Oleh:
Suherli
Dosen Universitas Galuh Ciamis
A. Abstrak
Dalam kegiatan pembelajaran di Indonesia, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan media interaksi antara pendidik dan peserta didik, kecuali pelajaran bahasa Inggris dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia digunakan pendidik untuk menyampaikan konsep keilmuan, mengembangkan kompetensi, dan meningkatkan keterampilan peserta didik. Demikian pula dalam buku teks pelajaran, bahasa Indonesia digunakan sebagai media berkomunikasi antara penulis buku dengan peserta didik. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan seharusnya dapat mengusung dan menjelaskan konsep lokal hingga global sesuai dengan perkembangan dan kematangan emosional peserta didik.
Penelitian ini menyingkap aspek keterpahaman penggunaan bahasa Indonesia bagi peserta didik dalam membaca buku teks pelajaran untuk menentukan keterbacaannya. Buku teks yang diukur terdiri atas pelajaran bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Dengan menggunakan teknik observasi, tes, dan angket dilakukan pengumpulan data dari sumber data yang dipilih secara purposive (untuk menentukan lokasi 3 provinsi, dan 3 kabupaten/kota) dan dengan teknik stratified random sampling (untuk menentukan peserta didik yang diukur) melalui empat buku teks pelajaran. Hasilnya, keterpahaman bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan kosakata yang digunakan, tingkat keintiman kalimat dengan siswa, pemahaman gagasan utama suatu paragraf, dan jenis wacana yang dipilih.
kata kunci: keterbacaan, keterpahaman, dan buku teks pelajaran
B. Pendahuluan
Dari sudut pandang buku teks pelajaran, bahasa Indonesia merupakan media berinteraksi antara peserta didik dengan materi didik. Bahasa Indonesia digunakan untuk menyampaikan konsep keilmuan dan seperangkat kompetensi yang seharusnya dimiliki dan dikembangkan dalam pembelajaran. Bahasa Indonesia digunakan untuk memahami tahapan yang harus dilakukan peserta didik dalam mengembangkan kompetensinya. Bahasa Indonesia digunakan sebagai wahana berpikir peserta didik dalam memahami konsep dan aplikasinya.
Bahasa Indonesia dalam bahan ajar dituntut dapat menjelaskan konsep sesuai dengan perkembangan intelektual peserta didik. Bahasa Indonesia yang digunakan harus sesuai dengan kematangan sosial emosional peserta didik dalam mengusung konsep lokal sampai dengan global. Bahasa Indonesia yang digunakan harus menarik dan jelas agar mendorong peserta didik untuk mempelajari bahan ajar sampai dengan tuntas. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahan ajar seharusnya menggunakan bentuk kata, istilah, kalimat, dan paragraf yang sesuai dengan kaidah bahasa untuk berkomunikasi tertulis.
Dari sudut pandang kebijakan pendidikan, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa buku teks pelajaran termasuk ke dalam sarana pendidikan yang perlu diatur standar mutunya, sebagaimana juga standar mutu pendidikan lainnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pasal 43 peraturan ini menyebutkan bahwa kepemilikan buku teks pelajaran harus mencapai rasio 1:1, atau satu buku teks pelajaran diperuntukkan bagi seorang siswa. Buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah harus memiliki kebenaran isi, penyajian yang sistematis, penggunaan bahasa dan keterbacaan yang baik, dan grafika yang fungsional. Kelayakan ini ditentukan oleh penilaian yang dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri.
Kebijakan buku teks pelajaran sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005 mengatur tentang fungsi, pemilihan, masa pakai, kepemilikan, pengadaan, dan pengawasan pengunaan buku teks pelajaran. Menurut Peraturan Menteri ini, buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku teks pelajaran berfungsi sebagai acuan wajib oleh pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Buku teks pelajaran hendaknya mampu menyajika bahan ajar dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di sini dapat dilihat apakah penggunaan bahasanya wajar, menarik, dan sesuai dengan perkembangan siswa atau tidak. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan tatabahasa baku.
