Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

31 Juli, 2009

Pendidikan Karakter Profesi Guru

Oleh: Suherli Kusmana

1. Pendahuluan
Profesi guru saat ini mulai menarik perhatian banyak pihak. Berdasarkan kewenangan dalam otonomi daerah, pembinaan profesi ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, sehingga profesi guru kerap menjadi perhatian bagi birokrasi lain karena selain jumlahnya sangat banyak, juga karena kesejahteraannya sedang dinaikkan. Bagi para perencana anggaran di tingkat kabupaten/kota profesi guru menjadi perhatian, terutama jika guru yang disertifikasi telah menjadi guru profesional, maka harus dianggarkan gajinya dua kali lipat dari sebelumnya. Bagi profesi lain, guru dipandang sebagai profesi yang sedang dimanja pemerintah. Kecenderungan calon mahasiswa baru untuk bidang pendidikan dan keguruan pun hampir di setiap perguruan tinggi keguruan mengalami peningkatan. Artinya profesi guru telah menjadi pusat perhatian pihak lain.
Profesi guru menjadi harapan banyak pihak dalam mengatasi perubahan di masyarakat saat ini. Banyak pihak yang merasa bahwa bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat dramatis, baik dalam kepemilikan karakter maupun budaya sebagai jati diri bangsa. Budimansyah (2009) menyatakan terjadi perubahan masyarakat terutama “munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi berubah menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, berbuat sadis, kejam, dan biadab”. Guru diharapkan mampu menanamkan kembali karakter bangsa yang sudah semakin berubah melalui pendidikan. Profesi guru menjadi harapan semua pihak, ketika perhatian pendidik informal sedang bergeser pada myopia politik sebagai sebuah lompatan.
Dalam aspek budaya pun, bangsa kita sudah mulai kehilangan nilai-nilai dan kecintaan pada seni tradisional. Tidak heran jika kemudian beberapa karya seni adiluhung di-HAKI-kan oleh bangsa lain. Padahal, seni budaya dapat mengajari kita tentang kejujuran dan rasa malu. Bangsa kita diajari oleh seni untuk jujur pada dirinya dan juga kepada orang lain. Bangsa kita harus diajari untuk memiliki rasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti memanipulasi data atau melakukan berbagai cara untuk menguntungkan kelompok atau golongannya. Untuk itu, diperlukan penanaman kembali rasa cinta pada seni dan budaya melalui pendidikan. Tentu saja, profesi guru pula yang menjadi harapan.
Demikian besar harapan pihak lain kepada profesi guru untuk mengembalikan dan memantapkan kembali karakter bangsa Indonesia. Dengan demikian, tentu saja guru harus menjadi contoh atau teladan terlebih dahulu bagi yang lain. Guru harus memantapkan kompetensi kepribadian sebagai seorang guru profesional. Sangat wajar jika guru secara otodidak mendidik diri untuk memantapkan karakter sebagai guru profesional.

2. Kebijakan Pendidikan
Apabila kita mencermati kembali fungsi pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari hal tersebut tergambar bahwa fungsi pendidikan tidak semata-mata mengembangkan kemampuan, namun juga dimaksudkan untuk membentuk watak dan peradaban suatu bangsa yang bermartabat. Pendidikan berfungsi sebagai pembentuk watak atau karakter bangsa yang bermartabat atau sebagai bangsa yang memiliki budaya.
Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi tata nilai dari suatu peradaban modern. Bangsa bermartabat adalah bangsa yang menjujung tinggi kebenaran, kejujuran, kesantunan, keramahtamahan, keberagaman, dan ketaatan pada aturan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan harus berfungsi membentuk bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan bangsa yang dapat hidup di dunia modern.
Sementara itu, tujuan pendidikan kita adalah “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan ini merupakan arah bagi semua penyelenggara dan pelaksana pendidikan dalam lingkup sistem pendidikan nasional. Manusia berahlak mulia adalah manusia yang memiliki ahlak atau perilaku yang baik dan terpuji sesuai dengan norma dan tata kehidupan masyarakat berbudaya.
Salah satu kebijakan Departemen Pendidikan Nasional adalah “Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing”. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi permasalahan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau mungkin sebaliknya, disinsentif karena tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Untuk keperluan tersebut ditempuh program pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik dikembangkan baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Pendidikan profesi bagi calon guru dilakukan bersamaan dengan penerimaan sebagai calon pegawai negeri sipil, sedangkan pendidikan profesi bagi yang sudah menjadi guru ditempuh bagi guru-guru yang belum memenuhi syarat profesional berdasarkan penilaian portofolio.
Kebijakan Depdiknas dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing tersebut menyatakan bahwa standar profesi guru merupakan dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. Kinerja guru akan terus diukur berdasarkan standar profesi guru sehingga akan diperoleh guru yang layak mendapatkan insentif atau guru yang disintensif. Idealnya penentu profesionalisasi guru adalah lembaga atau organisasi profesi, namun karena untuk memenuhi ketentuan penjaminan mutu maka saat ini menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan profesi guru atau Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan yang telah memenuhi ketentuan.

3. Guru Profesional
Guru profesional adalah guru yang memiliki empat kompetensi profesi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Indikator keempat kompetensi ini berjumlah 24 kemampuan ideal seorang guru profesional. Kompetensi pedagogik terdapat 10 indikator; kompetensi kepribadian terdapat 5 indikator; kompetensi sosial terdiri atas 4 indikator; dan kompetensi profesional terdiri atas 5 indikator.

Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas-tugas pendidikan dan keguruan. Kompetensi ini terdiri atas:
1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4) Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran
10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran

Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi utama bagi seorang pendidik. Dalam mendidik, seorang guru harus menguasai karakteristik peserta didik sehingga proses pendidikan yang dilakukan tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Karakteristik peserta didik itu meliputi fisik, psikhis, soial, dan budaya tempat tinggal peserta didik. Kompetensi pedagogik merupakan komptensi karakter seorang guru.

Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi personal seorang guru. Kompetensi ini merupakan sosok kepribadian seorang guru yang berkarakter sebagai orang Indonesia serta pribadi yang ideal dari orang yang menjadi teladan di masyarakat. Guru merupakan pribadi yang dapat menjadi contoh bagi yang lain. Kompetensi kepribadian guru itu terdiri atas:
1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa
4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kompetensi guru dalam berhubungan dengan pihak lain. Dalam lingkungan masyarakat, biasanya guru menjadi contoh bagi profesi lain dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang baik. Kompetensi sosial ini terdiri atas:
1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berhubungan dengan bidang akademik. Kompetensi ini terdiri atas:
1) Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Keempat kompetensi profesi guru ini merupakan indikator bagi seorang guru profesional. Implementasi dari keempat komptensi ini dapat terwujud dalam aktivitas sehari-hari seorang guru, baik ketika ia sedang bertugas mendidik siswa dalam kelas maupun ketika ia berada di lingkungan masyarakat. Kompetensi profesi guru ini melekat dengan pribadi guru sehingga akan selalu merupakan karakter sebagai seorang pendidik yang berada di lingkungan masyarakat.

4. Pendidikan Berbasis Karakter
Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan instrumen untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa Indonesia, termasuk karakter seorang guru Indonesia. Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan guru berbasis pada pembangunan karakter bangsa. Tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
Pendidikan karakter lebih mengarah pada peningkatan kepribadian yang akan tertanam secara mendalam dalam diri. Pada masa orde lama pernah diungkapkan bahwa untuk mengatasi lunturnya idealisme bangsa diperlukan character building, yang disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Character building ini dilakukan melalui lembaga pendidikan melalui mata pelajaran khusus atau memasukkan konsep nation character pada setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter lebih mengedepankan kemampuan emosional dan spiritual yang dalam kompetensi profesi pendidik termasuk ke dalam kompetensi kepribadian.
Kebijakan dalam sistem pendidikan disusun dengan pandangan ideal tentang sesuatu hal. Kebijakan sertifikasi profesional guru sejatinya dimasudkan untuk meningkatkan kualitas pendidik. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kebijakan ini malah justru dikaburkan oleh pandangan sempit bahwa “sertifikasi guru merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan guru”. Dari hal ini, muncul kelompok-kelompok pragmatisme di kalangan para guru, dan menyisihkan kelompok idealisme. Pandangan idealisme dipojokkan pada sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan zaman, padahal kelompok idealime ini merupakan agen pembaharu di lingkungan komunitas guru.
Gagasan character building sebagai upaya menciptakan guru-guru ideal patut mendapat dukungan semua pihak. Apabila idealisme telah melekat pada pribadi guru, maka ia akan mampu memperbaiki fenomena masyarakat kita yang telah mulai meninggalkan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang menjadi pemikiran ideal seorang guru ketika ia merasa resah dengan fenomena masyarakat saat ini merupakan landasan bagi pengembangan character building. Pengembangan pendidikan budi pekerti ini seharusnya dibangun terlebih dahulu melalui sebuah kesadaran kolegial setiap guru bahwa ia harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Seorang guru ideal ia harus mampu mendidik dirinya (otodidak) untuk selalu menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Konsep kejujuran dan berahlak mulia yang ditanamkan kepada peserta didik, seharusnya telah terlebih dahulu tertanam dalam diri pendidik. Bagaimana jadinya, jika pendidik mengarahkan peserta didik untuk bertindak dan berkata jujur, sedangkan ia tidak memberi contoh untuk bertindak jujur? Guru harus menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam bertindak dan berkata jujur serta berahlak mulia.
Guru harus menjadi contoh bagi murid dalam mengelola qolbu. Oleh karena itu, ia harus melakukan self actualisation tentang pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Dalam mengaktualisasikan hal tersebut, guru akan membangun dirinya untuk memiliki pribadi yang tidak mudah marah, mampu mengontrol emosi, dan dapat memberikan pertimbangan secara komprehensif dalam pengambilan keputusan. Setiap tindakan dan perbuatan guru selalu dilakukan dengan mengontrol emosi secara objektif, sehingga pribadi guru menjadi berwibawa di hadapan murid dan masyarakat. Guru menjadi peribadi yang “digugu dan ditiru” oleh murid dan masyarakat.
Dalam hal melaksanakan tugas pokok sebagai pendidik guru selalu menunjukkan etos kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Seorang guru akan berusaha memantapkan dirinya untuk menjalankan profesi guru secara ikhlas dan tidak mengeluhkan tugasnya. Pada diri guru harus ditanamkan keyakinan bahwa pekerjaan guru merupakan pekerjaan mulia. Ketika di dunia beroleh imbalan dari pemerintah atau dari yayasan, dan mudah-mudahan di akhirat menjadi amal baik yang selalu mengalir jika ilmu yang diberikan kepada murid bermanfaat. Profesi guru harus menjadi profesi yang dapat dibanggakan karena keyakinan di atas. Oleh karena itu, setiap guru harus dapat membangun diri (self building) terutama dalam menunjukkan etas kerja dan tanggungjawab yang tinggi. Sifat ini akan berhubungan dengan kebanggan dan kepercayaan diri menjadi seorang guru. Menjadi guru adalah pekerjaan mulia dan beribadah.
Seorang guru profesional akan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Ia tidak akan mudah tergoyahkan oleh kepentingan sesaat, karena profesi ini selalu dihayati dan dinikmati sebagai fitrah dari sang pencipta. Kode etik profesi guru merupakan pegangan dalam menjalankan profesi keguruan dan akan selalu tertanam dalam diri guru ideal. Oleh karena itu, pandangan yang meremehkan profesi guru atau menjatuhkan profesi guru akan mendapatkan reaksi dari pada guru yang telah memiliki karakter sebagai guru profesional.
Berdasarkan uraian ini, tampaknya pendidikan karakter bagi seorang guru merupakan pandangan ideal. Dalam mengimplementasikan hal ini dapat ditempuh melalui proses otodidak guru yang dilakukan dengan berintospeksi. Dalam suatu organisasi informal seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pun dapat dilakukan pendidikan dan latihan berbasis karakter untuk memantapkan kompetensi kepribadian seorang guru. Program yang sangat ideal ditempuh melalui program In House Training (IHT) bagi para guru yang dapat diselenggarakan melalui UPTD Peningkatan Profesi Pendidik atau melalui Badan Kepegawaian Daerah di tingkat kabupaten/kota. Melalui pendidikan karakter ini diharapkan para guru semakin mantap kepribadiannya dan ia dapat menjadi teladan bagi murid dan masyarakat dalam memantapkan karakter bangsa Indonesia.

