Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

11 November, 2009

Membangun Budaya Literasi

Oleh: Suherli Kusmana


A. Pendahuluan
Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah masih merupakan isu yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Kemenarikan itu terutama ihwal ruang lingkup materi pokok yang harus dibelajarkan guru kepada peserta didik. Pembelajaran yang dilakukan guru dalam rangka menciptakan hasil dan dampak pendidikan yang berkualitas. Media dan sumber belajar yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar. Bentuk penilaian pembelajaran yang linier dengan aktivitas belajar siswa dan memiliki validitas tinggi. Bahkan, hingga isu utama berupa muara dari pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau madrasah.
Perubahan paradigma pembelajaran bahasa Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dalam permendiknas ini diungkapkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau madrasah diarahkan pada peningkatan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006). Perubahan ini merupakan salah satu realisasi dari Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai pencanangan mutu pendidikan yang secara lengkap tertuang dalam Rencana Strategik 2005-2025 berupa strategi ”Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing”.
Perubahan sebagaimana hal di atas berkonsekuensi pada perubahan berbagai strategi pendidik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendidik harus berubah dalam membantu peserta didik untuk berbahasa dan bersastra. Ia tidak sama seperti guru pelajaran lain yang mentransfer ilmu kepada peserta didik, melainkan melatih kemampuan berbahasa atau bersastra. Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bukan tentang ilmu bahasa atau ilmu sastra, melainkan peningkatan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan. Dengan demikian, pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini diarahkan pada upaya membangun budaya literasi.
Budaya literasi dalam Standar Isi ditunjukkan dengan materi pokok pembelajaran Bahasa Indonesia yang terbagi ke dalam empat standar kompetensi, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Selain itu, pada akhir pendidikan setiap tingkatan, peserta didik SD/MI dan SMP/MTs sekurang-kurangnya telah membaca 9 buku, sedangkan peserta didik SMA/MA sekurang-kurangnya telah membaca 15 buku sastra atau nonsastra. Ketentuan dalam standar ini merupakan target minimal dari pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah atau madrasah.
Dari hal ini, timbul pertanyaan besar setelah 3 tahun Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan diundangkan oleh pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan refleksi bagi kita semua. (1) Apakah para pendidik telah mengubah arah pembelajaran Bahasa Indonesia sebagaimana diharapkan? (2) Apakah pendidik sudah mengubah strategi pembelajaran dari aktivitas menerangkan dan siswa mendengarkan menjadi siswa melakukan (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis) dan pendidik mengarahkan? (3) Apakah pendidik telah mengembangkan budaya literasi?

B. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Banyak pihak yang masih mengkhawatirkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, siswa SMA di Amerika, Belanda, dan Prancis diwajibkan membaca 30 buku sastra. Demikian pula di negara-negara Asia, seperti di Jepang para siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra, di Brunai diwajibkan membaca 7 buku sastra, dan di Singapura diwajibkan membaca 6 buku sastra. Oleh karena punya keinginan untuk meningkatkan kemampuan membaca bagi para siswa di negara kita, maka dalam Standar Isi ditetapkan target jumlah bacaan sastra dan nonsastra yang harus dibaca. Namun, di dalam kenyataan hal ini masih diabaikan.
Kualitas pembelajaran yang dilakukan guru masih belum menyentuh permasalahan yang esensial. Penekanan standar kompetensi di dalam Standar Isi dengan hanya mengarahkan pada empat kompetensi berbahasa (Mendengarkan, Berbicara, Membaca, dan Menulis) masih belum dipahami pendidik. Kenyataan ini masih ditemukan ketika pendidik membelajarkan siswa untuk membaca dengan standar kompetensi “Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif” dengan kompetensi dasar “Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif”. Di dalam kelas guru menerangkan kedua jenis paragraf tersebut, baik melalui teknik ceramah maupun tanya jawab. Selanjutnya, siswa berlatih menuliskan kedua jenis paragraf tersebut. Sampai dengan akhir pembelajaran, siswa tidak dilatih membaca paragraf demi paragraf untuk menemukan perbedaan kedua paragraf tersebut.
Pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang diujian-negarakan. Penyusunan soal UN diselenggarakan oleh BSNP dan Puspendik Depdiknas dengan mengundang para guru terpilih untuk menyusun soal sesuai dengan SI dan SKL dengan arahan dari ahli. Setiap soal diseleksi sangat ketat dengan kajian dari berbagai pihak ini dimaksudkan agar soal valid dan reliabel. Oleh karena pertimbangan pembagian kewenangan, maka tidak seluruh kompetensi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di-UN-kan, karena harus memberi porsi untuk Ujian Sekolah dalam mengukur kompetensi mendengarkan dan berbicara. Soal UN lebih diarahkan untuk mengukur kompetensi membaca dan menulis. Namun kenyataannya, para pendidik pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK atau MA/MAK selalu saja dihantui ketakutan jika siswanya tidak dapat menjawab soal dengan baik. Tidak sedikit di antara mereka kemudian melakukan berbagai upaya “nakal” untuk menghilangkan ketakutan itu, bahkan “terorganisasi dengan rapi”.
Persoalan lain tentang kondisi sumber daya tenaga pendidik yang belum adaptif dan visioner. Pada beberapa sekolah, masih terdapat pendidik yang menggunakan teknik ceramah untuk membelajarkan siswa belajar berbahasa atau bersastra. Mereka beranggapan bahwa jika tidak menerangkan maka tidak termasuk mengajar. Padahal guru bahasa Indonesia bukan harus mengajarkan “bahasa atau sastra” tetapi membuat siswa belajar menggunakan bahasa atau sastra dalam konteks kehidupannya. Dari hal ini, diharapkan siswa memiliki pengalaman berharga dalam berbahasa di dunia nyata, bukan dunia sekolah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.” Dengan demikian, jika guru mengajari siswa berpidato dengan menerangkan pengertian pidato, jenis-jenis pidato, dan cara berpidato maka siswa hanya beroleh 20% saja dari materi yang diajarkan. Berbeda halnya jika membelajarakan mereka untuk mengalami berpidato, ia harus mampu mengungkapkan dan melakukan kegiatan berpidato sehingga perolehan materi akan mencapai 90% dari yang dibelajarkan guru.