Pada tahun 2004 Depdiknas melalui SK Dirjen Dikdasmen Nomor 455 dan 505 telah menetapkan buku-buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Pengetahuan Sosial yang memenuhi kelayakan isi, penyajian, keterbacaan, dan grafika berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh PNPBP Pusat Perbukuan Depdiknas pada tahun 2004. Buku-buku tersebut pada tahun 2006 sepatutnya telah digunakan di SD/MI di seluruh Indonesia.
Penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dilakukan terhadap buku-buku teks pelajaran hanya berpusat terhadap aspek bacaan, baik hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan wacana, paragraf, kalimat, dan kata yang dipandang dari kaidah bahasa Indonesia dan ketersesuaian bahasa dengan peserta didik. Berdasarkan penilaian itu, bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku teks pelajaran diduga dapat berfungsi sebagai media menyampaikan pesan. Namun, informasi tentang interaksi antara pembaca (peserta didik) dengan bacaan (bahasa Indonesia) dalam kegiatan penilaian itu tidak menjadi pertimbangan karena informasi tersebut harus diperoleh ketika buku tersebut digunakan oleh peserta didik dalam peristiwa membaca.
Dalam menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran dilakukan kajian pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan Prof. Dr. Yus Rusyana (1984: 213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan buku teks pelajaran.
Tulisan ini akan lebih dominan mengungkap tentang hasil kajian keterbacaan buku teks pelajaran. Keterbacaan yang dimaksud adalah kemampuan berinteraksi penggunaan Bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran dengan peserta didik sebagai pembaca. Oleh karena itu, mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks pembelajaran.
C. Beberapa Hasil Studi Keterbacaan
Keterbacaan (readability) adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) Test dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
D. Metode Penelitian
Kajian deskriptif ini dilakukan terhadap siswa SD/MI di Indonesia dengan membagi keterwakilan sumber data dari tiga wilayah (Indonesia bagian Barat, Tengah, dan Timur). Dengan menggunakan metode angket, observasi, tes dan wawancara terhadap buku yang telah dinyatakan memiliki kelayakan sebagai buku berstandar nasional yaitu buku Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial.
Sumber data dipilih dari tiga kabupaten/kota di tiga provinsi. Dari setiap kabupaten/kota dipilih tiga sekolah yang dianggap unggul, sedang, dan kurang. Dari setiap sekolah dipilih peserta didik berdasarkan tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2) dan kelas tinggi (kelas 3,4,5, dan 6). Dari setiap kelas, siswa dipilih berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan) berdasarkan penilaian guru sebagai siswa terbaik, sedang, dan kurang. Khusus untuk siswa kelas rendah, pengukuran bacaan (tes) dilakukan dengan cara dibantu dan dibimbing oleh asisten peneliti yang sudah dilatih sebelumnya dalam menafsirkan maksud peserta didik.
E. Hasil Penelitian
Dalam melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai berikut.
(1) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran bagi siswa sekolah dasar bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(2) Keterpahaman siswa terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal yang harus diperhatikan bahwa keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial.
(3) Keterpahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
(4) Keterpahaman siswa terhadap jenis Bacaan, pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami (64,55% responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
a) Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
b) Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi.
c) Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.
F. Pembahasan
Kualitas keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial yang berstandar nasional ditentukan oleh penggunaan kosakata, kalimat, paragraf, dan jenis wacana yang digunakan. Dalam buku teks pelajaran terdapat beberapa penggunaan kosakata istilah keilmuan atau kosakata asing. Pemahaman terhadap kosakata ini dapat menentukan keterbacaan buku teks pelajaran. Pemahaman siswa terhadap kosakata itu bergantung pada karakteristik kosakata tersebut, kosakata yang sering didengar (21,4%) atau sudah dikenal (20,42%) sangat dominan menentukan kualitas keterbacaan suatu teks. Semakin banyak kosakata yang jarang didengar atau tidak dikenal siswa yang digunakan dalam suatu teks maka semakin rendah keterbacaan teks tersebut. Kondisi seperti ini sangat dirasakan siswa ketika membaca buku teks pelajaran Matematika (23,0%) dan Pengetahuan Sosial (23,4%).
Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dale (1973) dan Petty, Herold, and Stall (1968), seperti yang dilaporkan oleh Zuchdi (dalam World Bank Report, 1995) bahwa buku teks pelajaran terlalu banyak memuat kata-kata teknis yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini menyulitkan bagi siswa dalam memahami kosakata dalam suatu teks pelajaran. Penelitian yang dilakukan Zuchdi (1997) juga mengungkapkan jumlah kosakata dalam buku paket bahasa Indonesia yang digunakan di SD rata-rata berjumlah 8000 kata, terdiri atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan kata ulang. Penambahan setiap tahunnya kira-kira 1000 kata.
Dalam memahami pesan yang terdapat dalam materi buku teks pelajaran siswa harus memahami makna kalimat yang digunakannya. Pemahaman kalimat ini dapat menentukan keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Kalimat-kalimat yang sudah intim dan menggunakan kosakata yang sudah dikenal siswa (36,9%) serta kalimat yang disusun secara efektif, lugas, jelas, dan mengungkapkan makna yang hendak dicapai oleh kalimat tersebut (25,2%) dapat lebih menentukan kualitas keterbacaan buku teks tersebut. Penggunaan kalimat-kalimat yang kompleks dan teknis dapat menurunkan kualitas keterbacaan teks tersebut, terutama dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia (50%). Kesulitan siswa memahami kalimat yang terdapat dalam buku teks pelajaran menjadi penyebab rendahnya keterbacaan. Kesulitan itu, karena beberapa alasan di antaranya karena penggunaan kalimat sulit dalam buku teks pelajaran tersebut tidak diikuti oleh kalimat penjelas (21,97%) dan kalimat tersebut belum pernah dan tidak dikenal siswa (20,32%).
Sementara itu, penelitian lain tentang pemahaman kalimat ditinjau berdasarkan panjang kalimat yang dipercaya sebagai faktor utama dalam menentukan pemahaman kalimat, sehingga biasanya dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana dan faktor penentu dalam rumus-rumus keterbacaan. Flesch (1974) misalnya menyebutkan bahwa jumlah kalimat (bahasa Inggris) kurang dari delapan kata akan memudahkan pembacanya untuk memahami bacaan. Standar panjang kalimat adalah antara 14 sampai dengan 17 kata; sedangkan penggunaan lebih dari 25 kata sudah terlalu sukar untuk dipahami.
Dalam memahami pesan secara utuh atau pesan yang tidak tersurat dalam suatu teks, pembaca harus memahami paragraf tersebut. Pemahaman terhadap paragraf ini turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran. Penggunaan paragraf deduktif atau yang menyajikan pikiran utama pada bagian awal paragraf (15,3%) dan paragraf yang dilengkapi dengan ilustrasi atau gambar (14,7%) dapat lebih meningkatkan keterbacaan suatu teks di dalam buku teks pelajaran.
Pada umumnya, bacaan dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial yang berstandar nasional mudah dipahami siswa (64,55%), tetapi terdapat pula bacaan yang sulit dipahami (35,45%). Bacaan yang dipandang mudah dipahami jika jenis bacaan tersebut disajikan dalam bentuk paragraf ekspositif (22,62%), naratif (22,12%), dan argumentatif (20,87%). Para siswa menyatakan penyajian buku teks pelajaran SD yang berstandar nasional menarik (97%), hanya 3% yang menyatakan tidak menarik. Beberapa alasan yang menyatakan bahwa buku teks pelajaran tersebut menarik di antaranya karena buku tersebut dilengkapi dengan gambar dan ilustrasi yang turut memperjelas isi bacaan (16,3%) dan menggunakan tipografi/huruf yang jelas dan mudah dibaca (16,0%). Menurut mereka, penyajian warna-warni pada semua halaman atau bentuk-bentuk lain yang diupayakan penerbit untuk memberikan daya tarik dipandang tidak signifikan menentukan tingkat kemenarikan penyajian buku teks pelajaran.
G. Simpulan
Dari uraian di atas dapat diungkapkan beberapa hal menarik tentang perkembangan bahasa Indonesia dalam konteks kajian keterbacaan sebagai berikut.