5. Simpulan
Perubahan masyarakat yang mendorong adanya perubahan karakter bangsa Indonesia merupakan kekhawatiran semua pihak. Profesi guru merupakan harapan satu-satunya untuk memperbaiki perubahan negatif tersebut. Namun demikian, profesi guru harus menjadi contoh dan teladan terlebih dahulu bagi masyarakat yang sedang mengalami degradasi. Guru harus merupakan profesi terdepan dalam mempertahankan kelompok idealisme daripada pragmatisme. Guru merupakan harapan semua pihak untuk mendidik dan mengarahkan masyarakat Indonesia untuk kembali ke jatidiri bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Dalam mengemban tugas sebagai agen pembaharu, guru harus menjadi teladan bagi peserta didik maupun masyarakat. Guru dapat mengikuti atau menerapkan pendidikan dan pelatihan berbasis karakter. Guru seharusnya dapat membangun karakter diri sebagai pribadi yang diidamkan melalui proses pelatihan diri.
Pendidikan berbasis karakter dapat dilakukan dengan memantapkan kompetensi kepribadian guru. Pendidikan ini dapat dilakukan secara otodidak atau dilakukan secara terprogram sebagai bentuk penyegaran pada guru. Pendidikan karakter bagi guru merupakan upaya yang dapat ditempuh dalam rangka mempersiapkan agen pembaharu untuk memperbaiki kepribadian bangsa yang sedang mengalami pergeseran dan perubahan.
Daftar Pustaka

Depdiknas (2003) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Dokumentasi Depdiknas.
Depdiknas (2005) Undang-undang Guru dan Dosen. Bandung: Adicita Karya Nusa.
Depdiknas (2007) Pedoman Penilaian Guru dalam Jabatan. Jakarta: Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Budimansyah, D. (2007). “Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang”, Jurnal Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.
Raka, I.I.D.G. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Bandung: Majelis Guru Besar ITB.
Sukarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Supriadi, Dedi (1998) Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Bandung: Adicita Karya Nusa.
Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

08 Juli, 2009

Aktivitas Membaca dan Beragam Profesi

Oleh: Suherli Kusmana
Membaca merupakan kebutuhan manusia. Pada umumnya, aktivitas membaca dapat dilakukan seseorang yang mendapatkan pendidikan membaca di suatu lembaga pendidikan. Aktivitas ini dapat membuka tabir masa silam, memahami dan menelaah sesuatu yang terjadi pada masa kini, bahkan melalui aktivitas membaca seseorang dapat memprediksi suatu kondisi yang akan terjadi. Dalam perkembangan terkini, kegiatan membaca sering dijadikan sebagai dasar untuk melakukan suatu aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari membaca.
Seorang pelajar yang ingin sukses akan selalu membaca. Ia membaca buku teks pelajaran untuk beroleh pemahaman dari yang dijelaskan guru. Selain itu, pelajar akan membaca buku-buku pengayaan atau buku referensi untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan wawasan yang lebih mendalam tentang suatu bahasan yang dipelajarinya. Ketika seorang pelajar, misalnya siswa atau mahasiswa, ingin mendapatkan kejelasan tentang pembahasan materi yang dikupas oleh guru atau dosen, ia akan berusaha mencari tahu melalui kegiatan membaca.
Seorang petani akan menjadi petani yang sukses jika ia memahami makna bertani dan berbisnis. Melalui kegiatan membaca, ia akan berusaha memahami teknik efektif dalam mengembangkan hasil pertaniannya. Melalui membaca pula ia akan mengembangkan pertanian yang berorientasi pada aktivitas bisnis. Seorang petani yang ingin sukses, ia akan membaca penerapan agribisnis dalam kegiatan pertaniasn yang sedang dilakukannya.
Nelayan pun memerlukan kegiatan membaca. Apabila ia ingin menjadi nelayan yang sukses maka akan membaca hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik ikan, laut, angin, dan arus. Ia perlu membaca informasi yang berhubungan dengan penghidupannya agar bermanfaat untuk aktivitas yang sedang ditekuni. Informasi tentang alat-alat tangkap, kemampuan mesin perahu, serta informasi cara menggunakan alat tangkap yang efektif akan sangat membantunya memperbaiki penghidupan nelayan.
Seorang buruh perlu membaca. Ia harus memahami pekerjaan yang dilakukannya berdasarkan informasi dan data dari bacaan karena tidak mungkin ia terus bertanya kepada pihak lain selama ia bekerja. Ia harus membaca hal-hal teknis dari pekerjaannya dan mengenal berbagai karakteristik alat bantu yang mendukung dan meringankan pekerjaannya. Ia juga harus dapat membaca agar dapat mengetahui informasi-informasi penting yang terjadi di dunia kerjanya yang disampaikan melalui pengumuman tertulis.
Seorang politisi perlu membaca. Ia harus membaca berbagai aturan atau dasar hukum yang mengatur aktivitasnya dalam menjalankan tugas seorang politisi. Ia harus banyak membaca sebagai dasar dalam memberikan pertimbangan ketika menetapkan suatu kebijakan. Ia harus membaca informasi yang berhubungan dengan fenomena masyarakat sehingga penetapan suatu kebijakan tidak merugikan rakyat. Semakin banyak ia membaca maka semakin matang ia dalam menjalankan peran sebagai politisi.
Seorang guru perlu membaca. Ia membaca tentang bahan yang akan dibelajarkan kepada siswa. Guru juga akan membaca berbagai strategi, metode, atau teknik yang akan digunakan dalam pembelajaran. Ia melakukan kegiatan membaca untuk mendapatkan informasi penting yang mendukung tugas pokok dirinya. Ia juga membaca informasi lain yang dapat dijadikan sebagai konteks dalam pembelajaran yang dilakukan. Guru yang banyak membaca akan mendapatkan informasi yang luas dan ia akan dapat melakukan kegiatan pembelajaran secara mendalam.
Seorang penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, atau pengacara perlu membaca. Perkembangan produk hukum sangat pesat terjadi, bahkan kadang-kadang suatu produk hukum baru sedang disosialisasikan namun telah terjadi revisi karena keputusan mahkamah konstitusi. Pergantian dan perkembangan aturan sangat cepat diperlukan kemampuan dan kebiasaan membaca. Pemahaman terhadap substansi aturan atau produk hukum terbaru akan membantu pelaksanaan tugas pokoknya dalam menegakkan aturan. Kekurangan dalam membaca produk hukum ini akan memungkinkan penafsiran aturan tidak sesuai dengan landasan filosofisnya atau pengambilan keputusan tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat penting baru para penegak hukum.
Seorang ibu rumah tangga akan membaca cara memasak dan mengurus rumah yang baik. Ia membaca majalah atau tabloid yang mengupas tentang memasak dengan berbagai resep. Dengan membaca resep memasak, ia yakin masakan yang dibuatnya akan disukai suami dan anak-anak. Ia juga membaca cara merawat rumah, mulai dari bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan hingga pada panduan teknis. Ia dapat melakukan kegiatan sebagai ibu rumah tangga dengan baik karena ia membaca.
Seorang kiyai perlu membaca. Sebagai bahan petuah, pendidikan, dan pengajaran ia harus membaca kitab, tafsir, atau membaca referensi-referensi lain. Pemahaman seorang kiyai tentang sesuatu hal akan sangat luas jika ia terbiasa membaca untuk menggali informasi. Ia perlu membaca untuk mengetahui perkembangan dunia saat ini agar bahan petuahnya sesuai dengan kondisi terkini yang dihubungkan dengan dasar hukum agama.
Seorang bintang film perlu membaca naskah skenario untuk mengetahui karakter dari yang diperankannya. Ia harus memahami bagaimana ia berperan dalam film atau sinetron yang diperaninya dengan membaca. Untuk dapat menjalani peran dengan maksimal ia harus membaca skenario sampai dengan selesai. Ia akan berusaha membaca rangkaian jalan cerita yang dimaksudkan film atau sinetron tersebut. Ia membaca infromasi-informasi lain yang mendukung atau berhubungan dengan karakter tokoh yang diperankannya.
Berdasarkan ungkapan di atas, kita dapat mengetahui bahwa di zaman modern ini semua profesi dan peran memerlukan kegiatan membaca. Aktivitas ini membantunya untuk meraih sesuatu hal yang lebih baik, baik untuk kepentingan pekerjaannya maupun untuk kepentingan diri. Demikian besar makna membaca bagi kehidupan kita, sehingga seseorang akan mengalami kesulitan menjalani kehidupan zaman modern jika ia kurang membaca. Dengan demikian, benarlah peribahasa yang menyatakan bahwa "Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya". Hal ini berarti bahwa ilmu yang berlimpah di gudang itu harus dibuka dengan kunci, yaitu membaca. Marilah kita mendulang ilmu dengan membaca.
(Bagian Pertama)

