Pages

SELINGKUP PENDIDIKAN | PROF. DR. SUHERLI

31 Mei, 2008

Menilik Kebijakan Sistem Pendidikan

Suherli

Dalam pemberlakuan Otonomi Daerah terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal itu bertolak dari kesadaran penentu kebijakan bahwa sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia. Selain itu, fenomena krisis yang melanda bangsa kita menunjukkan bahwa pendidikan dianggap belum berhasil dalam menyiapkan SDM yang unggul, kompetitif, dan beriman. Oleh karena itu, sangat tepat jika dilakukan perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Desentralisasi pendidikan merupakan alternatif model pemberdayaan masyarakat. Salah satu implementasi dari desentralisasi pendidikan adalah dihidupkannya peran serta masyarakat untuk ikut menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan. Program yang digulirkan pemerintah untuk keperluan ini adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah.
Program MBS menyiratkan konsep mendasar atas penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip desentralisasi pendidikan. Landasan filosofis yang perlu diperhatikan dalam memahami konsepsi ini bertolak dari terminologi desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah; dekonsentrasi adalah penyerahan tanggung jawab layanan sektor tertentu pada perwakilan pemerintah pusat di daerah; delegasi adalah pengalihan tanggung jawab untuk membuat keputusan dan mengatur pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah; privatisasi adalah pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta; dan otonomi merupakan arah balik dari desentralisasi (yang berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan kepada daerah), dan merupakan pengakuan atas otoritas daerah (Rondinelli, 1998; Jalal, 2001:75). Dengan demikian, desentralisasi bidang pendidikan berarti penyerahan kewenangan (otoritas) pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari terminologi tersebut maka desentralisasi pendidikan menganut prinsip good governance is less governing (penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah lebih kurang mengatur). Desentraliasi pendidikan adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, karena jika wewenang pusat hanya dipindahtangankan ke daerah, maka yang akan terjadi adalah oversentralisasi pada tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu Program MBS merupakan pola implementasi pembagian porsi wewenang penyelenggaraan pendidikan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, dan masyarakat (sekolah) yang bobotnya lebih besar kepada masyarakat dan stakeholder pendidikan.
Perubahan ini dirasakan sangat drastis karena selama 35 tahun sebelumnya, kita tidak merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan. Besarnya peranan pemerintah dalam turut mengatur terlalu banyak hal-hal teknis dalam dunia pendidikan dianggap sebagai biang keladi dari semua keterpurukan kualitas pendidikan bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari itu, dengan berbekal konsep desentralisasi pendidikan seiring dengan era reformasi yang sedang bergulir, berbagai perubahan mendasar pengelolaan pendidikan diserahkan kepada stakeholder pendidikan. Pemerintah hanya berperan sebagai pengatur, sesuai dengan prinsip dasar desentralisasi. Namun, kadang-kadang program yang digulirkan pemerintah seringkali masih membingungkan masyarakat pendidikan, karena kita belum biasa.


A. Kebijakan Pendidikan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun diterapkan prinsip ‘link and match”.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.

B. Kebijakan Pendidikan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan/pemerataan.
1. Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zealand, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok).
2. Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme vouchers, atau matching grant, dan "sponsorship dunia usaha" dalam pembiayaan pendidikan. Mekanisme ini sudah lazim digunakan di negara-negara sedang berkembang dan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Pengalaman di Brazil, misalnya, desentralisasi telah menurunkan biaya dan pelayanan pendidikan menjadi lebih baik, mulai dari pemeliharaan sekolah, pelatihan guru, sampai pemberian makanan tambahan bagi anak di sekolah.
3. Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas birokrasi seperti tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag), tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai pada Departemen Pendidikan.
4. Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.

C. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, funding father yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi “projek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di Samarinda, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana Universitas Mulawarman.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut berkaitan dengan peningakatan SDM di daerah sehingga selalu dilakukan perbaikan berbagai kebijakan pada tataran meso sebagai rencana program oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan.