(a) Keterpahaman kosakata bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku terstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Keterpahaman penggunaan bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku teks pelajaran turut menentukan keterbacaan suatu buku teks pelajaran tersebut. Semakin tinggi keterpahaman buku teks pelajaran maka semakin tiggi pula keterbacaan buku tersebut.
H. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, pada bagian ini disampaikan saran sebagai berikut:
(1) Untuk meningkatkan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku teks pelajaran atau buku yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran.
(2) Hal yang tidak kalah penting, dalam mendorong perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan pula peningkatan kegiatan membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan kegemaran siswa terhadap penggunaan bahasa Indonesia seharusnya para pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan kegiatan membaca. Setiap hari, seharusnya siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong mereka meningkatkan porsi membaca agar kemampuan membaca para siswa sekolah dasar semakin baik.
(3) Untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia, khususnya keterbacaan buku teks pelajaran, sebaiknya jika penulis atau penerbit akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.
I. Daftar Pustaka
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The British Council.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game. In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S. Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.Bandung: Angkasa.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran.World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.
Dosen Universitas Galuh Ciamis
A. Abstrak
Dalam kegiatan pembelajaran di Indonesia, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan media interaksi antara pendidik dan peserta didik, kecuali pelajaran bahasa Inggris dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia digunakan pendidik untuk menyampaikan konsep keilmuan, mengembangkan kompetensi, dan meningkatkan keterampilan peserta didik. Demikian pula dalam buku teks pelajaran, bahasa Indonesia digunakan sebagai media berkomunikasi antara penulis buku dengan peserta didik. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan seharusnya dapat mengusung dan menjelaskan konsep lokal hingga global sesuai dengan perkembangan dan kematangan emosional peserta didik.
Penelitian ini menyingkap aspek keterpahaman penggunaan bahasa Indonesia bagi peserta didik dalam membaca buku teks pelajaran untuk menentukan keterbacaannya. Buku teks yang diukur terdiri atas pelajaran bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Dengan menggunakan teknik observasi, tes, dan angket dilakukan pengumpulan data dari sumber data yang dipilih secara purposive (untuk menentukan lokasi 3 provinsi, dan 3 kabupaten/kota) dan dengan teknik stratified random sampling (untuk menentukan peserta didik yang diukur) melalui empat buku teks pelajaran. Hasilnya, keterpahaman bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan kosakata yang digunakan, tingkat keintiman kalimat dengan siswa, pemahaman gagasan utama suatu paragraf, dan jenis wacana yang dipilih.
kata kunci: keterbacaan, keterpahaman, dan buku teks pelajaran
B. Pendahuluan
Dari sudut pandang buku teks pelajaran, bahasa Indonesia merupakan media berinteraksi antara peserta didik dengan materi didik. Bahasa Indonesia digunakan untuk menyampaikan konsep keilmuan dan seperangkat kompetensi yang seharusnya dimiliki dan dikembangkan dalam pembelajaran. Bahasa Indonesia digunakan untuk memahami tahapan yang harus dilakukan peserta didik dalam mengembangkan kompetensinya. Bahasa Indonesia digunakan sebagai wahana berpikir peserta didik dalam memahami konsep dan aplikasinya.
Bahasa Indonesia dalam bahan ajar dituntut dapat menjelaskan konsep sesuai dengan perkembangan intelektual peserta didik. Bahasa Indonesia yang digunakan harus sesuai dengan kematangan sosial emosional peserta didik dalam mengusung konsep lokal sampai dengan global. Bahasa Indonesia yang digunakan harus menarik dan jelas agar mendorong peserta didik untuk mempelajari bahan ajar sampai dengan tuntas. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahan ajar seharusnya menggunakan bentuk kata, istilah, kalimat, dan paragraf yang sesuai dengan kaidah bahasa untuk berkomunikasi tertulis.
Dari sudut pandang kebijakan pendidikan, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa buku teks pelajaran termasuk ke dalam sarana pendidikan yang perlu diatur standar mutunya, sebagaimana juga standar mutu pendidikan lainnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pasal 43 peraturan ini menyebutkan bahwa kepemilikan buku teks pelajaran harus mencapai rasio 1:1, atau satu buku teks pelajaran diperuntukkan bagi seorang siswa. Buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah harus memiliki kebenaran isi, penyajian yang sistematis, penggunaan bahasa dan keterbacaan yang baik, dan grafika yang fungsional. Kelayakan ini ditentukan oleh penilaian yang dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri.
Kebijakan buku teks pelajaran sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005 mengatur tentang fungsi, pemilihan, masa pakai, kepemilikan, pengadaan, dan pengawasan pengunaan buku teks pelajaran. Menurut Peraturan Menteri ini, buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku teks pelajaran berfungsi sebagai acuan wajib oleh pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Buku teks pelajaran hendaknya mampu menyajika bahan ajar dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di sini dapat dilihat apakah penggunaan bahasanya wajar, menarik, dan sesuai dengan perkembangan siswa atau tidak. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan tatabahasa baku.
Pada tahun 2004 Depdiknas melalui SK Dirjen Dikdasmen Nomor 455 dan 505 telah menetapkan buku-buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Pengetahuan Sosial yang memenuhi kelayakan isi, penyajian, keterbacaan, dan grafika berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh PNPBP Pusat Perbukuan Depdiknas pada tahun 2004. Buku-buku tersebut pada tahun 2006 sepatutnya telah digunakan di SD/MI di seluruh Indonesia.
Penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dilakukan terhadap buku-buku teks pelajaran hanya berpusat terhadap aspek bacaan, baik hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan wacana, paragraf, kalimat, dan kata yang dipandang dari kaidah bahasa Indonesia dan ketersesuaian bahasa dengan peserta didik. Berdasarkan penilaian itu, bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku teks pelajaran diduga dapat berfungsi sebagai media menyampaikan pesan. Namun, informasi tentang interaksi antara pembaca (peserta didik) dengan bacaan (bahasa Indonesia) dalam kegiatan penilaian itu tidak menjadi pertimbangan karena informasi tersebut harus diperoleh ketika buku tersebut digunakan oleh peserta didik dalam peristiwa membaca.
Dalam menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran dilakukan kajian pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan Prof. Dr. Yus Rusyana (1984: 213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan buku teks pelajaran.
Tulisan ini akan lebih dominan mengungkap tentang hasil kajian keterbacaan buku teks pelajaran. Keterbacaan yang dimaksud adalah kemampuan berinteraksi penggunaan Bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran dengan peserta didik sebagai pembaca. Oleh karena itu, mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks pembelajaran.
C. Beberapa Hasil Studi Keterbacaan
Keterbacaan (readability) adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) Test dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
D. Metode Penelitian
Kajian deskriptif ini dilakukan terhadap siswa SD/MI di Indonesia dengan membagi keterwakilan sumber data dari tiga wilayah (Indonesia bagian Barat, Tengah, dan Timur). Dengan menggunakan metode angket, observasi, tes dan wawancara terhadap buku yang telah dinyatakan memiliki kelayakan sebagai buku berstandar nasional yaitu buku Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial.
Sumber data dipilih dari tiga kabupaten/kota di tiga provinsi. Dari setiap kabupaten/kota dipilih tiga sekolah yang dianggap unggul, sedang, dan kurang. Dari setiap sekolah dipilih peserta didik berdasarkan tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2) dan kelas tinggi (kelas 3,4,5, dan 6). Dari setiap kelas, siswa dipilih berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan) berdasarkan penilaian guru sebagai siswa terbaik, sedang, dan kurang. Khusus untuk siswa kelas rendah, pengukuran bacaan (tes) dilakukan dengan cara dibantu dan dibimbing oleh asisten peneliti yang sudah dilatih sebelumnya dalam menafsirkan maksud peserta didik.
E. Hasil Penelitian
Dalam melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai berikut.
(1) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran bagi siswa sekolah dasar bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(2) Keterpahaman siswa terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal yang harus diperhatikan bahwa keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial.