18 Juni, 2009

Manajemen Strategik dalam Mengelola Satuan Pendidikan


Oleh: Suherli Kusmana

A. Pendahuluan
Dunia pendidikan sedang menjadi pusat perhatian semua komponen bangsa ini. Berdasarkan keyakinan bangsa yang hebat ini bahwa pendidikan dapat mengubah masa depan bangsa, maka sejak reformasi dilakukan berbagai perubahan mendasar dalam pengelolaan pendidikan. Perubahan mendasar dilakukan dengan mengubah konstitusi, Undang-undang Sistem Pendidikan Nomor 02/1989 menjadi Nomor 20/2003, diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta secara teknis dituangkan ke dalam peraturan menteri pendidikan tentang delapan standar pengelolaan pendidikan.
Dalam UUSPN, diungkapkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada pasal 3 yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UUSPN 20/2003). Berdasarkan fungsi ini maka pada tahun 2005 Depdiknas menetapkan Rencana Strategik Depdiknas. Pada Renstra ini diungkapkan bahwa visi depdiknas adalah “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat bahwa pada tahun 2025 dapat menghasilkan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”.
Dari Visi Depdiknas di atas dapat kita maknai bahwa Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari “masyarakat berkembang” menuju “masyarakat maju”. Pembentukan masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi kemanusiannya kurang berkembang menuju masyarakat maju dan berkembang yang mengaktualisasikan potensi kemanusiannya secara optimal. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berbasis pengetahuan.
Perubahan mendasar tersebut berada pada perubahan pengelolaan pendidikan, dari pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik. Pengelolaan pendidikan dengan berorientasi pada “kepuasan pelanggan” dengan mengedepankan mutu pendidikan. Namun perubahan pengelolaan tersebut sampai dengan saat ini masih dirasakan kurang holistik, karena pengelolaan yang selama ini dilakukan bertahun-tahun telah menjadi suatu kebiasaan, sehingga ketika diharapkan berubah masih saja yang terjadi perubahan sepenggal-sepenggal. Salah satu alternatif yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah mereset pengelolaan pendidikan dengan menerapkan manajemen strategik.

B. Kebijakan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah. Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.


C. Kebijakan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di beberapa negara maju menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat karakteristik positif dalam menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan atau pemerataan.
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat, desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah) sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai.
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.
Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat, pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding father yaitu pemerintah.

D. Manajemen Strategik
Sebagaimana diungkapkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan (sekolah/ madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat) berbasis pada potensi stakeholder di sekitar sekolah. Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Badan Hukum Pendidikan yang akan diterapkan untuk setiap satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dilakukan seperti halnya pengelolaan pesantren, diserahkan kepada pemangku kepentingan. Pemerintah tidak ikut campur lagi mengurusi hal teknis, sehingga kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu hanya difasilitasi dengan kebijakan otonomisasi, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan (ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.

1) Upaya Peningkatan Mutu sebagai Dasar Manajemen Strategik
Program peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu rencana strategik harus ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dimaksudkan untuk perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa.
Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan, berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan.
Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.

2) Menerapkan Manajemen Strategik Kontemporer
Dalam melaksanakan manajemen strategik, saat ini telah berkembang dari suatu manajemen strategik yang tradisional ke arah suatu sistem manajemen bersifat kontemporer. Sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem manajemen tradisional. Sistem manajemen tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat efisiensi keuangan, sedangkan sistem manajemen kontemporer mencakup 4 (empat) perspektif yaitu mencakup perspektif efisiensi keuangan, proses layanan internal, kepuasan pelanggan, dan pertumbuhan layanan jasa.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu:
(1) Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan;
(2) Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan;
(3) Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan;
(4) Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan misi sekolah;
Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan.
Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.

E. Simpulan
Manajemen strategik merupakan salah satu implementasi dari Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Manajemen strategik pada satuan pendidikan merupakan pengelolaan pendidikan yang dipimpin oleh kepala sekolah sebagai manajer dan leader di satuan pendidikan. Manajemen strategik merupakan model pengelolaan pendidikan modern yang harus diterapkan oleh setiap satuan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan;
Manajemen strategik merupakan pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada quality assurance sebagai jaminan kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal dalam pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan mutu. Manajemen strategik direncanakan oleh satuan pendidikan dengan selalu menganalisis pada potensi kekuatan dan kekurangan serta analisis pada lingkungan sebagai peluang dan tantangan.

(Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di Cilacap Jawa Tengah pada tanggal 14 Juni 2009)

30 Mei, 2009

Kelompok Idealisme vs Pragmatisme

Oleh: Suherli Kusmana

        Perubahan merupakan karakteristik keinginan individu untuk maju. Perubahan merupakan fitrah manusia dan sunnah dalam beribadah. Perubahan selalu menjanjikan sesatu yang baru. Perubahan juga merupakan sebuah keinginan bagi setiap orang. Perubahan merupakan modal bagi institusi yang ingin selalu dinamis dan meraih masa depan yang lebih baik. Perubahan adalah sebuah pemikiran rasional dan ideal.
     Dalam mengungkapkan kata “perubahan” memang sangat mudah. Mengungkapkan keinginan untuk berubah pun sangat mudah. Menawarkan makna perubahan dalam suatu kompetisi pemilihan pimpinan pun sangat mudah. Bergabung dan berkumpul dalam suatu kelompok untuk melakukan perubahan pun sangat mudah. Bahkan, mengungkapkan keinginan perubahan dengan mendorong seseorang untuk berkompetisi dalam suatu pemilihan pun sangat mudah, namun harus berhati-hati menyamakan maknanya.
        Pada kondisi seperti sekarang, perubahan telah berkembang seiring dengan kepentingan manusia. Perkembangan makna kata “perubahan” itu secara umum seiring dengan karakter dan sifat manusia. Oleh karena itu, perubahan dalam diri manusia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu perubahan kaum bersifat idealis-rasionalis dan pragmatis-subjektif.
        Kelompok idealis-rasionalis merupakan kelompok yang menginginkan sebuah perubahan karena berpemikiran jernih, tulus, dan berpangkal pada keimanan dan keyakinan. Mereka berkeinginan untuk memajukan kelompok atau institusi. Mereka meyakini bahwa perubahan institusi merupakan salah satu upaya untuk menuju masa depan yang lebih baik agar dapat dinikmati oleh semua pihak dan generasi yang akan datang. Mereka menancapkan makna perubahan itu untuk kelompok, institusi, dan masa depan.
         Kelompok pragmatis-subjektif merupakan kelompok yang menginginkan perubahan juga. Namun, perubahan yang mereka serukan berbeda dengan yang dimaknai kelompok pertama. Kelompok ini memaknai perubahan secara hipokrit, pamrih, seperti tulus padahal berhati dengki, berbeda antara mulut dengan hati, dan berpangkal pada kebencian dan iri hati. Perubahan yang mereka inginkan adalah perubahan dirinya, baik jabatan, pendapatan, dan kenikmatan sesaat lainnya. Perubahan yang mereka inginkan itu perubahan penghasilan, bukan perubahan dalam menuju masa depan.
        Kelompok pragmatisme ini mudah diidentifikasi. Mereka sering berkata atau bercerita bohong karena ia ingin menutupi kelemahannya. Mereka itu biasanya memiliki ketidakmampuan dalam mengatasi kesulitan kebutuhan hidup. Mereka biasanya takut kehilangan jabatan, kedudukan, dan kenikmatan lain yang selama ini telah dinikmati. Mereka tidak memiliki keyakinan akan beroleh perubahan penghasilan jika mereka benar, jujur, rasional, dan ideal. Namun, karakteristik tersebut dapat tampak secara eksplisit dan dapat pula tampak secara implisit dari sikap, gerak-gerik, perilaku, dan kesediaan untuk berkorban untuk kepentingan kelompok.
          Kelompok idealis mudah didentifikasi dan kelihatan. Mereka bekata jelas dan apa adanya, sekalipun pahit. Mereka akan mengukuhkan dirinya berpandangan perubahan secara nyata, eksplisit, dan tidak takut jika penghidupan berkurang. Sementara itu, kelompok pragmatis tidak kelihatan. Mereka halus sekali menyusup dalam sendi-sendi kelompok. Mereka bersemboyan harmonisasi untuk menutupi keberpihakannya. Hati mereka terbelah antara idealis dan pragmatis. Pandangan dan pendapatnya berada di simpang jalan. Mereka akan mengira kita tidak mengetahuinya, padahal keberadaan mereka sangat "terang benderang". 
        Kedua kelompok tersebut saat ini ada di sekitar kita. Khusus untuk kaum idealisme, saya berharap agar berhati-hatilah dengan kelompok pragmatisme. Mereka, kelompok pragmatisme menginginkan perubahan tetapi tidak tulus. Perubahan yang mereka inginkan hanya untuk dirinya. Perubahan yang menguntungkan kepentingan dirinya, sedikit untuk kepentingan kelompok dan minus untuk kepentiingan institusi. Marilah kita berdoa saja agar mereka "kembali ke jalan yang benar!". Amin. 