C. Konsep Literasi
Dalam khazanah pembelajaran bahasa, literasi diartikan melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwancanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale & Sulzby, 1986; Cooper, 1993:6; Alwasilah, 2001). Pengertian literasi berdasarkan konteks penggunaanya dinyatakan Baynham (1995:9) bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. James Gee (1990) mengartikan literasi dari sudut pandang ideologis kewacanaan yang menyatakan bahwa literasi adalah “mastery of, or fluent control over, a secondary discourse.” Dalam memberikan pengertian demikian Gee menggunakan dasar pemikiran bahwa literasi merupakan suatu keterampilan yang dimiliki seseorang dari kegiatan berpikir, berbicara, membaca, dan menulis.
Stripling (1992) menyatakan bahwa “literacy means being able to understand new ideas well enaugh to use them when needed. Literacy means knowing how to learn”. Pengertian ini didasarkan pada konsep dasar literasi sebagai kemelekwacanaan sehingga ruang lingkup literasi itu berkisar pada segala upaya yang dilakukan dalam memahami dan menguasai informasi. Robinson (1983:6) menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis secara baik untuk berkompetisi ekonomis secara lengkap. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan keberhasilan seseorang dalam lingkungan masyarakat akademis, sehingga literasi merupakan piranti yang dimiliki untuk dapat meraup kesuksesan dalam lingkungan sosial. National Assesment of Educational Progress mengartikan literasi sebagai kemampuan performansi membaca dan menulis yang diperlukan sepanjang hayat (Winterowd, 1989: 5). Seorang ahli hukum memandang bahwa literasi merupakan kompetensi dalam memahami wacana, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis sehingga menampakan pribadi sebagai profesional berpendidikan yang tidak hanya menerapkan untuk selama kegiatan belajar melainkan menerapkannya secara baik untuk selamanya (White, 1985: 46).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa literasi adalah (1) kemampuan baca-tulis atau kemelekwacanaan; (2) kemampuan mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, menulis dan berpikir; (3) kemampuan siap untuk digunakan dalam menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya; (4) piranti kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam lingkungan akademik atau sosial; (5) kemampuan performansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan; (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami wacana secara profesional.
Dari konsep literasi tersebut di negara-negara lain telah dikembangkan pembelajaran model literasi, misalnya (1) ESL (English as a Second Language) Literacy Model (Ranard dan Pfleger, 1993); (2) Ocotillo Information Literacy Competencies Model (Evans, 1994); (3) Model Literasi Developing an Instructional. (Davis, 1996); (4) Mediation for Dynamic Literacy Instruction Model (Dixon-Krauss, 2000); (5) The Information Literacy Model (Sigmon, 2000); dan (6) Model Construct Meaning (Cooper, 1993). Model-model tersebut telah berhasil meningkatkan kemampuan siswa untuk keperluan hidup di lingkungan masyarakat literat, baik yang bersifat akademik maupun kegiatan sosial lainnya.