(3) Keterpahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
(4) Keterpahaman siswa terhadap jenis Bacaan, pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami (64,55% responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
a) Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
b) Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi.
c) Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.
F. Pembahasan
Kualitas keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial yang berstandar nasional ditentukan oleh penggunaan kosakata, kalimat, paragraf, dan jenis wacana yang digunakan. Dalam buku teks pelajaran terdapat beberapa penggunaan kosakata istilah keilmuan atau kosakata asing. Pemahaman terhadap kosakata ini dapat menentukan keterbacaan buku teks pelajaran. Pemahaman siswa terhadap kosakata itu bergantung pada karakteristik kosakata tersebut, kosakata yang sering didengar (21,4%) atau sudah dikenal (20,42%) sangat dominan menentukan kualitas keterbacaan suatu teks. Semakin banyak kosakata yang jarang didengar atau tidak dikenal siswa yang digunakan dalam suatu teks maka semakin rendah keterbacaan teks tersebut. Kondisi seperti ini sangat dirasakan siswa ketika membaca buku teks pelajaran Matematika (23,0%) dan Pengetahuan Sosial (23,4%).
Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dale (1973) dan Petty, Herold, and Stall (1968), seperti yang dilaporkan oleh Zuchdi (dalam World Bank Report, 1995) bahwa buku teks pelajaran terlalu banyak memuat kata-kata teknis yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini menyulitkan bagi siswa dalam memahami kosakata dalam suatu teks pelajaran. Penelitian yang dilakukan Zuchdi (1997) juga mengungkapkan jumlah kosakata dalam buku paket bahasa Indonesia yang digunakan di SD rata-rata berjumlah 8000 kata, terdiri atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan kata ulang. Penambahan setiap tahunnya kira-kira 1000 kata.
Dalam memahami pesan yang terdapat dalam materi buku teks pelajaran siswa harus memahami makna kalimat yang digunakannya. Pemahaman kalimat ini dapat menentukan keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Kalimat-kalimat yang sudah intim dan menggunakan kosakata yang sudah dikenal siswa (36,9%) serta kalimat yang disusun secara efektif, lugas, jelas, dan mengungkapkan makna yang hendak dicapai oleh kalimat tersebut (25,2%) dapat lebih menentukan kualitas keterbacaan buku teks tersebut. Penggunaan kalimat-kalimat yang kompleks dan teknis dapat menurunkan kualitas keterbacaan teks tersebut, terutama dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia (50%). Kesulitan siswa memahami kalimat yang terdapat dalam buku teks pelajaran menjadi penyebab rendahnya keterbacaan. Kesulitan itu, karena beberapa alasan di antaranya karena penggunaan kalimat sulit dalam buku teks pelajaran tersebut tidak diikuti oleh kalimat penjelas (21,97%) dan kalimat tersebut belum pernah dan tidak dikenal siswa (20,32%).
Sementara itu, penelitian lain tentang pemahaman kalimat ditinjau berdasarkan panjang kalimat yang dipercaya sebagai faktor utama dalam menentukan pemahaman kalimat, sehingga biasanya dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana dan faktor penentu dalam rumus-rumus keterbacaan. Flesch (1974) misalnya menyebutkan bahwa jumlah kalimat (bahasa Inggris) kurang dari delapan kata akan memudahkan pembacanya untuk memahami bacaan. Standar panjang kalimat adalah antara 14 sampai dengan 17 kata; sedangkan penggunaan lebih dari 25 kata sudah terlalu sukar untuk dipahami.
Dalam memahami pesan secara utuh atau pesan yang tidak tersurat dalam suatu teks, pembaca harus memahami paragraf tersebut. Pemahaman terhadap paragraf ini turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran. Penggunaan paragraf deduktif atau yang menyajikan pikiran utama pada bagian awal paragraf (15,3%) dan paragraf yang dilengkapi dengan ilustrasi atau gambar (14,7%) dapat lebih meningkatkan keterbacaan suatu teks di dalam buku teks pelajaran.