 

03 Mei, 2009

Bagaimana Mengembangkan Kurikulum Sekolah?


Oleh: Suherli Kusmana

Berdasarkan pengamatan penulis pada sekolah-sekolah yang dikunjungi mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Bali, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, dan beberapa tempat lainnya masih belum optimal mengembangkan kurikulum sekolah, sebagai bentuk penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada umumnya sekolah-sekolah masih belum dapat memberdayakan potensi yang dimilikinya. Padahal pemberdayaan sekolah dimaksudkan untuk memberikan otonomi yang lebih luas dalam memecahkan masalah oleh warga sekolah itu sendiri (Fattah, 2004: 8). Sekolah seharusnya memiliki otonomi, kemandirian, dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Salah satu kewenangan sekolah adalah mengembangkan kurikulum. Pada umumnya, kurikulum yang digunakan di setiap sekolah sama dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang ditetapkan pemerintah sebagai kerangka dasar atau standar minimal. Dengan demikian, kurikulum mereka adalah kurikulum minimal atau berada di “garis kritis”. Kondisi ini merupakan pengaruh dari kebiasaan manajemen pra-reformasi yang sentralistik. Dahulu, setiap sekolah telah terbiasa menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional, sedangkan saat ini sekolah diberi kewenangan mengembangkan kurikulum secara mandiri. Pengembangan kurikulum secara mandiri ini tetap berdasarkan pada rambu-rambu yang ditetapkan dalam pengembangan kurikulum. Untuk mendorong hal ini, dinas pendidikan harus berperan sebagai penyelia pengembangan kurikulum sekolah, bukan malah mengatur dan mengharuskan kurikulum yang seragam.
Pada tahun 2006 diluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tentang Standar Isi dan Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, serta Nomor 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Ketiga peraturan menteri tersebut sebagai hasil kerja tim independen, yaitu Badan Standardisasi Nasional Pendidikan yang merupakan tindak lanjut dari kebijakan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Nomor 19 Tahun 2005. Implikasi dari hal itu, maka pemerintah tidak lagi menyusun kurikulum yang harus berlaku secara nasional, sehingga pengembangan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab sekolah bersama-sama Komite Sekolah. Kurikulum sekolah boleh berbeda antara satu sekolah dengan yang lain, namun harus memuat SI dan SKL yang ditetapkan pemerintah.
Penyusunan kurikulum sekolah merupakan salah satu otonomi sekolah. Pemerintah hanya mengembangkan kerangka dasar, yang tertuang dalam KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. KTSP ini selanjutnya harus dikembangkan menjadi kurikulum sekolah, misalnya dengan nama sekolah, contoh Kurikulum SMP Negeri 7 Ciamis. Sekolah dapat menambah atau mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dasar yang terdapat dalam SI, namun tidak boleh mengurangi. Penambahan atau pengembangan ini disesuaikan dengan potensi daerah dan karakteristik sosial budaya masyarakat Indonesia yang beragam.
Prinsip-prinsip yang harus dianut dalam mengembangkan kurikulum sekolah adalah (1) berpusat pada peserta didik; (2) beragam dan terpadu; (3) adaptif pada perkembangan ipteks; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; (7) berkeseimbangan antara kebutuhan pusat dan daerah (BSNP, 2006). Pengembangan kurikulum sekolah ini dilakukan oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah atau nara sumber potensial di daerah.
Kurikulum sekolah yang dikembangkan berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum sekolah yang dikembangkan harus memerhatikan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Kurikulum sekolah dikembangkan secara beragam dan terpadu, berarti harus memerhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum harus dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis. Semangat dan isi kurikulum seharusnya mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum yang dikembangkan harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Dengan demikian, dalam mengembangkan kurikulum sekolah harus melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
Kurikulum dikembangkan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Di dalam substansi kurikulum tercakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar jenjang pendidikan.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan konsep belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum harus mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
Berdasarkan ketentuan pengembangan kurikulum di atas, marilah kita mulai menata kualitas pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Untuk itu, marilah memulai upaya ini dengan mengembangkan kurikulum sekolah secara benar! Mudah-mudahan pengembangan kurikulum secara benar ini dapat mengangkat “mutiara terpendam” sebagai potensi daerah yang selama ini terabaikan.

19 April, 2009

Strategi Mengawal Kebijakan Publik






Suherli Kusmana



1. Pendahuluan
Konsep dasar pemerintahan adalah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi harapan dan kebutuhan rakyat. Upaya-upaya tersebut berkaitan dengan manajemen dan politik yang diterapkan oleh kepala pemerintahan. Pendekatan manajemen dijalankan agar implementasi itu berlangsung secara sistematis. Pendekatan politik digunakan untuk menciptakan dukungan yang lebih banyak dari wakil-wakil rakyat terhadap suatu kebijakan yang diperuntukan bagi rakyat. Perpaduan keduanya merupakan sebuah “seni” dalam memimpin suatu organisasi.
Apabila kita cermati kebijakan publik merupakan keniscayaan pemerintahan yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemerintah menghipun sumber daya finansial dari pajak yang berhubungan dengan kepentingan dan aktivitas rakyat. Oleh karena rakyat memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk memamaj pemerintahan maka ia harus menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat.
Persoalannya, formasi dan implementasi kebijakan publik itu kerap kurang dipahami secara utuh oleh rakyatnya. Pemerintahan yang dijalankan oleh orang yang tidak amanah cenderung membohongi rakyat karena dianggapnya rakyat tidak tahu. Oleh karena itu, tampaknya diperlukan serangkaian strategi untuk mengawal formulasi dan implementasi kebijakan publik tersebut, terutama di era trasfaransi seperti sekarang ini. Pembohongan terhadap rakyat sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Untuk itulah, rakyat harus cerdas dalam mencermati persoalan pemerintahan dengan menata dan mendorong penerapan strategi untuk mengawal formaulasi dan implementasi kebijakan publik.

2. Sepintas Perkembangan Kebijakan Publik
Kebijakan publik di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dari kebijakan yang dilakukan secara sentralistik berubah menjadi desentralistik, dari kewenangan pusat menjadi kewenangan daerah otonom, dari semula masyarakat hanya dianggap sebagai pengguna berubah menjadi pengontrol dan pengawas. Dari penyeragaman berubah menjadi keberagaman berdasarkan kerangka dasar yang ditetapkan.
Kebijakan sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Orde Lama masih berorientasi politik. Salah satu contoh kebijakan publik saat itu dilakukan secara sentralistik dalam bidang pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Sementara itu, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru.
Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima. Pembangunan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Berbagai layanan publik tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Bentuk pembangunan pada saat itu mengingkari kebhinekaan serta semakin mempertajam bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas.
Pada masa transisi, kebijakan publik merupakan masa refleksi terhadap arah pembangunan nasional. Dalam bidang pendidikan, Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis pembangunan telah membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan. Dari krisis moneter berlanjut pada krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kehidupan dan budaya bangsa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pemerintahan kita, sehingga berbagai perubahan dirasakan sangat drastis dan mencengangkan.
Kebijakan pemerintah mengenai Otonomi Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menggelorakan kehidupan demokrasi. Salah satu kebijakan publik dalam bidang pendidikan adalah menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi sekolah. Namun, kebijakan ini kerap kali mendapat tantangan dari dalam, khususnya para pelaksana yang tidak terbiasa dengan kebijakan di era terbaru. Banyak di antara pelaksana pemerintahan hanya mengandalkan kegiatan copy-paste terhadap pembangunan yang dilaksanakan. Dengan demikian, para pelaksana pembangunan cenderung berlaku konvensional dalam memanaj pemerintahan bagi kepentingan rakyat.

3. Strategi Pengawalan
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengawal formula dan implementasi kebijakan publik. Namun demikian, pada kesempatan ini disajikan Lima Strategi untuk mengawal layanan publik, yaitu (1) menciptakan sistem stabdar layanan; (2) menerapkan Hight-Technology; (3) memberdayakan potensi insan pers; (4) meningkatkan peran lembaga swadaya masayrakat; dan (5) mengembangkan sistem pendidikan kepedulian. Adapun operasional setiap strategi adalah sebagai berikut.

1) Menciptakan Sistem Standar Layanan
Setiap institusi publik harus didorong untuk menerapkan sistem standar layanan, misalnya menggunakan ISO. Sistem ini menuntut setiap pelaksana menerapkan standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Pemerintah harus memiliki jaminan layanan publik yang bersifat universal. Apabila hal ini belum dapat dilaksanakan, maka lembaga layanan publik harus dapat menciptakan standar layanan secara mandiri namun harus dibantu oleh akademisi atau perguruan tinggi. Namun demikian, sangat diperlukan pelaksanaan monitoring dan evaluasi dari pihak independen yang abjektif.

2) Menerapkan Hight Technology
Kelemahan mendasar dari layanan adalah penerapan teknologi dan informasi. Oleh karena itu, pemernitah harus didorong menggunakan fungsi teknologi tingkat tinggi dalam menjalankan aktivitasnya. Penerapan teknologi tingkat tinggi memberi kemungkinan kepada pihak lain untuk melakukan kontrol terhadap suatu kegiatan yang dijalankan, termasuk layanan publik. Pemerintah pusat hingga daerah (kabupaten/kota) harus didorong untuk menerapkan hight technology sehingga kelemahan yang dimiliki SDM pemroses data dapat teratasi.

3) Memberdayakan Potensi Insan Pers
Pihak yang selama ini memiliki ruang publik yang sangat leluasa adalah pers. Melalui suatu pemberitaan akan banyak orang mengetahui suatu informasi yang terjadi dalam waktu singkat. Pers memiliki kode etik dan memiliki kebebasan dalam mengungkapkan suatu kebenaran atau fakta apa adanya. Profesionalisasi insan pers merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mengontrol layanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya-upaya agar insan pers berdaya, memiliki jiwa patriotis, objektif, dan profesional dalam memberitakan layanan publik.