D. Membangun Budaya Literasi
Dari kenyataan yang kita saksikan tentang pembelajaran bahasa Indonesia di atas, maka arah pembelajaran harus diubah. Pembelajaran bahasa Indonesia yang diarahkan pada upaya membangun budaya literasi terutama pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas peserta didik menggunakan bahan ajar dalam berkehidupan. Peserta didik belajar berbahasa atau bersastra untuk dunia nyata, bukan dunia sekolah. Di Yanni (1995:40) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis literasi dilakukan dengan mengembangkan gagasan atau ide melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan pada waktu menulis, kemudian mengembangkannya melalui keterhubungan antar-ide dan kontroversi dari setiap ide. Pembelajaran berbasis budaya literasi dalam dunia pendidikan memiliki keunggulan karena model literasi bukan hanya dimaksudkan agar siswa memiliki kapasitas mengerti makna konseptual dari wacana melainkan kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektual (White, 1985:56).
Pembelajaran berbasis budaya literasi akan mengondisikan peserta didik untuk menjadi seorang literat. Peningkatan kemampuan literasi dalam belajar sejalan dengan tujuan pendidikan, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Pemerolehan tujuan ini dapat dilakukan siswa jika mereka telah menjadi sosok literat. Para siswa memiliki bekal literasi dalam dirinya sehingga mampu melengkapi diri dengan kemampuan yang diharapkan.
Proses pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra dilaksanakan dengan cara mengembangkan kemampuan kognitif, analisis, sintesis, evaluasi, dan kreasi melalui suatu kajian langsung terhadap kondisi sosial dengan menggunakan kemampuan berpikir cermat dan kritis. Proses pemahaman peserta didik terhadap fenomena sosial dengan pengenalan secara langsung akan lebih memudahkan bagi pembelajar dalam mengembangkan kompetensinya. Peserta didik harus terbiasa dengan membaca berbagai informasi dan mengakses informasi dari media elektronis maupun media tertulis. Selain itu, ia perlu mengikuti perkembangan peradaban yang sedang terjadi secara faktual. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kompetensi berbahasa dan bersastra berbasis literasi perlu didukung oleh ketersediaan fasilitas dalam membangun insan literat.
Aktivitas pendidik dalam kelas ketika melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis literasi lebih ringan, yaitu (1) mengarahkan aktivitas peserta didik; (2) memilih dan menyiapkan bahan pembelajaran; (3) memerika hasil kerja peserta didik; (4) mengarahkan sistem berkomunikasi keilmuan; (5) berkoordinasi dalam menyiapkan latar kelas untuk kegiatan literasi.

E. Simpulan
Pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tertuang di dalam Standar Isi sudah sejalan dengan konsep literasi. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah diarahkan pada upaya membangun budaya literasi. Oleh karena itu, para pendidik seharusnya memahami konsep literasi secara mantap agar menggeser kebiasaan dari mengajar menjadi membelajarkan siswa berbahasa atau bersastra.
Berbagai upaya perlu dilakukan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia dengan memerhatikan esensi dari “belajar” berbahasa atau bersastra Indonesia. Siswa belajar bahasa Indonesia itu meliputi keseluruhan kompetensi berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis bukan hanya mendengarkan tentang bahasa atau tentang sastra. Mudah-mudahan upaya-upaya kecil sekalipun merupakan sesuatu yang akan menjadi besar. Semoga.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar (2001) Membangun Kota Berbudaya Literat. Media Indonesia. Jakarta, Sabtu 6 Januari 2001.

Baynham, Mike. (1995) Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman.

Cooper, J.D. (1993) Literacy: Helping Children Construct Meaning. Boston Toronto: Hougton Miffin Company.

Costa, A. L. (1985) Development Mind Research Book for Teaching Thinking. Alexandria Firginia: The Association for Supervision and Curriculum Development.

Davis, Phil (1996) Information Literacy: From Theory and Research to Developing an Instructional Model. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/literacy/.html. [4 Februari 2001].

Dixon-Krauss, Lisbeth (2000) A. Mediation Model for Dynamic Literacy Instruction. Tersedia: http/www.psych.hanover.edu/vygotsky/ Kraus.html. [17 Desember 2000].

Di Yanni, Robert dan Pat C. Hoy (1995) The Scriber Handbook for Writing. Boston: Allya & Bacon.

Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. (1974) The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Evans, Linda (1994). Information Literacy. Ocotillo Report ’94. [On Line]. Tersedia: http://www.mannlib.cornell.edu/~pmd8/ literacy/ assembly.html. [4 Februari 2001].

Goleman, Daniel (1997) Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Joyce, Bruce dan Marsha Weil. (1986) Models of Teaching. Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs.

Ranard, A. Donald dan Margo Pfleger (1993). Language and Literacy Education for Southeast Asian Refugees. Dalam Eric Digest [On Line] Vol. EDO-LE-93-06, September 1993; 5 halaman. Tersedia: http://edu.NCLE-CAL/html [02 Februari 2001].

Silberman, Mel (1996) Active Learning. 101 Strategies Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon.