralel dengan memiliki unsur atau jenis kata yang sama. Kesalahan dalam menggunakan paralelis kata akan menjadikan kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Kegiatan akhir dari percobaan itu adalah menyusun laporan, kelengkapan materi yang harus dilampirkan, penggambaran tahap-tahap kegiatan, dan simpulan hasil pengujian.

Ketidakefektifan kalimat tersebut, karena memfaralelkan jenis kata menyusun, dengan kelengkapan, penggambaran, dan simpulan. Kalimat tersebut memfaralelkan “kegiatan” sebagai verba, maka kata lainnya seharusnya menggunakan verba. Misalnya, kata menyusun seharusnya berfaralel dengan melampirkan (materi secara lengkap), menggambarkan (tahap-tahap kegiatan), dan menyimpulkan (hasil pengujian).

c) Kalimat Hemat
Kalimat yang efektif harus hemat. Kalimat hemat memiliki ciri kalimat yang menghindari pengulangan subjek, pleonasme, hiponimi, dan penjamakan kata yang sudah bermakna jamak.

Contoh kalimat tidak efektif:

Para menteri serentak berdiri, setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang ke acara itu.

Waktu tempuh yang digunakan hanya selama 45 menit saja untuk sampai ke daerah itu.

Air raksa ini harus dicampur dengan kain warna merah.

Banyak orang-orang yang tidak hadir pada pertemuan yang menghadirkan beberapa tokoh-tokoh terkemuka.

Kalimat pertama kurang efektif karena menggunakan subjek (kata para menteri) dengan subjek kedua (kata mereka). Kalimat kedua menggunakan kata bermakna sama, yaitu kata hanya dan saja. Kalimat ketiga kurang efektif karena menggunakan kata bermakna hiponimi, yaitu kata warna dan merah (merah merupakan salah satu warna, sehingga tidak perlu menggunakan kata warna). Kalimat keempat, menggunakan kata bermakna jamak secara berulang, yaitu kata banyak dan beberapa dengan pengulangan kata yang mengikutinya.


d) Kalimat Cermat
Kalimat efektif adalah kalimat yang tidak ambigu atau bermakna bias. Setiap kata yang digunakan tidak menimbulkan salah tafsir atau tafsir ganda. Untuk itu diperlukan kemampuan menyusun kalimat secara cermat. Kalimat yang disusun tidak cermat akan menjadikan kalimat yang tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Siswa SMA yang terkenal itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

Lambang bilangan untuk ratusan yang dikalikan menjadi jumlah ribuan.

Kalimat pertama bermakna ambigu, karena akan menimbulkan pertanyaan “Siapakah yang terkenal itu, siswa atau SMA?”. Demikian pula kalimat kedua, semakin ambigu, sekalipun secara sepintas tampak sebagai kalimat yang logis, namun karena bermakna ganda maka makna kalimatnya menjadi bias.

e) Kalimat Padu
Kalimat yang padu adalah kalimat yang berisi kepaduan pernyataan. Kalimat yang tidak padu biasanya terjadi karena salah dalam menggunakan verba (kata kerja) atau preposisi secara tidak tepat.

Contoh kalimat tidak efektif:
Segala usulan yang disampaikan itu kami akan pertimbangkan.

Uraian pada bagian ini akan menyajikan tentang perkembangbiakan pohon aren.

Materi yang sudah diungkapkan daripada pembicara awal akan dibahas kembali pada pertemuan yang akan datang.

Penggunaan kata akan yang menyelip di antara subjek dengan predikat pada kalimat pertama menjadikan kalimat tersebut kurang padu. Demikian pula penggunaan kata tentang dan daripada setelah verba menjadikan kalimat tersebut kurang padu.

f) Kalimat Logis
Kalimat yang logis adalah kalimat yang dapat diterima oleh akal atau pikiran sehat. Biasanya ketidaklogisan kalimat terjadi karena pemilihan kata atau ejaan yang salah.

Contoh kalimat tidak efektif:
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini.

Untuk mempersingkat waktu, marilah kita bersama-sama mulai melakukan kegiatan tersebut.

Mayat wanita yang ditemukan di sungai itu sebelumnya sering mondar- mandir di daerah tersebut.

Pada kalimat pertama terkadung makna bahwa yang berbahagia adalah kesempatan, kecuali verbanya diganti dengan membahagiakan. Kalimat kedua memiliki makna yang tidak mungkin waktu dipersingkat, kecuali acara yang dipersingkat atau waktu yang dihemat. Kalimat ketiga menggunakan konstruksi kalimat yang kurang benar sehingga memunculkan makna yang kurang logis. Kalimat tersebut dapat diperbaiki, misalnya sebagai berikut:
Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini.

Untuk menghemat waktu, marilah kita bersama-sama mulai melakukan kegiatan tersebut.

Mayat wanita yang sebelumnya sering mondar-mandir di daerah tersebut ditemukan di sungai itu.

4. Kepaduan Paragraf
Kepaduan paragraf adalah kepaduan antarparagraf dan intraparagraf. Kepaduan antarparagraf akan tampak dalam keutuhan wacana, sedangkan kepaduan intraparagraf tampak dalam keutuhan paragraf. Dalam kepaduan antarparagraf akan terbentuk kesatuan gagasan yang saling mendukung antara paragraf yang satu dengan paragraf yang lain. Sementara itu, kepaduan intraparagraf akan terbentuk oleh keutuhan saling mendukung antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam satu paragraf.
Apabila dicermati, suatu wacana dibangun oleh beberapa paragraf. Wacana yang baik adalah wacana yang dibangun oleh kepaduan paragraf yang runtut. Keterpaduan antarparagraf dalam suatu naskah merupakan keniscayaan dalam menyajikan gagasan secara efektif. Oleh karena itu, paragraf yang satu dengan yang lain seharusnya disusun secara terpadu dan saling mengait. Selain itu, paragraf tersebut juga harus dibangun oleh kalimat-kalimat yang saling berpaut mendukung satu gagasan atau pikiran utama.
Paragraf yang baik harus koheren dan kohesif. Paragraf yang koheren adalah paragraf yang disajikan dengan kepaduan antara kalimat-kalimat pembangun paragraf tersebut. Paragraf yang kohesif adalah paragraf yang dibangun oleh kalimat-kalimat yang memiliki kesatuan utuh dan berhubungan dengan kalimat utama.

Contoh:
Jawa Barat ingin lebih maju daripada provinsi lain. Hal ini dituangkan dalam visinya sebagai provinsi termaju, mitra terdepan ibukota. Visi tersebut diharapkan dapat tercapai pada tahun 2010. Oleh karena itu, Gubernur Jawa Barat selalu mengajak dan mendorong setiap kabupaten/kota untuk menopang dan merealisasikan visi tersebut.

Pada contoh paragraf di bawah ini terdapat kalimat ketiga yang tidak memiliki kesatuan dan keutuhan dalam paragraf.

Jawa Barat ingin lebih maju daripada provinsi lain. Hal ini dituangkan dalam visinya sebagai provinsi termaju, mitra terdepan ibukota. Jawa Barat merupakan provinsi yang beribukota di Bandung, yang mendapat julukan Paris van Java. Visi tersebut diharapkan dapat tercapai pada tahun 2010. Oleh karena itu, Gubernur Jawa Barat selalu mengajak setiap kabupaten/kota untuk menopang dan merealisasikan visi tersebut.

Paragraf dibangun oleh beberapa kalimat. Kalimat-kalimat yang membangun paragraf itu terdiri atas kalimat utama dan kalimat penjelas. Dalam satu paragraf hanya ada satu pikiran utama atau gagasan utama yang diungkapkan dalam kalimat utama. Guna memberikan kejelasan terhadap pikiran utama itu dilengkapi dengan gagasan pendukung dalam bentuk kalimat-kalimat penjelas.
Dalam suatu paragraf diperlukan keterpaduan antara kalimat utama dengan kalimat-kalimat penjelas. Untuk itu diperlukan alat bantu berupa (1) penggunaan kata ganti, kata sambung, atau kata tunjuk; dan (2) pengulangan kata atau kelompok kata yang diungkapkan sebelumnya, baik melalui kata bersinonim (makna kata yang sama) maupun berantonim (makna kata berlawanan).
Contoh:
Jawa Barat ingin lebih maju daripada provinsi lain. Hal ini dituangkan dalam visinya sebagai provinsi termaju, mitra terdepan ibukota. Visi tersebut diharapkan dapat tercapai pada tahun 2010. Oleh karena itu, Gubernur Jawa Barat selalu mengajak dan mendorong setiap kabupaten/kota untuk menopang dan merealisasikan visi tersebut.

Contoh lain:
Daya serap tekstil dalam negeri saat ini kurang dari 2000 juta meter per tahun. Jumlah tersebut akan menyulitkan dalam pemasaran hasil produksi yang jumlahnya lebih besar. Kesulitan yang dialami industri tekstil adalah persaingan yang ketat di dalam memasarkannya. Kapasitas produksi dari pabrik tekstil di dalam negeri saat ini telah melebihi daya serap pasar domestik.

Demikianlah bebarapa aspek kebahasaan yang harus diperhatikan oleh penulis naskah pidato. Kecermatan di dalam menggunakan bahasa akan menghasilkan kegiatan pidato yang cendekia dan membanggakan. Kemampuan menyusun naskah pidato ini bukan hapalan, melainkan suatu keterampilan yang memerlukan latihan. Oleh karena itulah, untuk memantapkan kemampuan peserta pelatihan ini, sebaiknya melakukan latihan yang terus-menerus. Kemampuan setiap peserta latihan akan berkembang jika diimbangi dengan berlatih. Selamat berlatih!
Daftar Pustaka

Alwi dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.

Arifin, E. Zaenal. Dan Tasai, S. Amran.2000. Cermat Berbahasa Indonesia.
Jakarta: Akademika Pressindo.

Di Yanni, Robert and Pat C. Hoy (1995) The Scriber Handbook for Writing. Boston: Allya & Bacon.
Kridalaksana, Harimurti dkk.1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia:
Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta:
Djambatan.
Peurson, C.A. Van. (1985) Susunan Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Rakhmat, Jalaluddin.1982. Retorika Modern. Bandung: Akademika.
Ranard, A. Donald and Margo Pfleger (1993). Language and Literacy Education for Southeast Asian Refugees. In Eric Digest [On Line] Vol. EDO-LE-93-06, September 1993; 5pages. Available on: http://edu.NCLE-CAL/html [02 Februari 2001].
Rapar, Jan Hendrik (1996) Pengantar Logika: Asas-asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.Rusyana, Yus (1984) Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Suherli (2007) Menulis Karangan Ilmiah: Teori dan Aplikasi. Jakarta: CV Arya Duta.
Suherli (2005) Pedoman Korespondensi. Bandung: Yrama Widya.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.