4) Meningkatkan Peran Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki konstribusi yang tidak sedikit dalam memajukan bangsa ini. Banyak pegiat LSM yang memiliki nurani dan memiliki jiwa patriotis dalam memajukan bangsa. Para pegiat LSM melakukan aktivitas secara tanpa pamrih, kecuali untuk kepentingan masayrakat secara umum. Oleh karena itu, sangat diperlukan peningkatan peran LSM dalam pengawasan terhadap pemerintah khususnya dalam memformulasikan dan mengimplementasikan layanan publik.

5) Mengembangkan Sistem Pendidikan Kepedulian
Dunia pendidikan kita saat ini telah menuju pada perbaikan yang sangat menggembirakan. Jika negara tetangga telah menetapkan anggaran pendidikan minimal 20% itu sejak tahun 1979 maka Indonesia sejak tahun 2009 telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20%. Sejak tahun 2000 dilakukan penataan pengelolaan pendidikan di Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Dalam konteks pengawasan implementasi kebijakan publik, tampaknya perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan kepedulian. Para siswa perlu dibekali pendidikan kepedulian, kebangsaan, dan wawasan cinta tanah air secara mantap. Arah pendidikan pun bukan pada pencapaian nilai, melainkan pada penerapan nilai-nilai kepedulian.

4. Penutup
Masih banyak hal yang dapat kita lakukan dalam mengawal formulasi dan implementasi kebijakan publik saat ini. Kata kuncinya adalah bahwa setiap komponen bangsa ini harus menunjukkan jati diri atau “karakter” sebagai bangsa yang besar, maju, dan peduli. Selain itu, berbagai upaya harus ditempuh dan dilakukan dalam rangka membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Pandangan-pandangan konvensional tentang warga negara harus segera ditinggalkan dan diubah dengan pandangan yang konstruktif.
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah dan peduli. Oleh karena itu, setiap komponen bangsa ini harus dapat menjalankan perannya masing-masing, sekalipun perannya kecil. Setiap komponen bangsa harus bersama-sama menjelmakan sebuah perubahan yang sangat diidamkan setiap orang. Setiap komponen bangsa Indonesia harus memiliki kepedulian untuk memajukan bangsa ini dan mengakselerasi pembangunan agar dapat melakukan lompatan positif agar bangsa ini semakin maju.
Dalam konteks kaderisasi yang sampai saat ini terasa bahwa bangsa ini telah banyak yang terkontaminasi, maka kita harus dapat menjadi “agen pembaharu”. Kita harus memposisikan diri sebagai komunitas yang maju, cerdas, dan modern. Dalam mengawal furmulasi dan implementasi layanan publik, kita harus dapat secara tegas mengejawantahkan strategi pengawalan. Dorongan yang sangat kuat atas kehendak komponen bangsa akan sangat berpengaruh pada “akselerasi” suatu perubahan pada bangsa ini. Mari kita berbuat!


(Makalah ini dipresentasikan pada Latihan Kader II Tingkat Nasional HMI Cabang Ciamis pada tgl 20 April 2009 di Pangandaran)

22 Maret, 2009

Penyusunan Naskah Pidato Kenegaraan (Sebuah Pengantar)


Oleh: Suherli Kusmana
A. Pendahuluan
Pidato kenegaraan merupakan media komunikasi negarawan. Pidato ini merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin dengan sasaran yang makro. Komunikasi negarawan ini ditujukan kepada semua komponen, bukan hanya pada khalayak sasaran yang hadir pada suatu acara, melainkan kepada semua pihak yang tidak secara langsung menghadiri acara tersebut. 
Pidato kenegaraan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya. Seiring dengan perkembangan media publikasi, pidato ini dapat dipancarluaskan secara langsung melalui media massa elektronik dan disampaikan secara cepat melalui media cetak. Komunikasi ini makin bertambah efektif, karena aksesibilitas masyarakat yang memiliki kepedulian pada kepentingan bangsa dan negara sangat mudah dilakukan melalui media teknologi. Media pidato ini telah semakin mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya.  
Seorang pemimpin yang berpidato dapat dianggap sebagai representasi dari suara rakyat dalam menyikapi berbagai fenomena yang terjadi. Pesan dalam pidato yang disampaikan merupakan kecenderungan objektif dari sikap rakyat pada umumnya karena pemimpin mewakili suara mereka. Suara dan sikap rakyat tersebut dapat tercermin melalui wakil-wakil mereka atau berbagai sarana lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan objektif. 
Pidato kenegaraan merupakan sikap politik kenegaraan terhadap suatu fenomena yang berhubungan dengan pengelolaan negara. Komunikasi yang disampaikan juga merupakan sikap pemerintah dalam menghadapi suatu persoalan utama yang sedang berkembang di masyarakat. Dari komunikasi ini berdampak pada aspek-aspek lain yang sangat signifikan, misalnya perkembangan perekonomian, kebijakan hubungan luar negeri, atau dinamika politik dalam negeri.  
Pidato kenegaraan merupakan bukti sejarah perkembangan suatu masyarakat. Dalam pidato ini tertuang perspektif negara, pemerintahan, atau pemimpin terhadap perkembangan suatu masyarakat yang dipimpinnya. Pidato ini dapat direkam secara visual dan audial sehingga dapat menjadikannya sebagai bukti sejarah. Generasi mendatang dapat mengetahui sejarah yang terjadi pada suatu kurun waktu dari naskah pidato yang terdokumentasi.  
Berdasarkan paparan di atas, makna pidato kenegaraan demikian penting sehingga perlu dirancang dalam bentuk naskah pidato yang benar, prima, dan multifungsi. Rancangan naskah pidato kenegaraan, selain harus memerhatikan norma resmi kenegaraan juga menggunakan media (baik bahasa Indonesia maupun Inggris) secara benar. Naskah pidato kenegaraan harus dirancang dengan bahasa yang lugas, objektif, cermat, dan cendekia agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran yang dilakukan oleh khalayak pendengar. Selain harus memerhatikan norma komunikasi kenegaraan, naskah pidato juga harus mengangkat data terkini (update) yang dikomunikasikan kepada khalayak sasaran.  

B. Bahasa dalam Komunikasi Kenegaraan
Komunikasi kenegaraan memiliki makna yang multidimensional. Pesan yang disampaikan bukan hanya yang berkaitan dengan acara yang sedang berlangsung, melainkan berkaitan pula dengan peristiwa aktual yang sedang berkembang di masyarakat, baik tingkat nasional maupun global. Pada umumnya, komunikasi yang disampaikan oleh negarawan tidak hanya terfokus pada topik yang sedang berlangsung, melainkan dikaitkan pula dengan suatu fenomena aktual sebagai bentuk komunikasi pemerintah dengan pihak-pihak lain.
Naskah pidato kenegaraan merupakan dokumen negara. Dalam dokumen ini tertuang data komunikasi kenegaraan yang berhubungan dengan perkembangan politik, permasalahan yang berkembang di masyarakat, sikap pemerintah dalam menghadapi permasalahan, serta pandangan pemerintah terhadap suatu fenomena yang berkembang. 
Naskah pidato kenegaraan harus menunjukkan kecendekiaan berbahasa. Hal ini ditandai dengan penggunaan bahasa (Indonesia atau Inggris) sebagai media komunikasi yang menggunakan unsur linguistik pada tataran morfologi (bentuk dan makna kata), sintaksis (struktur dan ragam kalimat), dan wacana (koherensi dan kohesivitas paragraf) secara benar. Ketepatan dan kesesuaian dalam menggunakan bentuk kata dapat mendukung pada keutuhan makna sebagaimana yang ingin diinformasikan dalam naskah pidato itu. 
Aspek bahasa yang digunakan dalam naskah pidato kenegaraan pada tataran morfologi adalah kata, pada tataran sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Pada tataran semantik dalam naskah pidato diperlukan kejelasan, keefektifan, dan kesesuaian untuk memediatori gagasan yang dituangkan dalam bentuk naskah tertulis. Kecendekiaan penggunaan bahasa dalam naskah pidato ditandai oleh ciri kebahasaan tertentu, logis dan bermakna tunggal (Peursen,1985:18).  
 Fungsi utama bahasa adalah media untuk berkomunikasi sosial (Dixon-Kraus, 2000), baik internal maupun eksternal. Berkomunikasi secara internal adalah berkomunikasi dalam diri sebagai bentuk kegiatan berpikir, sedangkan berkomunikasi secara eksternal adalah kegiatan berpikir untuk menyampaikan buah pikiran. Dalam kegiatan berkomunikasi internal, bahasa digunakan sebagai media untuk bertanya jawab di dalam diri yang tidak dapat diamati secara verbal. Dalam berkomunikasi eksternal, bahasa digunakan untuk berpikir dalam membuahkan pemikiran dan digunakan pula untuk menyampaikan hasil pemikiran kepada khalayak sasaran. 
Kegiatan berkomunikasi dengan menggunakan media bahasa bukan saja berupa kemampuan merangkai satuan-satuan linguistik, melainkan dapat berupa kemampuan berpikir dan bernalar. Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai alat berkomunikasi dan juga merupakan alat yang penting untuk berpikir (Rapar, 1996:16). Hasil-hasil pemikiran manusia dituangkan, dirancang, dan dirangkai ke dalam suatu hasil penalaran untuk dikomunikasikan kepada pihak lain.
Berdasarkan paparan ini maka bahasa dalam komunikasi kenegaraan harus benar dalam berbagai tataran. Nakah pidato sebagai komunikasi kenegaraan harus dapat berfungsi sebagai komunikasi internal dan eksternal seorang negarawan kepada rakyatnya. Bahasa komunikasi kenegaraan merupakan penalaran seorang pemimpin dalam menyikapi berbagai kepentingan negara dengan rakyatnya. 

C. Penyusunan Naskah Pidato
Penyusunan naskah pidato kenegaraan perlu mendapat perhatian cermat para pelaksana di sekretariat kenegaraan. Penyusun naskah pidato kenegaraan harus memahami makna bahasa pemimpin. Bahasa yang digunakan dalam pidato seorang pemimpin harus menunjukkan bahasa yang lugas, objektif, cermat, dan cerdas. Bahasa seorang pemimpin merupakan kebanggaan komunitas yang dipimpinnya. Kecermatan penggunaan bahasa sangat diperlukan karena bahasa seorang pemimpin sering dijadikan sebagai dasar rujukan bagi pengguna bahasa lain, termasuk rakyatnya. Oleh karena itu, penyusun naskah pidato kenegaraan harus memahami penggunaan bahasa yang baik dan benar untuk berkomunikasi yang efektif. 
Tim penyusun naskah pidato kenegaraan harus menguasai penggunaan bahasa yang benar dan efektif. Karakteristik penggunaan bahasa ini tampak dalam kecendekiaan penggunaan bahasa yang lugas dan jelas (Rusyana, 1984:166). Bahasa pidato kenegaraan seharusnya tidak menimbulkan makna yang dapat membiaskan masud komunikasi tersebut. Pilihan kata dalam naskah pidato harus konsisten dan tidak ambigu. Oleh karena itu, dalam menyusun naskah pidato kenegaraan diperlukan penggunaan bahasa yang lugas, lurus, bermakna tunggal, dan ajeg. 
Selain menguasai penggunaan bahasa, tim penyusun naskah pidato harus menguasai substansi isi yang akan disajikan dalam naskah pidato. Penyusun naskah pidato harus memahami topik yang akan disampaikan dan kebijakan pemerintah terhadap topik tersebut. Tim penyusun harus dapat menggali informasi yang berkaitan dengan suatu topik yang akan dituangkan dalam naskah pidato. Kelemahan dalam penguasaan topik yang akan disajikan akan dapat mendangkalkan naskah pidato yang disusun.
Pemahaman tentang wacana perkembangan masyarakat yang aktual diperlukan oleh penyusun naskah pidato kenegaraan. Dengan demikian, pesan yang dituangkan dalam naskah pidato merupakan sikap pemerintah terhadap kondisi masyarakat. Pemahaman tentang perkembangan masyarakat harus terus dibina di lingkungan tim penyusun naskah pidato agar rancangan naskah pidato selalu merupakan data terkini.
Hal yang penting dalam penyusunan naskah pidato kenegaraan adalah tahap penyuntingan. Tahap ini berguna untuk mengoreksi topik utama pidato, penggunaan bahasa, penggunaan data-data kuantitatif, serta kesesuaian dengan wacana yang sedang berkembang di masyarakat. Untuk melakukan kegiatan ini perlu ada tim khusus yang dapat berfungsi menyunting rancangan akhir naskah yang sudah dipersiapkan oleh tim penyusun. Proses penyuntingan dilakukan untuk meminimalisasi beberapa kekurangan dari suatu naskah pidato kenegaraan sebelum diserahkan kepada pihak yang berwenang. 

D. Penutup
Berdasarkan paparan di atas maka pada bagian ini dapat disimpulkan beberapa hal yang sangat penting. 
Pertama, pidato kenegaraan merupakan komunikasi negarawan dengan rakyatnya, sikap politik kenegaraan, dan merupakan sejarah perkembangan sebuah bangsa. Demikian pentingnya suatu pidato sebagai komunikasi kenegaraan maka perlu disusun dalam bentuk naskah pidato kenegaraan.
Kedua, bahasa pidato merupakan bahasa komunikasi sosial, bahasa yang cendekia, bahasa komunikasi sosial, dan merupakan hasil berpikir seorang pemimpin. Pemahaman akan peran bahasa dalam komunikasi kenegaraan ini maka diperlukan penataan dan pengelolaan secara saksama.  
Ketiga, penyusunan naskah pidato harus memerhatikan tiga aspek, yaitu karakteristik pemimpin, penggunaan bahasa yang baik dan benar, serta menguasai topik dan informasi terkini yang sedang berkembang. Pemahaman terhadap hal tersebut akan menyalaraskan isi naskah pidato dengan makna komunikasi kenegaraan. (Tulisan disampaikan pada Pelatihan Penulisan Naskah Pidato Kenegaraan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Sekretariat Negara tanggal 2 Maret 2009 di Cipete Jakarta).

E. Daftar Pustaka
Dixon-Krauss, Lisbeth (2000) A. Mediation Model for Dynamic Literacy Instruction. Available on: http/www.psych.hanover.edu/vygotsky/ Kraus.html. [17 Desember 2000].
Di Yanni, Robert and Pat C. Hoy (1995) The Scriber Handbook for Writing. Boston: Allya & Bacon.
Peurson, C.A. Van. (1985) Susunan Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Ranard, A. Donald and Margo Pfleger (1993). Language and Literacy Education for Southeast Asian Refugees. In Eric Digest [On Line] Vol. EDO-LE-93-06, September 1993; 5pages. Available on: http://edu.NCLE-CAL/html [02 Februari 2001]. 
Rapar, Jan Hendrik (1996) Pengantar Logika: Asas-asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.Rusyana, Yus (1984) Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Suherli (2007) Menulis Karangan Ilmiah: Teori dan Aplikasi. Jakarta: CV Arya Duta.


10 Februari, 2009

Mengenal Jenis Buku Nonteks


Oleh:  Suherli Kusmana
1. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Fokusmedia, 2003). 
Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional tentang buku-buku pendidikan diungkapkan terdapat empat jenis, yaitu buku teks pelajaran, buku pengayaan, buku referensi, dan buku panduan pendidik (2004: 4). Klasifikasi ini diperkuat lagi oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 2008 pasal 6 (2) yang menyatakan bahwa “selain buku teks pelajaran, pendidik dapat menggunakan buku panduan pendidik, buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran”. Berdasarkan ketentuan di atas maka terdapat empat jenis buku yang digunakan dalam bidang pendidikan, yaitu (1) Buku Teks Pelajaran; (2) Buku Pengayaan; (3) Buku Referensi; dan (4) Buku Panduan Pendidik.  
Untuk memudahkan dalam memberikan klasifikasi dan pengertian pada buku-buku pendidikan, dilakukan dua pengelompokan buku pendidikan yang ditentukan berdasarkan ruang lingkup kewenangan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu (1) Buku Teks Pelajaran dan (2) Buku Nonteks Pelajaran. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan standarisasi buku teks pelajaran adalah Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP), sedangkan buku pengayaan, referensi, dan panduan pendidik bukan merupakan kewenangan badan ini. Hal di atas dipertegas lagi oleh surat Badan Standarisasi Nasional Pendidikan nomor 0103/BSNP/II/2006 tanggal 22 Februari 2006 yang menegaskan bahwa BSNP hanya akan melaksanakan penilaian untuk Buku Teks Pelajaran dan tidak akan melakukan penilaian atau telaah buku selain buku teks pelajaran. Oleh karena itu kewenangan untuk melakukan stadarisasi buku-buku pendidikan, selain buku teks pelajaran adalah Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Struktur Organisasi Pusat-pusat di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam ketententuan tersebut dinyatakan bahwa fungsi Pusat Perbukuan adalah melakukan pengembangan naskah, pengendalian mutu buku, dan melakukan fasilitasi perbukuan, khususnya bagi lembaga pendidikan dasar dan menengah. 
Berdasarkan pengelompokkan di atas maka buku nonteks pelajaran berbeda dengan buku teks pelajaran. Jika dicermati berdasarkan makna leksikal, buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk memelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan. Sementara itu, buku nonteks pelajaran merupakan buku-buku yang tidak digunakan secara langsung sebagai buku untuk memelajari salah satu bidang studi pada lembaga pendidikan. 

2. Ciri-ciri buku Nonteks
Berdasarkan pengelompokkan di atas, dapat diidentifikasi ciri-ciri buku nonteks pelajaran, yaitu: 
(1) Buku-buku yang dapat digunakan di sekolah atau lembaga pendidikan, namun bukan merupakan buku pegangan pokok bagi peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran;
(2) Buku-buku yang tidak menyajikan materi pembelajaran yang dilengkapi dengan instrumen evaluasi dalam bentuk tes atau ulangan, latihan kerja (LKS) atau bentuk lainnya yang menuntut pembaca melakukan perintah-perintah yang diharapkan penulis;
(3) Buku-buku nonteks pelajaran tidak diterbitkan secara berseri berdasarkan tingkatan kelas atau jenjang pendidikan;
(4) Buku-buku nonteks pelajaran berisi materi yang tidak terkait secara langsung dengan sebagian atau salah satu Standar Kompetensi atau Kompetensi Dasar yang tertuang dalam Standar Isi, namun memiliki keterhubungan dalam mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional;
(5) Materi atau isi dari buku nonteks pelajaran dapat dimanfaatkan oleh pembaca dari semua jenjang pendidikan dan tingkatan kelas atau lintas pembaca, sehingga materi buku nonteks pelajaran dapat dimanfaatkan pula oleh pembaca secara umum;
(6) Penyajian buku nonteks pelajaran bersifat longgar, kreatif, dan inovatif sehingga tidak terikat pada ketentuan-ketentuan proses dan sistematika belajar yang ditetapkan berdasarkan ilmu pendidikan dan pengajaran. 