D. Kebijakan Pendidikan di Kabupaten/Kota
Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu popularisasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi pendidikan nasional, maka usulan program pengembangan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Tilaar (2000:77-790 sebagai berikut :
(1) Mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas;
(2) Menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu;
(3) Menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar;
(4) Melakukan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap, mulai tingkat provinsi dengan sekaligus mempersiapkan sarana, SDM, dan dana yang memadai pada tingkat kabupaten;
(5) Melakukan perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien;
(6) Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan ekseperimen, dengan melaksanakan otonomi lembaga pendidikan;
(7) Merevisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional dengan peraturan perundangan dan pelaksanaannya
(8) Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk membangun masyarakat Indonesia baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat tersebut.
(9) Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha
(10) Melakukan depolitisasi pendidikan nasional, dengan menciptakan komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa;
(11) Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan, syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga profesional, disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.

Berdasarkan pada prinsip otonomi, maka kebijakan pendidikan di daerah dapat dituangkan ke dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan. Namun demikian, tampaknya daerah masih terus saja berbenah diri dalam hal kebijakan politik dan kepegawaian yang juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan kantor bidang pendidikan di daerah adalah:

1) Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemerintah daerah harus terus mendorong dan mengembangkan sekolah menerapkan konsep “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah” (MPMBS) yakni usaha peningkatan mutu pendidikan dengan menggalang segala sumber daya yang ada di sekolah dan lingkungannya, baik guru, orangtua siswa, pemerintah setempat maupun swasta agar terkoordinasi dan terencana dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.

2) Perluasan Kesempatan Belajar
Dalam rangka mempercepat penuntasan program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan maka dapat ditempuh usaha baru sebagai berikut :
(1) Pembangunan Unit Sekolah baru (USB)
(2) Pembangunan Ruang Kelas baru (RKB)
(3) Pemasayarakatan SLTP Terbuka (SLTPT)
(4) Kampanye/Penyuluhan Wajib Belajar Pendidikian Dasar
(5) Pemberian Beasiswa dan dana bantuan Operasional (DBO)
(6) Pendidikan bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA
(7) Pemberian Dana Operasional Pendidikan bagi SD/MI
(8) Pemberian bantuan perlengkapan belajar bagi siswa SD/MI dari keluarga tidak mampu;
(9) Membina dan mendorong penyelenggaraan pendidikan luar sekolah oleh masyarakat dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar (yang menyelenggaraka Paket A, KF, Paket B, dan Paket C).

3) Efisiensi dan Efektivitas
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang efisien dan efektif maka penyelenggara pendidikan formal perlu dibekali dengan pengetahuan tentang :
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Sekolah
(2) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Perkantoran
(3) Kemampuan manajerial
(4) Kemampuan Pengelola Proyek
(5) Pengelolaan dan perencanaan pendidikan
(6) Kemampuan Monitoring dan Evaluasi

4) Menyusun Peraturan Daerah Pendidikan;
Perda tentang pendidikan di Kabupaten/Kota merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Kabupaten/Kota tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003. Bertolak dari aturan ini maka beberapa kebijakan meso maupun mikro dapat dibuat dalam rangka menjalankan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 45.

5) Angka Rata-rata Lama Sekolah;
Dalam rangka meningkatkan Indeks Pendidikan (Education Index) partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan harus terus dipacu. Berdasarkan laporan BPS diketahui bahwa Angka RLS masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau setara dengan siswa SMP Kelas satu. Dengan demikian diperlukan perjuangan yang sangat erat bagi dinas pendidikan untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun. Padahal wajib belajar 9 tahun sudah dikumandangkan sejak lama. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pendidikan dasar, baik melalui SD/MI dan SMP/MTs, maupun SMP Terbuka, dan Paket A dan B untuk dapat mengakselerasi Wajar Dikdas 9 tahun.

6) Angka Melek Huruf
Penopang lain dari Indeks Pendidikan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Semula kita menduga bahwa di Kabupaten/Kota di Jawa Barat sudah tidak ada lagi yang masih Buta Huruf (tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Indonesia), namun setelah dilakukan pendataan ulang di Jawa Barat telah diketahui terdapat sekitar 251.234 yang masih kurang dalam baca-tulis-bicara bahasa Indonesia. Tentu saja, mereka harus segera dientaskan melalui program yang fungsional (Keaksaraan Fungsional).