Pada umumnya, bacaan dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial yang berstandar nasional mudah dipahami siswa (64,55%), tetapi terdapat pula bacaan yang sulit dipahami (35,45%). Bacaan yang dipandang mudah dipahami jika jenis bacaan tersebut disajikan dalam bentuk paragraf ekspositif (22,62%), naratif (22,12%), dan argumentatif (20,87%). Para siswa menyatakan penyajian buku teks pelajaran SD yang berstandar nasional menarik (97%), hanya 3% yang menyatakan tidak menarik. Beberapa alasan yang menyatakan bahwa buku teks pelajaran tersebut menarik di antaranya karena buku tersebut dilengkapi dengan gambar dan ilustrasi yang turut memperjelas isi bacaan (16,3%) dan menggunakan tipografi/huruf yang jelas dan mudah dibaca (16,0%). Menurut mereka, penyajian warna-warni pada semua halaman atau bentuk-bentuk lain yang diupayakan penerbit untuk memberikan daya tarik dipandang tidak signifikan menentukan tingkat kemenarikan penyajian buku teks pelajaran.
G. Simpulan
Dari uraian di atas dapat diungkapkan beberapa hal menarik tentang perkembangan bahasa Indonesia dalam konteks kajian keterbacaan sebagai berikut.
(a) Keterpahaman kosakata bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku terstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Keterpahaman penggunaan bahasa Indonesia yang digunakan dalam buku teks pelajaran turut menentukan keterbacaan suatu buku teks pelajaran tersebut. Semakin tinggi keterpahaman buku teks pelajaran maka semakin tiggi pula keterbacaan buku tersebut.
H. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, pada bagian ini disampaikan saran sebagai berikut:
(1) Untuk meningkatkan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku teks pelajaran atau buku yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran.
(2) Hal yang tidak kalah penting, dalam mendorong perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan pula peningkatan kegiatan membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan kegemaran siswa terhadap penggunaan bahasa Indonesia seharusnya para pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan kegiatan membaca. Setiap hari, seharusnya siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong mereka meningkatkan porsi membaca agar kemampuan membaca para siswa sekolah dasar semakin baik.
(3) Untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia, khususnya keterbacaan buku teks pelajaran, sebaiknya jika penulis atau penerbit akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.
I. Daftar Pustaka
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The British Council.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game. In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S. Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.Bandung: Angkasa.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran.World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.
5 komentar:
Assalamualaikum, wrwb.
Hatur tepang pak, ngiring bingah oge ngiring ngadeudeul. Sihapunten abdi 'atah anjang', batin mah tetep cumantel. Rumaos dugi ka tiasa kieu, jalaran apingan bapak. Hatur bhaktos kanggo kulawargi.
Wassalamualaikum, wrwb.
Pun Atep http://atepjs.wordpress.com/
Assalam... P'Herli terimakasih atas infonya, kebetulan salah satu rumusan masalah dlm judul skripsi sy mengangkat keterbacaan wacana bahan ajar membaca di SMP. wktu Dosen PA sy(P'Memen Durrahman, M.Hum)melihat daftar pustaka @ proposal skripsi, beliau lngsung mengenali nama bpk.
Assalam... salam kenal P'Suherli. kebetuan sy lg nyusun skripsi yang salah satu rumusan masalahny tntng keterbacaan wacana bahan ajar membaca @ buku teks B.Ind di SMP, info dr blog bpk sangat membantu, terimakasih pak....
oya, waktu sy ngajuin proposal ke dosen PA saya (Memen Durrahman, M.Hum) beliau lngsung mengenali nama bpk, nampaknya p'Herli dan P'Memen sudah pernah bertemu ya pak?
Assalam... salam kenal P'Suherli. kebetuan sy lg nyusun skripsi yang salah satu rumusan masalahny tntng keterbacaan wacana bahan ajar membaca @ buku teks B.Ind di SMP, info dr blog bpk sangat membantu, terimakasih pak....
oya, waktu sy ngajuin proposal ke dosen PA saya (Memen Durrahman, M.Hum) beliau lngsung mengenali nama bpk, nampaknya p'Herli dan P'Memen sudah pernah bertemu ya pak?
salam kenal pak..
tulisan bapak sangat membantu saya.. trima kasih..
Posting Komentar