Dengan mengacu pada ciri-ciri buku nonteks pelajaran tersebut maka dapat dinyatakan bahwa buku nonteks pelajaran adalah buku-buku berisi materi pendukung, pelengkap, dan penunjang buku teks pelajaran yang berfungsi sebagai bahan pengayaan, referensi, atau panduan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran dengan menggunakan penyajian yang longgar, kreatif, dan inovatif serta dapat dimanfaatkan oleh pembaca lintas jenjang dan tingkatan kelas atau pembaca umum. Pendidikan akan berhasil jika peserta didik mengalami perubahan ke arah positif dalam berbagai aspek. Buku akan sangat membantu dalam pencapaian perubahan ini. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila pemerintah dan semua pihak dapat mengembangkan pengadaan buku, baik buku teks pelajaran, buku panduan pendidik, buku pengayaan, dan buku referensi. Untuk keperluan ini diperlukan langkah-langkah pengendalian dan pemantauan agar keberadaanya benar-benar dapat membantu peningkatan mutu pendidikan serta sekaligus merupakan sarana yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sejalan dengan Permendiknas Nomor 11/2005 Pasal 2 yang intinya menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, selain menggunakan buku teks pelajaran sebagai acuan wajib, guru dapat menggunakan buku pengayaan dalam proses pembelajaran dan menganjurkan peserta didik membacanya untuk menambah pengetahuan dan wawasan (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2005:3).

3. Judul-judul Buku Nonteks
Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri buku nonteks di atas maka pada bagian ini disajikan beberapa contoh judul atau topik buku-buku nonteks pelajaran. Contoh judul-judul ini yang kebetulan sama dengan judul buku yang beredar di pasaran bukan dimaksudkan untuk berpromosi tentang buku tersebut. Adapun contoh setiap jenis buku nonteks adalah sebagai berikut. 
(1) Buku Pengayaan Pengetahuan
Contoh judul buku pengayaan pengetahuan adalah:
 Tanaman Obat Penyembuh Ajaib karya Herminia de Guzman-Ladion.
 Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis karya Eddy Prahasta. 
 Pemugaran Candi Tikus karya Sri Sugiyanti, dkk.
 Tumbuhan Berkhasiat karya Dadi Gundayana
(2) Buku Pengayaan Keterampilan
  Contoh judul buku pengayaan keterampilan adalah:
a) Membuat Mesin Tetas Elektronik karya Kelly S.
b) Budidaya Ayam Bangkok karya Dudung Abdul Muslim.
c) Petunjuk Perawatan Anggrek karya Hadi Iswanto.
d) Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan karya Ny. Rusina S. Pamuntjak.
(3) Buku Pengayaan Kepribadian
Contoh judul buku pengayaan kepribadian:
 Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana. 
 Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata.  
 Merakit dan Membina Keluarga Bahagia karya W. Jay Batra dkk.
 Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini karya R.I. Suhartin C.
 Membangun Kreativitas karya Anna Craft.
(4) Buku Referensi
a) Ensiklopedia
Contoh-contoh judul ensiklopedia di antaranya adalah:
 Encyclopedia Americana oleh Americana Corporation
 Ensiklopedia Botani 
 Ensiklopedia Arsitektur
 Ensiklopedia Antariksa  
b) Kamus
  Contoh-contoh judul kamus di antaranya adalah:
 Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta;
 Kamus Inggris-Indonesia karangan Jhon Echols dan Hasan Sadili;
 Kamus Linguistik karangan Harimurti Kridalaksana; 
 Kamus Istilah Politik karangan Tony Rachmadie dkk.
c) Atlas atau Peta
  Contoh judul-judul peta atau atlas di antaranya:
 Atlas Provinsi Jawa Barat
 Atlas Provinsi Kepulauan Riau
 Peta Samudra Indonesia
d) Jenis Referensi Khusus
  Contoh-contoh judul ensiklopedia di antaranya:
 Undang-undang Dasar 45 dan Hasil Amandemen
 Undang-undang Nomor 20/2003
 KUHAP
 Al Quran
(5) Buku Panduan Pendidik
a) Pendidikan dan Pembelajaran
Contoh-contoh judul buku jenis ini, misalnya:
 Mendidik Anak dengan Cerita ditulis oleh Abdul Aziz Abdul Majid
 Pembelajaran Cerpen melalui Dramatisasi 
 Metode Inkuiri dalam Pembelajaran Sains  
b) Media Pembelajaran
  Contoh-contoh topik buku jenis ini misalnya:
 Penggunaan Media Audio-Visual dalam Pembelajaran Drama
 Membuat Media Pembelajaran Sederhana
 Pemanfaatan Sumber-sumber Lokal dalam Pembelajaran Sosiologi
c) Evaluasi Pembelajaran
  Contoh-contoh topik buku jenis ini, misalnya:
 Merancang Instrumen Evaluasi Belajar
 Menerapkan Evaluasi Proses Pembelajaran 
 Mengevaluasi Hasil Belajar 
 Memvalidasi Evaluasi Hasil Belajar
d) Penelitian Pendidikan
Contoh-contoh topik buku jenis ini, misalnya:
 Menerapkan Penelitian Tindakan Kelas
 Melaksanakan Penelitian Kuasi Eksperimen
 Merancang dan Melaksanakan Penelitian Deskriptif
 Prosedur Pelaksanaan Penelitian sambil Mengajar

4. Simpulan
Sebagai penutup, di sini ditegaskan kembali bahwa buku nonteks sangat beragam. Buku-buku nonteks mempunyai peran penting dalam proses belajar-mengajar untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Buku nonteks meliputi buku pengayaan, buku referensi, dan buku panduan pendidik. Supaya buku nonteks dapat berfungsi sebagaimana mestinya, buku tersebut harus memenuhi standar kualitas yang meliputi aspek materi, penyajian, bahasa, serta grafika. Oleh karena itu, peminat untuk menulis buku nonteks harus memerhatikan kelayakan buku nonteks yang ditetapkan oleh Pusat Perbukuan.

Daftar Kepustakaan
Duryatmo, Sardhi, Wirausaha Kerajinan Bambu, Puspa Swara, Jakarta, 2000.
Fachrudin, Lisdiana, Membuat Aneka Manisan, Kanisius, Yogyakarta,1998.
Muharnanto dan Aryastyani, Ria, Aneka Cetakan Lilin Hias, Puspa Swara, Jakarta, 2001.
Nelson G.C, Ceramics a Potter's Handbook, Holt, Reinhart and Winston Inc, New York, 1971.
Pusat Perbukuan (2003) Pedoman Klasifikasi Buku Pendidikan. Jakarta; Pusat Perbukuan Depdiknas.
R.A. Razak, Industri Keramik, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1981.
Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa Untuk SMU kelas I, Erlangga, Jakarta, 1994.
Rhodes D., Clay and Glazes for the Potter, Chilton Book Company, Philadelphia, 1968.
Riyanto, Didik, Proses Batik: Batik Tulis-Batik Cap Batik Printing,CV.Aneka, Solo, 2002.
Robertson, JB., Keterampilan Teknik Listrik Praktis, Yrama Widya, Bandung, 2003.
Sahman, Humar, Mengenali Dunia Seni Rupa, Tentang Seni, Karya Seni, Aktivitas Kreatif, Apresiasi, Kritik dan Estetika, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993
Sigar, Edi dan Ernawati, Buku Pintar Makanan, PT. Aksara Media Agung, Jakarta, 1993.
Soemarjadi dkk., Pendidikan Keterampilan, Depdikbud-Dirjendikti, Jakarta, 1991-1992.
Soemarjadi, Paket BelajarIKIP/FKIP:PengetahuanTeknologiKeramik I, P2LPT& Ditjen Dikti Departemen P dan K, Jakarta, 1985.
Sulistyowati, Retno, 20 Kreasi Rangkaian Bungan Kering dari Kulit Jagung, Puspa Swara, Jakarta, 2001.
Sumarah Adhyatman, Kendi, Himpunan Keramik Indonesia, Jakarta, 1987.
_______________, Tempayan di Indonesia, Jakarta: Himpunan Keramik Indonesia, 1984.
Supriadi, Dedi (2001) Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprapti, M. Lies, Membuat Aneka Olahan Nanas, Puspa Swara, Jakarta, 2001.
____________, Bandeng Asap, Kanisius, Yogyakarta, 2002.
Suradi, A. Prayitno, Membuat Aneka Barang Kerajinan Cideramata, Humaniora Utama Press, Bandung, 1999.
Yosalfa. Memperbaiki TV dan Radio, Puspa Swara, Jakarta, 2000
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO (2003) School Library. [On Line]. Tersedia. http://www.ifla.org.sg/VII s11/pubs. [10 Agustus 2003]

06 Februari, 2009

Kalimat Efektif dalam Naskah Pidato Kenegaraan

Oleh: Suherli  

Pendahuluan
Penyusunan naskah pidato kenegaraan memerlukan kecermatan. Dalam penggunaan bahasa (Indonesia atau Inggris) maupun dari substansi isi yang disajikan harus sesuai dengan wacana perkembangan masyarakat yang aktual, baik pada tingkat global maupun nasional (sesuai dengan tujuan). Naskah pidato kenegaraan juga merupakan media komunikasi pemimpin dengan rakyat yang dapat dipancarluaskan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Pidato pemimpin juga dapat dianggap sebagai representasi dari suara rakyat dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang. Pidato kenegaraan merupakan sikap pemerintah dalam menghadapi suatu persoalan utama yang sedang berkembang di masyarakat. Naskah pidato kenegaraan merupakan bukti sejarah perkembangan suatu masyarakat dari perspektif pemimpinnya.
Oleh karena makna pidato kenegaraan demikian luas dan beragam, maka diperlukan kecermatan dalam penggunaan bahasanya dan substansi isi yang disajikannya. Kecermatan penggunaan bahasa Indonesia sangat diperlukan karena bahasa seorang pemimpin sering dijadikan sebagai dasar rujukan bagi pengguna bahasa lain, termasuk rakyatnya. Bahasa pemimpin dalam menyampaikan pidato harus menunjukkan bahasa yang lugas, objektif, cermat, dan cerdas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru dari pendengarnya. Bahasa seorang pemimpin harus menggambarkan penggunaan bahasa yang benar dan menggunakan kalimat secara efektif.
Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu dipahami pembaca sesuai dengan maksud penulisnya. Sebaliknya, kalimat yang sulit dipahami atau salah terpahami oleh pembacanya termasuk kalimat yang kurang efektif. Kalimat yang efektif memiliki ciri struktur yang kompak, paralel, hemat, cermat, padu, dan logis. Marilah kita diskusikan setiap ciri ini pada bagian berikut ini!

a) Kalimat Berstruktur Kompak
Setiap kalimat minimal terdiri atas unsur pokok dan sebutan (yang menerangkan pokok) atau unsur subjek dan predikat. Kalimat yang baik adalah kalimat yang menggunakan subjek dan predikat secara benar dan kompak. Kekurangkompakan dan ketidakjelasan subjek dapat terjadi jika digunakan kata depan di depan subjek. Misalnya penggunaan dalam, untuk, bagi, di, pada, sebagai, tentang, dan, karena sebelum subjek kalimat tersebut.