(7) Partisipasi dan Peranserta Masyarakat;
Pada Pasal 56 UUSPN 20/2003 diungkapkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan melalui dewan pendidikan, komite sekolah atau madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota pada umumnya belum banyak dirasakan perannya dalam peningkatan mutu pendidikan di kabupaten/kota, bahkan dalam proses pembentukannya pun dikuasai pihak-pihak tertentu yang kurang menguasai masalah pendidikan. Demikian pula dengan Komite Sekolah/Madrasah, di antara mereka masih kurang memiliki pemahaman yang mantap tentang MBS dan bahkan ada di antara mereka yang hanya berfungsi sebagai stempel bagi sekolah dalam melegitimasi pungutan dari orangtua siswa.

(8) Otonomi Sekolah
Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi kewenangan untuk mengelola input pendidikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan. Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara ketat untuk memberikan jaminan kualitas layanan yang diberikan sekolah kepada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang akurat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, bukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau melakukan Ulangan Umum Bersama melainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih.

(9) Kualitas SDM Pendidikan
Dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, tentu saja harus diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Harus diakui bahwa tenaga kependidikan yang saat ini tersedia merupakan produk dari LPTK yang belum mengantisipasi reformasi dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa hal para guru masih menggunakan paradigma transfer of knowledge dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal pola pikir ini telah lama ditinggalkan oleh kalangan innovator pendidikan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang masih hanya berfungsi sebagai guru, menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Konsep learning based experience dan learning by doing masih belum secara mantap diterapkan para guru. Apalagi konsep dasar pengembangan kompetensi yang seharusnya dijadikan dasar bagi pengembangan kurikulum di sekolah.

(10) Kesejahteraan Tenaga Kependidikan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kinerja tenaga kependidikan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesejahteraan yang diterima (take home pay). Dari gaji yang diterima para guru, mereka harus rela membagi penggunaannya dengan biaya transportasi dan konsumsi (terutama jika harus mengajar sampai dengan siang). Dengan demikian take home pay yang diterima para guru semakin kecil dan tidak manusiawi. Berbeda dengan profesi lain, untuk keperluan transportasi dan konsumsi biasanya tersedia pada institusi tersebut, sedangkan profesi guru harus merogoh saku gajinya. Dalam menyikapi hal ini, tampaknya pemerintah daerah harus segera memikirkan “insentif” atau tunjangan profesi yang dapat diberikan kepada guru agar kinerja mereka meningkat dalam rangka mempersiapkan SDM pendidikan di Kabupaten/Kota yang lebih baik. Pada daerah-daerah tertentu, hal ini sudah dilaksanakan, misalnya Kota Bandung, DKI Jakarta, Kutai Kertanegara, Propinsi Sumatera Barat, dan sebagainya. Mungkin jika Anggaran Pendidikan di Kabupaten Ciamis dapat diungkit hingga 20%, para guru dapat segera diberi insentif supaya memacu mereka dalam berkompetensi meningkatkan mutu pendidikan.

(11) Organisasi Penjamin Kualitas
Untuk melakukan jaminan kualitas pendidikan di Kabupaten/Kota, tampaknya diperlukan organisasi kedinasan, setara dengan eselon III yang membidangi peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan. Lembaga ini harus mampu memberikan jaminan kualitas hasil pendidikan dan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap tenaga kependidikan. Sudah tidak sesuai lagi apabila lembaga penjamin kualitas pendidikan yang memberikan pelatihan kepada tenaga pendidikan dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah. Lembaga ini dapat berfungsi melatih dan membina tenaga pemerintah daerah, namun untuk tenaga kependidikan harus dilaksanakan secara khusus agar dapat memberikan pelatihan terhadap tenaga kependidikan (guru) mengarah kepada profesionalisasi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelatihan, lembaga ini perlu mengundang educational expert dari Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan.

(12) Penggunaan Buku Teks Pelajaran
Ketentuan tentang Buku Teks Pelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permen 11/2005 masih belum diterapkan secara menyeluruh di sekolah. Berdasarkan ketentuan itu, Sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Komite Sekolah dilarang menjual buku di sekolah. Demikian pula, penerbit tidak boleh menjual buku langsung ke sekolah. Untuk keperluan peserta didik, para guru dapat menganjurkan kepada orangtua atau peserta didik untuk menggunakan buku Teks Pelajaran yang telah berstandar nasional. Pemerintah telah menyampaikan kebijakan tentang Buku Teks Pelajaran, bahwa Pemerintah Pusat tidak akan lagi menerbitkan atau membagikan Buku Teks Pelajaran untuk sekolah. Pemerintah hanya menetapkan buku-buku berstandar nasional yang dapat dipilih oleh sekolah untuk digunakan sebagai buku teks pelajaran di sekolah. Dalam memilih buku ini, sekolah harus mengajak dan melibatkan Komite Sekolah (sebagai wakil masyarakat). Kenyataan di lapangan, masih ada sekolah atau guru menjual paksa buku kepada siswa, menjual LKS kepada siswa, penerbit masih mengedrop buku ke sekolah, penentuan buku teks pelajaran tidak mengajak komite sekolah. Masih banyak persoalan tentang buku teks ini, mungkin karena low inforcement yang masih lemah di daerah, serta kesadaran masyarakat yang masih lemah.

(13) Pengembangan Kurikulum Sekolah
Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Banyak di antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dalam ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu harus disusun oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kurikulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah harus mengembangkan kurikulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 8 Jatinagara atau Kurikulum SMP Ma’arif Banjarsari. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP sehingga dapat dijadikan acuan pengembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, tampaknya masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi tenaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan kurikulum dapat mulai dipersiapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai bidang ini.

Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak pekerjaan bidang pendidikan yang belum diimplementasikan, tampaknya perlu segera kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan ini masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat bijak, apabila kita coba berpikir dengan jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersiapkan SDM yang unggul dan kompetitif. Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh karena itu, sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi dalam pendidikan. Perencanaan pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbagai pihak, karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan terkini, tampaknya harus segera diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebijakan makro, meso, maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.

2 komentar:

SULAEMAN RAMLY - GARUT mengatakan...

dari: sulaeman Garut kelas G-B, MSP unigal
Assalamu ~alaikum Wr. Wb.
Pertama, kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan Bapak baik berupa tulisan maupun petunjuk langsung sehingga kami (kelas G-B MSP semester 3 unigal Garut) dapat membuat blog.
Kedua, ingin mengomentari tulisan Bapak tentang “Menilik Kebijakan Sistem pendidikan” mengenai MBS.
Berbagai kebijakan bidang pendidikan secara konseptual seperti yang Bapak paparkan sudah dianggap baik. Akan tetapi pada tingkat implementasi hususnya mengenai MBS domain manajerialnya masih jauh berbeda dengan orisinilitas konsep. Hal ini nampak pada transparansi dan akuntabilitas manajerial penyelenggaraan sekolah masih rendah. Hal ini sangat berkaitan dengan kompetensi dan profesionalitas Kepala sekolah. Karena itu setiap kebijakan konseptual, harus dikuatkan dengan control dan pengawasan yang akurat pada tingkat sekolah secara ketat. Selai itu, perlu ada penekanan kembali tentang konsep MBS secara intensif agar lebih dipahami oleh penyelenggara pendidikan, hususnya Kepala, TU, dan guru.
untuk sementara, komentar saya cukupkan sekian dahulu. Terima kasih

BUDI MULYANA mengatakan...

Konsep MBS itu serupa dengan pengelolaan pesantern di Indonesia dan sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu, tapi kenapa masyarakat kita mearasa asing dengan program itu? mungkin karena para pakar peandidikan Indoneasia merujuk konsep itu dari luar sehingga istilahnya juga jadi asing, jadi sulit dicerna oleh masyarakat kita. Bagaimana Pak kalau kita ganti saja istilah MBS itu agar lebih Indoneisa, gitu lho ( Siapa punya ide....?)? Program MBS itu paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan dan sangat tepat, tapi saya kira dalam implementasinya banyak tantangan diantaranya;(1)SDM kita belum siap, sebagian besar pelatihan dijadikan kedok untuk cari duit. (2) Masyarakat kita masih sulit menerima perubahan karena masyarakat kita memegang pola pikir "numut". Hal itu wajar karena masyarakat Indonesia terbiasa dengan pemerintahan otoriter yang berlatar belakang kerajaan (Sriwijaya, Majapahit, Mataram, kerajaan Belanda, Raja ORLA, Raja ORBA).Pemecahannya; Pertama, kita perlu memperbaiki moral generasi muda kita dengan menekankan pada pendidikan moral, pendidikan moral berarti pendidikan Agama yang lebih inten di wilayah pendidikan formal. Kedua, untuk memasyarakatkan MBS sebaiknya menggunakan pola pendekatan sosio-kultural atau latar belakang sosial budaya bangsa.