Contoh kalimat tidak efektif:

Bagi semua siswa harus memahami uraian berikut ini.
Dalam pembahasan ini menyajikan contoh nyata.
Sebagai contoh dari uraian di atas adalah perkalian di bawah ini.

Kalimat di atas menjadi tidak efektif karena unsurnya tidak lengkap. Bandingkan dengan kalimat di bawah ini!

Semua siswa harus memahami uraian berikut ini.
Dalam pembahasan ini disajikan contoh nyata.
Contoh dari uraian di atas adalah perkalian di bawah ini.

Selain itu, kalimat yang berstruktur kompak adalah kalimat yang hanya menggunakan satu subjek. Penggunaan subjek ganda akan membuat kalimat tersebut tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:

Penjumlahan angka itu hasilnya dibagi kelipatan dua.
Cairan itu unsur-unsur kimianya tidak menyatu.

Kedua kalimat di atas menggunakan subjek ganda, sehingga kalimat tersebut menjadi kurang jelas. Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini:
Hasil penjumlahan angka itu dibagi kelipatan dua.
Unsur-unsur cairan kimia itu tidak menyatu.

Dalam bahasa Indonesia dikenal kata penghubung intrakalimat, seperti dan, atau, sehingga, sedangkan, karena, yaitu, hingga, tetapi. Penggunaan kata penghubung ini hanya dilakukan di tengah kalimat. Apabila digunakan pada awal kalimat maka kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Pemberontakan PKI sangat menyakitkan. Sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.

Buaya termasuk ke dalam jenis reftil. Sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.
Kalimat di atas akan tampak tidak jelas jika disajikan di awal kalimat, misalnya:

Sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.
Sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.

Penggunaan kata sehingga dan sedangkan pada awal kalimat sebagai penghubung antarkalimat kurang tepat, karena kata tersebut seharusnya berfungsi sebagai penghubung intrakalimat. Seharusnya, kalimat di atas tidak terpisah dengan kalimat sebelumnya agar kesatuan gagasan dapat terpahami. Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini!

Pemberontakan PKI sangat menyakitkan, sehingga materi tentang hal ini akan menjadi cermin sejarah bagi bangsa Indonesia.

Buaya termasuk ke dalam jenis reftil, sedangkan burung termasuk ke dalam jenis aves.

Demikian pula kata penghubung lain, seperti dan, atau, karena, yaitu, hingga, dan tetapi merupakan kata penghubung intrakalimat. Oleh karena itu, kata penghubung tersebut hanya digunakan untuk menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lain dalam satu kalimat.

b) Kalimat Paralel
Kalimat yang efektif adalah kalimat yang tersusun secara paralel. Keparalelan itu tampak pada jenis kata yang digunakan sebagai suatu yang paralel dengan memiliki unsur atau jenis kata yang sama. Kesalahan dalam menggunakan paralelis kata akan menjadikan kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Kegiatan akhir dari percobaan itu adalah menyusun laporan, kelengkapan materi yang harus dilampirkan, penggambaran tahap-tahap kegiatan, dan simpulan hasil pengujian.

Ketidakefektifan kalimat tersebut, karena memfaralelkan jenis kata menyusun, dengan kelengkapan, penggambaran, dan simpulan. Kalimat tersebut memfaralelkan “kegiatan” sebagai verba, maka kata lainnya seharusnya menggunakan verba. Misalnya, kata menyusun seharusnya berfaralel dengan melampirkan (materi secara lengkap), menggambarkan (tahap-tahap kegiatan), dan menyimpulkan (hasil pengujian). Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini!
Kegiatan akhir dari percobaan itu adalah menyusun laporan, melampirkan materi secara lengkap, menggambarkan tahap-tahap kegiatan, dan menyimpulkan hasil pengujian.

c) Kalimat Hemat
Kalimat yang efektif harus hemat. Kalimat hemat memiliki ciri kalimat yang menghindari pengulangan subjek, pleonasme, hiponimi, dan penjamakan kata yang sudah bermakna jamak.

Contoh kalimat tidak efektif:

Para menteri serentak berdiri, setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang ke acara itu.

Waktu tempuh yang digunakan hanya selama 45 menit saja untuk sampai ke daerah itu.

Air raksa ini harus dicampur dengan kain warna merah.

Banyak orang-orang yang tidak hadir pada pertemuan yang menghadirkan beberapa tokoh-tokoh terkemuka.

Kalimat pertama kurang efektif karena menggunakan subjek (kata para menteri) dengan subjek kedua (kata mereka). Kalimat kedua menggunakan kata bermakna sama, yaitu kata hanya dan saja. Kalimat ketiga kurang efektif karena menggunakan kata bermakna hiponimi, yaitu kata warna dan merah (merah merupakan salah satu warna, sehingga tidak perlu menggunakan kata warna). Kalimat keempat, menggunakan kata bermakna jamak secara berulang, yaitu kata banyak dan beberapa dengan pengulangan kata yang mengikutinya. Bandingkanlah dengan kalimat-kalimat di bawah ini!

Para menteri serentak berdiri, setelah mengetahui bahwa presiden datang ke acara itu.

Waktu tempuh yang digunakan hanya selama 45 menit untuk sampai ke daerah itu.

Air raksa ini harus dicampur dengan kain merah.

Banyak orang yang tidak hadir pada pertemuan yang menghadirkan beberapa tokoh terkemuka.

d) Kalimat Cermat
Kalimat efektif adalah kalimat yang tidak ambigu atau bermakna bias. Setiap kata yang digunakan tidak menimbulkan salah tafsir atau tafsir ganda. Untuk itu diperlukan kemampuan menyusun kalimat secara cermat. Kalimat yang disusun tidak cermat akan menjadikan kalimat yang tidak efektif.

Contoh kalimat tidak efektif:
Siswa SMA yang terkenal itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

Kalimat di atas bermakna ambigu, karena akan menimbulkan pertanyaan “Siapakah yang terkenal itu, siswa atau SMA?”. Demikian pula kalimat kedua, semakin ambigu, sekalipun secara sepintas tampak sebagai kalimat yang logis, namun karena bermakna ganda, maka makna kalimatnya menjadi bias. Bandingkan dengan kalimat berikut:
Siswa terkenal dari SMA itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

Jika yang dimasudkan adalah SMA yang terkenal disajikan sebagai berikut:
Siswa dari SMA terkenal itu dapat mengalahkan para pesaingnya.

e) Kalimat Berpadu
Kalimat yang berpadu adalah kalimat yang berisi kepaduan pernyataan. Kalimat yang tidak berpadu biasanya terjadi karena salah dalam menggunakan verba (kata kerja) atau preposisi (kata depan) secara tidak tepat.

Contoh kalimat tidak efektif:
Segala usulan yang disampaikan itu kami akan pertimbangkan.

Uraian pada bagian ini akan menyajikan tentang perkembangbiakan pohon aren.

Materi yang sudah diungkapkan daripada pembicara awal akan dibahas kembali pada pertemuan yang akan datang.
Penggunaan kata akan yang menyelip di antara subjek dengan predikat pada kalimat pertama menjadikan kalimat tersebut kurang padu. Demikian pula penggunaan kata tentang dan daripada setelah verba menjadikan kalimat tersebut kurang padu. Bandingkanlah dengan kalimat-kalimat berikut:
Segala usulan yang disampaikan itu akan kami pertimbangkan.

Uraian pada bagian ini akan menyajikan perkembangbiakan pohon aren.

Materi yang sudah diungkapkan oleh pembicara awal akan dibahas kembali pada pertemuan yang akan datang.

f) Kalimat Logis
Kalimat yang logis adalah kalimat yang dapat diterima oleh akal atau pikiran sehat. Biasanya ketidaklogisan kalimat terjadi karena pemilihan kata atau ejaan yang salah.

Contoh kalimat tidak efektif:
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini.

Untuk mempersingkat waktu, marilah kita bersama-sama mulai mengerjakan tugas tersebut.

Mayat wanita yang ditemukan di sungai itu sebelumnya sering mondar- mandir di daerah tersebut.

Pada kalimat pertama terkadung makna bahwa yang berbahagia adalah kesempatan, kecuali verbanya diganti dengan membahagiakan. Kalimat kedua memiliki makna yang tidak mungkin waktu dipersingkat, kecuali acara yang dipersingkat atau waktu yang dihemat. Kalimat ketiga menggunakan konstruksi kalimat yang kurang benar sehingga memunculkan makna yang kurang logis dan menakutkan. Bandingkanlah dengan kalimat di bawah ini!

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran acara ini.

Untuk menghemat waktu, marilah kita bersama-sama mulai mengerjakan tugas tersebut.

Wanita itu sering mondar- mandir di daerah tersebut, sebelum mayatnya ditemukan di sungai

Demikianlah paparan sepintas tentang kalimat efektif dalam naskah pidato kenegaraan. Ketepatan menggunakan kalimat efektif merupakan bentuk loyalitas kita terhadap bahasa negara.

Daftar Pustaka
Baynham, Mike. (1995) Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman.
Keraf, Gorys (1983) Komposisi. Jakarta: Gramedia.
Rusyana, Yus (1984) Bahasa & Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Warriner, (1958) English Grammar and Composition. New York: Harcourt, Brace and World Inc.
Weaver, Ricard M. (1968) Composition. New York: Holt. Pinahart and Winston.